Zaman Keemasan Islam

Seribu tahun yang lalu umat Islam menjadi mercusuar peradaban dunia.
Di tengah kegelapan bangsa-bangsa dunia, umat Islam menunjukan jati
dirinya sebagai umat yang termaju. Ketika jalan-jalan di Perancis dan
London masih becek akibat gerimis, kota-kota Islam seperti Baghdad ,
Kairo dan Kordoba sudah terang benderang di malam hari dengan dan
jalan-jalan tertata rapi dan bersih. Ketika para pangeran di Eropa masih
belajar menulis namanya, ilmuwan-ilmuwan muslim sudah menghasilkan
ribuan karya di pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Di kota Kordoba
(Andalusia), ada 80 madrasah, di samping 8 perpustakaan, yang salah
satunya memiliki tidak kurang dari 400.000 buku. Itu belum yang di
Baghdad dan Kairo.
Banyaknya karya yang lahir pada zaman keemasan
itu bisa dibayangkan dari data-data yang ada. Misalnya Abu Ya’la ibn Al
Farra’, seorang alim bermadzhab Hanbali yang hidup pada abad ke-12 di
Baghdad. Dari tabaqat (biographical dictionary, kamus riwayat hidup)
bisa diketahui bahwa ia menulis hampir seratus buku sekitar 80% dapat
diketahui judulnya. Yang 20% tidak diketahui. Dari 80% itu, hanya
sekitar 15% yang terselamatkan sampai sekarang. Ini bisa diketahui dari
karya Carl Brockerman, Geshcichter der Arabischen Literatuur dan karya
Fuad Sezgin Geschiscte des Arabischen Schrifttums. Sayang dua buku itu
berbahasa Jerman sehingga sulit ditemukan dalam perpustakaan di negara
kita.
Gambaran itu menunjukan betapa banyaknya karya yang hilang.
Seandainya buku-buku yang pernah ditulis oleh sarjana-sarjana muslim
itu terselamatkan semuanya, dunia akan semakin mengagumi jasa umat Islam
dalam pembangunan peradaban dunia. Dalam situasi yang terbatas, belum
ada listrik, belum ada mesin ketik, apalagi komputer, belum ada kertas,
mereka bisa menghasilkan karya tulis sebesar itu.
Ada beberapa
faktor yang menyebabkan lahirnya zaman keemasan Islam itu. Pertama,
penguasa yang bijak dan berminat terhadap ilmu. Marwan bin Hakam,
khalifah umawiyah,memerintahkan ilmuwan untuk melacak naskah-naskah kuno
warisan Yunani dan Romawi. Harun al Rasyid, khalifah Abbasiyah
mengeluarkan dana besar untuk meneruskan pelacakan itu di berbagai
penjuru dunia Islam, khususnya perpustakaan kuno di Iskandariyah
(Mesir), Antioch (Syria) dan Jundisapur (Iran). Para penguasa juga
menjadi patron ilmuwan. Mereka mengangkat ilmuwan untuk mengembangkan
karyanya dengan gaji besar, dan menjadikan istana mereka sebagai tempat
halaqah yang menghadirkan ilmuwan-ilmuwan di daerah sekitar.

Kedua, keterbukaan. Banyak sarjana muslim belajar dari orang-orang
Yahudi dan Kristen tentang ilmu pengetahuan, teologi dan bahasa tanpa
ada hambatan psikologis. Sebaliknya, orang-orang Kristen, Yahudi dan
Majusi juga belajar dari sarjana-sarana muslim tanpa ada perasaan
inferior (rendah diri). Joel Kraemer dalam bukunya Humanism in the
Renaissance of Islam meneliti dengan cermat dinamika intelektual lintas
agama dan budaya pada zaman Abbasiyah. Budaya Jadal (debat) dan
munazharah (tukar fikiran) berkembang bak jamur di musim hujan.
Kitab-kitab yang bernuansa Naqd (kritik) dan radd (bantahan) adalah
pemandangan yang biasa didapatkan di perpustakaan-perpustakaan dan toko
buku. Sekalipun kadang-kadang terdapat ketegangan sektarian, tetapi itu
muncul hanya di tingkat massa.

Madrasah dan masjid menemukan
karakternya untuk mengembangkan ilmu-ilmu agama, seperti Al Quran,
Hadits dan Fiqh. Sedangkan perpustakaan menjadi media transformasi
filsafat, teologi, metematika dll. Rumah sakit menjadi tempat
pengembangan ilmu kedokteran. Observatorium menjadi arena perkembangan
ilmu falak. 
Kita perlu belajar dari masa lampau. Kejayaan tidak
bisa lepas dari kemajuan ilmu pengetahuan. Knowledge is power (ilmu
adalah kekuasaan). Jika ingin berjaya, umat Islam harus unggul dalam
ilmu. Keunggulan itu tidak mungkin ada tanpa ada minat baca. Karena itu
kita harus berjuang meningkatkan minat baca umat kita. Sayangnya kita
masih berada pada tradisi lisan (oral tradition) dan belum tradisi tulis
(literature tradition).
Dikutip dari Buku Di Balik Simbol ; Memahami Pesan Agama dengan Semangat Kemajuan karangan Prof. Dr. Syafiq A. Mughni (Ketua PP. Muhammadiyah)