Perbedaan Muhammadiyah dengan Wahabi ( bagian 2)

Sekilas tentang Muhammadiyah, Persamaan dan Perbedaannya dengan Wah-habi

Sebagaimana yang sudah diketahui Muhammadiyah adalah sebuah
perserikatan Islam yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Zulhijjah
1330 H/18 Nopember 1912 M. Pendiri pergerakan tersebut adalah
Kiai.H.Ahmad Dahlan yang lahir pada 1869 di Yogyakarta dari keluarga
ulama. Setelah belajar berbagai ilmu pengetahuan agama di berbagai
pondok pesantren di Jawa, pada 1890 ia berangkat ke Mekkah untuk belajar
lagi dengan berguru pada Syekh Ahmad Khatib, ulama Indonesia yang
terkenal di Mekkah waktu itu. Namun,  sete;ah setahun belajar di sana,
ia kembali ke tanah air. Pada tahun 1903, ia berangkat lagi ke Mekkah,
kemudian menetap di sana selama dua tahun.

Ketika menetap yang kedua kalinya di tanah suci inilah Ahmad Dahlan
sempat bertemu dengan Sayid Muhammad Rasyid Ridla, murid Syekh Muhammad
Abduh, tokoh pembaharuan Islam di Mesir yang terkenal itu. Sejak saat
itu, ia bercita-cita untuk melakukan pembaharuan di kalangan umat Islam
di tanah air (Tim Penulis IAIN Syahid, 2002: 770). Apalagi  kondisi umat
Islam pada waktu itu sedang terkebelakang, terpuruk, dan tidak berdaya
dalam menghadapi kedijayaan dan keserakahan kolonial Belanda. Ketika
berhadapan dengan kebudayaan Barat yang dibawa oleh kolonial Belanda, di
antara mereka bersikap antipati dan menolaknya secara mutlak; dan di
antaranya lagi bersikap menerimanya secara mutlak pula. Bahkan, mereka
yang  telah menerima kebudayaan Barat tersebut, sudah kehilangan percaya
diri dan rasa bangga beragama Islam. Mereka merasa malu kalau masuk ke
dalam mesjid atau menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslim.

Realitas tersebut adalah akibat dari lemahnya keimanan dan tercemarnya
paham tauhid mereka dengan kemusyrikan, bidah, tskhsyul, dan khurafat,
di samping karena ketidaktahuan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya. Mengingat hal itu, maka setelah  kembali ke tanah air,
K.H.Ahmad Dahlan langsung melakukan gerakan pemurnian akidah dan ibadah
dengan merujuk kepada Alquran dan al-sunnah dan sekaligus pula melakukan
pembaharuan di kalangan umat Islam secara bertahap dan mandiri di
Yogyakarta. Untuk mewujudkan upaya pemurnian dan pembaharuan tersebut,
tidak hanya melakukan dakwah bi al-lisān (dengan ucapan), tetapi juga dengan bi al-hāl
(dengan perbuatan), seperti mendirikan sekolah-sekolah modern,
menyantuni orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Meskipun di satu sisi
gerakan yang dilakukan K.H.Ahmad Dahlan tersebut mendapat tantangan
dari kalangan masyarakat Muslim yang tradisionalis, di sisi lain
mendapat dukungan dari masyarakat Muslim yang lain.

Dukungan tersebut semakin lama, semakin besar sehingga pada tahun 1912
dirasa perlu untuk membentuk dan mendirikan sebuah perserikatan atau
organisasi yang dapat mengkoordinasikan semua kegiatan dakwah pemurnian
dan pembaharuan tersebut agar dapat mendapatkan hasil yang maksimal.
Perserikatan tersebut dinamai Muhammadiyah dan diresmikan berdirinya
oleh K.H.Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Zulhijjah 1330H/18 Nopember 1912.
Perserikatan Muhammadiyah ini dari tahun ke tahun mengalami kemajuan
yang pesat dan memiliki lembaga-lembaga pendidikan dari sekolah dasar
sampai perguruan tinggi dan universitas yang cukup banyak, rumah-rumah
sakit,  lembaga-lembaga keuangan, dan sumber daya manusia (SDM) yang
juga berjumlah besar dan dibutuhkan umat Islam dan bangsa Indonesia.

Ajaran-ajaran Muhammadiyah, baik yang berkenaan dengan akidah maupun
fiqh (hukum Islam) merujuk kepada Alquran dan al-sunnah. Di samping itu
juga diperlukan ijtihad. Namun, ijtihad melalui qiyas, istisan masalih
al-mursalah add al-dzari’ah, bukan merupakan sumber hukum, melainkan
metode untuk menggali hukum yang tidak ada nasnya di dalam Alquran dan
al-sunnah.

