Teologi Wirausaha Dalam Islam

Wirausaha dinilai menjadi salah satu instrumen efektif untuk mengurangi kemiskinan dan ketertinggalan sebuah bangsa. Para wirausahawan selalu membuka lapangan kerja, bukan mencari kerja. Diakui atau tidak, lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki orientasi sebagai pencetak wirausahawan memberikan sumbangsih berarti bagi kemajuan ekonomi bangsa.



SMK-SMK, perguruan tinggi, atau pusat-pusat pelatihan life skill yang mempersiapkan peserta didiknya untuk langsung bekerja dengan menciptakan lapangan kerja sendiri akan lebih diminati dan dicari-cari orang. Hal tersebut mengingat persaingan kerja, baik PNS maupun swasta, sangat ketat dan keras. Kenyataan ini menunjukkan bahwa untuk survive di dunia orang harus mempu menciptakan lapangan pekerjaan secara kreatif dengan menjadi wirausaha. Sebagian ahli menyatakan bahwa wirausaha lebih mengarah pada mental seseorang, bukan bakat. Oleh sebab itu, mental tersebut harus ditempa dengan impuls-impuls semangat wirausaha.

Sehingga, sudah menjadi lazim bila semangat berwirausaha harus didengungkan melalui lembaga-lembaga pendidikan formal ataupun nonformal. Dalam konteks ini, semangat wirausaha dapat ditemukan dalam ajaran-ajaran teologi, seperti teologi Islam.

Semangat wirausaha dalam Islam

Kata ‘wirausaha’ atau enterpreneur tidak bakalan ditemukan dalam teks suci agama Islam. Namun, istilah teknis lainnya yang memiliki semangat yang sama dengan kata ‘wirausaha’ cukup banyak, seperti ‘amal, kasb, fi’il , dan sa’y . Di antara keempat kata tersebut, ‘amal paling sering digunakan (425 kali) dalam Alquran untuk menunjuk setiap usaha manusia dalam mewujudkan tujuan ekonomis ( iqtishadiyyah ) dan perbuatan manusia secara umum.

Sayangnya, kata amal akhir-akhir ini dipersempit maknanya hanya pada sebatas memberi. Itu pun sebatas memberi dengan uang. Perhatikan istilah-istilah ini: kotak amal, pundi amal, rumah amal, dan sebagainya. Padahal, kata amal memiliki makna yang luas.

Menurut Isa Abduh dan Ahmad Ismail Yahya dalam al-Amal fi al-Isl’m (1119 H: 49), Islam adalah agama yang menekankan amal atau bekerja. Sebab, amal atau bekerja merupakan salah satu cara praktis untuk mencari mata pencarian yang diperbolehkan Allah SWT. Bekerja dalam Islam merupakan kewajiban bagi setiap individu atau kelompok. Konsep amal dalam Islam sangat luas dan tidak hanya menyangkut soal bisnis atau dagang. Amal adalah setiap pekerjaan yang dilakukan manusia yang pantas untuk mendapatkan imbalan (upah), baik berupa kegiatan badan, akal, indra, maupun seni.

Semangat-semangat wirausaha banyak ditemukan dalam Alquran. Dalam QS Alhajj [22]: 77, disebutkan bahwa berbuat baik (bekerja secara baik dan profesional) merupakan salah satu ciri orang yang beriman. Bekerja yang selama ini sering kali dikaitkan dengan urusan dunia pada dasarnya setara atau sejajar dengan rukuk, bersujud, dan menyembah Allah SWT. Ini artinya bekerja juga merupakan ibadah.

QS Alnahl [16]:97 menjanjikan manusia bahwasanya balasan bekerja adalah kehidupan yang layak dan pahala yang baik melebihi nilai kebaikan pekerjaan itu sendiri. Ini menyiratkan bahwa bekerja itu memiliki nilai plus. Dalam QS Aljumuah [62]:10, dijelaskan bahwa di samping memerintahkan bekerja, Allah juga berfirman bahwa bekerja sambil mengingat-Nya (bekerja sesuai dengan prosedur yang Allah berikan) akan mendatangkan keuntungan.

QS Attaubah [9]: 105 secara implisit mendedahkan kepada semua umat bahwa bekerja itu tidak semata-mata urusan dunia. Bekerja tidak saja berimplikasi kepada dunia, tetapi juga akhirat. Kelak pekerjaan itulah yang akan dinilai oleh Allah. Yang menarik lagi adalah QS Alkahfi [18]: 110. Dalam ayat ini, dinyatakan secara jelas bahwa barang siapa yang ingin bertemu dengan Allah SWT, bekerjalah. Ini artinya bekerja itu sama dengan bertemu Allah SWT, sebuah reward yang paling tinggi yang pernah diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya, yakni perjumpaan dengan-Nya. Dalam Alquran, mencari ilmu di- reward dengan peningkatan derajat. Namun, bekerja diganjar dengan bertemu Allah SWT. Sayangnya, banyak yang tidak menyadari hal ini.

Sebetulnya, masih banyak ayat lainnya yang memberikan semangat wirausaha kepada umat Islam. Tidak hanya Alquran, hadis-hadis Nabi Muhammad SAW pun mengisyaratkan hal yang sama. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, Ma akala ibnu Adam tha’aman khairan min ‘amali yadihi wa inna nabiyullah Dawud kana ya’kulu min amali yadihi . Artinya, ”Tiada makanan yang baik bagi anak Adam, kecuali yang ia dapat dari tangannya sendiri. Sesungguhnya, Nabi Daud AS makan dari hasil kreativitas tangannya (wirausaha).” (HR Bukhari).

Pada saat yang lain, Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, ”Hendaklah kami berdagang karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki.” (HR Ahmad bin Hanbal). Nabi juga pernah bersabda tentang hal yang sama, ”Sesungguhnya, sebaik-sebaik mata pencarian adalah seorang pedagang.” (HR Baihaqy). Walhasil, bekerja atau being entrepreneur dalam Islam merupakan kewajiban yang menjadi ibadah bagi pelakunya. Bahkan, bekerja atau berwirausaha menjadi salah satu ciri orang yang beriman.

Bekerja sejatinya adalah beribadah kepada Allah SWT. Karena bekerja adalah ibadah, bekerja akan mendapatkan pahala plus, bahkan ganjaran yang tertinggi dari sebuah keimanan, yakni bertemu Allah ( liqa’u rabbi ). Bekerja adalah ibadah maka bekerja harus sesuai dengan syariat Allah, yakni dengan cara yang halal, baik, dan bermanfaat. Bekerja adalah ibadah maka tujuan bekerja hanyalah untuk Allah SWT, bukan untuk bekerja atau materi itu sendiri.

Oleh: Ahmad Rodoni (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Sumber: Republika Online