Khusus di bidang akidah, dalam memahaminya dari Alquran dan al-sunnah,
 Muhammadiyah menganut metode dan paham Salafiyah. Hal itu telah
dinyatakan dalam Himpunan Putusan tarjih. Menurut putusan tersebut,
Muhammadiyah menjelaskan pokok-pokok kepercayaan yang benar dengan
merujuk kepada kalangan umat terdahulu yang selamat (al-firqat al-nājiyah min al-salaf).
Gerakan ini ingin mengembalikan Islam pada ajaran yang murni, yang
tidak tercemar oleh tradisi atau ajaran lain dari luar sebagaimana yang
berlaku pada zaman Nabi dan generasi salaf yang saleh. Namun, dibanding
dengan gerakan Salafiyah yang lain, Muhammadiyah menunjukkan karakter
yang moderat sehingga dimasukkan dalam katagore Salafiyah Wāsithiyah, yaitu
Salafiyah yang cenderung di tengah-tengah dan moderat dan jauh berbeda
dari Salafiyah Muhammad ibn Abd al-Wahhāb dan Rasyid Ridla.(Haedar
Nashir, 2007: 15)

Meskipun demikian, ada sebuah buku Kuliah Akidah Islam yang
telah ditulis oleh Prof. Dr. Yunahar Ilyas Lc, tokoh muda dan salah
seorang Pimpinan Pusat Muham-madiyah. Buku ini identik dengan buku-buku
akidah yang ditulis oleh kalangan Wahha-bi. Kalau tulisan Yunahar ini
dapat dianggap sebagai pencerminan paham Muham-madiyah di bidang akidah,
berarti tidak ada perbedaannya dengan paham akidah Salafiyyah dan
Wahhabi. 

Khusus di bidang fiqh, Muhammadiyah berbeda dengan Wahhabi. Kalau
Wahhabi  menolak taklid dan menyerukan ijtihad, tetapi masih menyatakan
diri meng-ikuti mazhab Hanbali meskipun tidak fanatik.. Sebaliknya,
Muhammadiyah di samping menolak taklid dan menyerukan ijtihad, juga
tidak mengikuti mazhab tertentu, baik dari mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali maupun mazhab lainnya. Namun, warga Muhammadiyah
diarahkan untuk mengikuti  keputusan Majelis Tarjih Muham-madiyah dalam
hal apa saja. Keputusan itu, kadang-kadang ada yang serasi dengan salah
satu dari mazhab yang empat dan kadang-kadang serasi dengan mazhab yang
lain.dari mazhab yang empat atau yang di luar dari mazhab-mazhab
tersebut. Karena itu, tidaklah mengherankan jika keputusan Majelis
Tarjih, ada yang sama dengan fiqh Wahhabiyyah dan ada pula yang berbeda
dan tidak sama. Keputusan Majelis Tarjih yang sama dengan fiqh
Wahhabiyyah, antara lain cara berwudlu, salat subuh tidak menyertakan
doa qunut, membaca surat al-Fatihah dalam salat, tanpa membaca
bismillahirrahmanirrahim dengan nyarring, dan hukum merokok adalah
haram. Sebaliknya, keputusan Majelis Tarjih yang berbeda dengan fiqh
Wahhabiyyah, antara lain  

(1) Salat tarawih sebanyak delapan rakaat, sedang menurut amaliah Wahhabi sebanyak 20 rakaat.

(2) Salat ‘Id al-Fithri dan  Salat ‘Id al-Adlha dilaksanakan di
lapangan, bukan di mesjid, sedang menurut Wahhabiyyah di mesjid..

(3)   Penentuan awal Ramadlan dan awal Syawwal melalui hisab, sedang menurut Wahhabiyyah harus melalui rukyah.

(4)   Zakat fithrah bisa berupa uang, sedang menurut Wahhabiyyah, tidak boleh berupa uang, tetapi harus berupa makanan pokok.

(5)   Zakat boleh diberikan kepada panitia mesjid, sedang menurut
Wahhabiyyah tidak boleh diberikan kepada pihak-pihak yang tidak ternasuk
asnaf delapan.

Selain perbedaan-perbedaan tersebut, dalam melaksanakan dakwah dan amar
ma’ruf dan nahi munkar, juga terdapat perbedaan yang mencolok dengan
Wahhabi. Kalau Muhammadiyyah dalam melaksanakannya dengan cara yang
bijaksana, toleran, dan tidak menimbulkan keributan. Sebaliknya,
Wahhabi, terutama pada masa-masa yang telah silam dengan cara kekerasan
dan memandang setiap orang yang tidak mengikuti ajaran-ajarannya
dipandang sebagai orang yang harus diperangi, sesuai dengan prinsip amar
ma’ruf dan nahi mungkar.

IV  Muhammadiyah tidak Dipengaruh oleh Wahhabi, tetapi
dipengaruh oleh Gerakan dan pemikiran Pembaruan yang Diusung oleh
Muhammad Abduh dan  Muhammad Rasyid Ridla.

Menurut Dr Shalih ibn Abdullah dan Dr Muhammad Kamil Dlahir dalam buku
masing-masing, dakwah dan paham Wahhabi atau pendirinya, Muhammad ibn
al-Wahhab  tidak hanya telah mempengaruhi pemikitran umat Islam di
jazirah Arab, tetapi juga telah mempengaruhi pemikiran umat Islam di
berbagai negara Islam, seperti Yaman, Syam (Siria, Yordania, dan
Paletina, Iraq, Maroko, Sudan, Mesir, dan India. Namun, keduanya tidak
menyebutkan bahwa dakwah dan paham Wahhabiyyah itu telah juga
mempengaruhi pemikiran umat Islam di Indonesia. (Shalih ibn Abdillah,
1408: 631-697 dan Muhammad Kāml Dlāhir, 1414/1993: 199-208) Ini
menunjukkan bahwa Muhammadiyyah, terutama pendirinya, Kiai H.Ahmad
Dahlan, baik paham maupun dakwahnya tidak pernah terpengaruh oleh
Wahhabiyyah atau pendirinya. Sebab meskipun pernah belajar dan menetap
beberapa tahun di Mekkah, ia tidak pernah belajar dan berguru kepada
para ulama dari kalangan Wahhabiyyah dan tidak pula pernah membaca
karya-karya tulis mereka. Apalagi apabila dilihat dari aspek pembaruan
yang dilakukan oleh Muhammadiyyah, baik di bidang pendidikan, sosial,
dan ekonomi, dll, tidak ada hubungan kausal antara keduanya. Karena, di
kalangan Wahhabi, terutama pada masa silam tidak pernah dilaksanakan hal
tersebut. Mereka hanya terfokus pada pemurnian ajaran agama, khususnya
di bidang akidah dan ibadah mahdlah.

Dengan demikian, yang mempengaruhi Muhammadiyyah, bukan gerakan
Wah-habi, tetapi gerakan lain. Menurut, Prof. Dr. Harun Nasution,
Kiai.H.Ahmad Dahlan dan para pemuka Muhammadiyah banyak dipengaruhi oleh
gerakan pembaruan di Mesir yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridla. Namun, dari segi pemikiran, pemikiran Rasyid Ridla lebih banyak
daripada pemikiran gurunya, Muhammad Abduh dalam mem-pengaruhi
pemikiran  mereka dan Muhammadiyah. Sebab, Muhammad Abduh lebih liberal
daripada Rasyid Ridla. Kalau Abduh lebih cenderung kepada  Mu’tazilah,
Rasyid Ridla lebih cenderung kepada Salafiyah. (Harun Nasution, 1415
/1995: 155-156)  Selain itu, Rasyid Ridla sendiri mengklain dirinya
bahwa ia hidup dan akan mati mengikuti  Salaf dalam masalah-masalah
esotoris, seperti yang berkenaan dengan keimanan kepada Allah,
sifat-sifat-Nya, para malaikat-Nya, hari kiamat, surga dan neraka.
(Muhammad Abdullah al-Salman, 1345: 50) . Meskipun demikian, tidak
berarti tidak pernah berbeda pendapat dengan pendirian Salafiyah
Wahhabi. Misalnya, Kalangan Wahhabi mengatakan haram melaksanakan
peringatan maulid Rasulullah SAW. Namun, menurut Rasyid Ridla, tidak ada
salahnya, kalau hal itu membawa kebaikan kepada umat, terutama dalam
meneladani kehidupan Rasulullah SAW. Untuk itu, ia telah menulis sebuah
buku dengan judul Fī Żikrāal-Maulid al-Nabiy. Dalam majalah al-Manar dan Tafsir al-Manar,
terdapat pandangan-panangan dan pembelaannya terhadap paham Salafiyah
dan tokoh-tokohnya. (Muhammad Abdullah al-Salman, 1345: 83-84)  

Kecenderungan Rasyid Ridla kepada Salafiyah, tampak sekali di dalam
Tafsir al-Manar ketika membahas dua hal.yang sangat penting. Pertama, pemurnian
tauhid dan membersihkan Allah SWT dari hal-hal yang menafikan
keesaan-Nya dari berbagai kemusyrikan dan pentakdisan syekh-syekh dan
wali-wali-wali tarikat atau meminta pertolongan kepada mereka yang telah
meninggal dunia.Kedua, perlunya ijtihad dan pintunya masih
terbuka. Disamping itu mencela taklid buta dan menekankan perlunya
berpegang teguh pada Alquran, al-Sunnah, dan atsar salaf al-shalih.
(Muhammad Abdullah al-Salman, 1345: 69)

.Karena itu, tidaklah berlebihan jika pengaruh itu muncul berkat majalahal-Manar danTafsir al-Manar yang beredar di seluruh dunia Islam, termasuk di Indonesia. Di negeri ini, majalah al-Manar
telah beredar sejak tahun pertama penerbitannya melalui para pelanggan
dan pembacanya. Karena itu, mereka telah menjalin hubungan yang kuat
dengan majalah al-Manar melalui sejumlah pertanyaan .yang ditujukan
kepada Rasyid Ridla untuk dijawab. Rasyid Ridla kemudian menjawabnya dan
mempublikasikannya melalui majalah al-Manar. Keba-nyakan
pertanyaan itu seputar masalah yang berkenaan dengan cara memerangi
berbagai macam bidah dan khurafat yang telah merebak di kalangan umat
Islam Indonesia. Umumnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut berasal dari
Jawa dan Sumatera. (Rasyid Ridla, 14091988: 571)

Selain itu, ada pula pertanyaan-pertanyan yang menyangkut masalah
kegiatan Kristenisasi di pelosok-peloosok Indonesia oleh para misionaris
yang dibantu oleh kolonial Balanda. Karena pertanyaan-pertanyaan itulah
yang telah mendorong Rasyid Ridla untuk mendirikan Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyād  di
Qairo, sebagai solusi untuk meng-hadapinya melalui para alumninya.
Banyak para pelajar dari Indonesia yang mengikuti pendidikan di lembaga
pendidikan tersebut. Setelah mereka menamatkan studinya, mereka kembali
ke tanah air mereka dan menjadi pendidik bagi saudara-saudara mereka dan
menjadi juru dakwah yang sangat baik.(Rasyid Ridla, 14091988: 572)

Di samping itu, para pengikut dan simpatisan aliran al-Manar  di
Indonesia ini telah pula berperan menyebarluaskan paham Salafiyah di
sana. Itulah sebabnya banyak orang mengatakan bahwa majalah al-Manar. berperan sekali dalam mengenalkan dan mnyebarluaskan paham Syekh Abd al-Wahhab di Indonesia. (Rasyid Ridla, 14091988: 572)  

Menurut Charles Adams sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad ibn Abdillah al-Salman, di Indonesia pengajian-pengajian terhadap Tafsir al-Manar telah dilaksanakan di kalangan umat Islam. Bahkan, untuk keperluan itu, Tafsir al-Manar
pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Nashir Abdul
Wahid.sebanyak beberapa juz dengan edisi khusus. Adams juga mengatakan
bahwa organisasi-organisasi Islam telah berperan melakukan usaha semacam
itu, khususnya perserikatan Muhammadiyah. (Rasyid Ridla, 14091988:
573) 

Menurut Kiyai Hajid, K.H.Ahmad Dahlan di samping banyak membaca
kitab-kitab klasik, juga membaca kitab-kitab kontemporer. Bahkan, dia
adalah orang yang paling menonjol mempelajari Tafsir Juz ‘Amma oleh Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, .majalah  al-Manar, dan majalah al-‘Urwat al-Wutsqa yang dikelola Jamalauddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. (Haedar Nashir, 2007: 29)

Begitu antusiasnya Kiai.H.Ahmad Dahlan dalam membaca dan mempelajari Tafsir al-Manar,
sedang berada di gerbong kereta api saja sempat membacanya.
Diceriterakan bahwa pada sutu hari secara kebetulan Kiai.H.Ahmad Dahlan
dan Ahmad Surkati duduk berhadapan di dalam sebuah gerbong kereta api di
Jawa, tanpa mengenal satu sama lain. Untuk menghabiskan waktunya Ahmad
Dahlan membaca Tafsir al-Manar. Hal itu menarik perhatian Ahmad
Surkati yang tidak menduga orang pribumi dapat membaca kitab ilmiah
tersebut. Dari situ kemudian, terbukalah percakapan dan kesepakatan
antara keduanya untuk bekerjasama menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridla di masyarakat masing-masing. (A. Mukti Ali, 1411/1990:
18)

V. Penutup

Dari paparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah tidak
identik dengan Wahhabiyyah, karena di samping ada persamaan antara
keduanya, juga ada perbedaan-perbedaannya. Munculnya gerakan pemurnian
akidah dan ibadah dari syirik, khurafat, takhayul, dan bid’ah, bukan
karena terpengaruh oleh paham dan gerakan Wahhabiyyah, tetapi karena
terpengaruh oleh gerakan dan pemikiran pembaharuan yang diusung oleh
Muhammad Abduh, khusunya Rasyid Ridla.

Demikian paparan yang dapat disampaikan, salah dan khilaf, mohon maaf, dan terima kasih.