Mohammad Natsir, Pemikir Negarawan bersama Sayyid Qutub

Oleh: Prof.Dr.M.Amien Rais, MA
Pada paruh kedua abad ke-20, Dunia Islam menyaksikan setidaknya tiga
fenomena kebangkitan Islam yang di samping memiliki persamaan, juga
perbedaan: pertama, al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir dengan protagonisnya
Sayyid Qutub; kedua, Jama’at al-Islami di Pakistan yang dipimpin oleh
Abul A’la al-Maududi; dan ketiga, Partai Islam Masyumi di Indonesia
dengan tokohnya yang paling terkenal, Dr. Mohammad Natsir.
Ketiga
tokoh Islam dunia itu hampir sebaya, dan sama-sama pernah merasakan
masuk-keluar penjara. Sayyid Qutub bahkan meninggal syahid di tiang
gantungan. Maududi pernah dijatuhi hukuman mati, kemudian dibebaskan
karena tekanan internasional pada pemerintah Pakistan. Pak Natsir sempat
“beristirahat” di penjara selama empat tahun (1961-1965) sebelum
bergiat lagi di medan dakwah dan pendidikan.
Ketiganya amat
produktif dalam menulis dan memasyarakatkan gagasannya. Qutub menulis
antara lain kitab tafsir fi dzilal al-Qur’an, Maududi tafhim-al-Qur’an,
Natsir fiqh al-dakwah, di samping dua jilid Capita Selecta. Dari ketiga
tokoh besar itu hanya Pak Natsir yang pernah menduduki posisi
kenegaraan, sebagai perdana menteri. Ketiganya telah tiada, namun
kepemimpinannya, integritasnya, keberaniannya, kearifannya, dan
sumbangan masing-masing pada pemikiran ke-Islam-an kontemporer tetap
menjadi teladan dan rujukan banyak kalangan.
Banyak pengamat
Barat menengarai bahwa al-Ikhwan, Jama’at al-Islami, dan Masyumi
tergolong apa yang mereka namakan fundamentalisme Islam. Tidak ada
pengertian yang bulat mengenai apa yang dinamakan fundamentalisme itu.
Tetapi, bila yang dimaksudkan bahwa ketiga gerakan atau partai Islam itu
adalah untuk menjadikan Islam, agama wahyu, sebagai landasan kehidupan
dunia dalam segala aspeknya, memang tidak keliru. Ketiganya meyakini
bahwa Islam diturunkan ke dunia lewat para nabi dan rasul dimaksudkan
sebagai pedoman hidup integral manusia. Inilah persamaan mendasar antara
Qutub, Maududi, dan Natsir.
Namun teoritisasi konsep yang sama
itu berbeda dalam elaborasi dan implementasinya. Qutub melihat abad
ke-20 sebagai abad jahiliah. Dua tahun pengalamannya di Amerika Serikat
semakin meyakinkan Qutub bahwa kehidupan Dunia Barat mencerminkan
materialisme, hedonisme, rasisme, permisifisme, dan kehidupan serba
dangkal. Kehidupan hedonistik itu tidak boleh menggenangi Dunia Islam.
Qutub mengobarkan al-inqilab al-Islami ad-duwali, revolusi Islam
internasional.
Dunia Islam harus memukul balik pengaruh Barat
yang jahiliah. Ketika Gamal Abdul Nasser menggulingkan pemerintahan
monarki Raja Farouk pada 1952, Qutub merapat ke Nasser. Akan tetapi,
ketika ternyata Nasser mengembangkan ideologi nasionalisme sekuler dan
tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara, keduanya mulai berhadapan.
Ketika ada percobaan pembunuhan terhadap Nasser pada 1954 oleh sempalan
al-Ikhwan, Qutub dipenjara dan akhirnya digantung pada 1964.
Dia
meninggal dengan tragis tetapi pikiran-pikiran revolusionernya terus
berpengaruh di berbagai pojok dunia, terutama di kalangan anak muda dan
mahasiswa. Karya pentingnya, Ma’alim fi al-thariq, di samping kitab
tafsirnya, terus dibaca oleh generasi muda dan dapat mengobarkan
semangat revolusioner mereka. Bahkan ada spekulasi intelektual bahwa
sampai batas tertentu pikiran-pikiran Qutub telah memberikan andil pada
teoritisasi revolusi Islam dari Ayatullah Imam Khomeini.
Maududi
menebarkan sejumlah gagasannya secara lebih canggih. Penguasaannya dalam
berbagai ilmu ke-Islam-an cukup mendalam. Pemahamannya pada pengetahuan
ekonomi dan filsafat modern tampak kuat. Ia mendalami teori-teori
ekonomi neo-klasik dan juga memahami berbagai model ekonomi Keynesian.
Maududi tidak percaya kapitalisme dapat membawa kesejahteraan, karena
membiarkan keserakahan manusia tanpa batas dan menjadikan profit (laba)
sebagai nilai tertinggi serta diremehkannya nilai-nilai etika.
Maududi memperkenalkan teori theodemokrasi. Rakyat diberi hak pilih
hanya untuk menentukan pelaksanaan hukum Islam, karena kedaulatan sejati
ada di tangan Tuhan. Rakyat memilih anggota legislatif bukan untuk
membuat legislasi atau perundangundangan yang bersifat man-made (buatan
manusia) tetapi sekadar mengesahkan pelaksanaan hukum Allah. Kaum
perempuan diseyogiakan untuk lebih banyak tinggal di rumah agar
memudahkan tegaknya disiplin sosial. Mereka yang nonmuslim diberi hak
sepenuhnya sebagai warga negara, namun perlu membayar sekadar pungutan
finansial.
Yang diuraikan di atas tentu hanya pemikiran Qutub dan
Maududi selayang pandang. Bagaimana dengan Mohammad Natsir? Pemimpin
terpenting Masyumi ini juga memperkenalkan teori theodemokrasi. Hanya
pemahamannya lebih longgar: Quran dijadikan bukan sebagai kitab hukum
tetapi sebagai sumber hukum abadi. Sebagai sumber hukum, Quran bersifat
abadi, selalu cocok untuk setiap zaman, di mana pun dan kapan pun
manusia hidup.
Prinsip hukum Islam adalah semuanya boleh
dilakukan kecuali yang dilarang. Seorang muslim boleh melakukan ijtihad
sejauh-jauhnya, tetapi selalu ada batas mana yang haq dan yang bathil
serta mana halal dan haram. Seperti hadis Imam Ahmad yang diriwayatkan
oleh Abu Said al-Khudri, Nabi SAW mengumpamakan seorang beriman dengan
seekor kuda yang diikat pada sebuah tiang. Kuda itu dapat merumput ke
segenap penjuru sesuai dengan panjangnya tali yang mengikatnya. Bukan
kebebasan tanpa batas.
Sudah lebih dari setengah abad lalu Pak
Natsir mengingatkan bahwa demokrasi sekuler dapat berujung pada berbagai
musibah kemanusiaan. Tanpa intervensi wahyu, manusia dapat terperangkap
pada dorongan nafsu hewaniah dan meluncur ke arah anarki, chaos atau
faudhau. Pak Natsir amat memahami teori dan praktek demokrasi, tetapi
sekaligus melihat dengan jernih keterbatasannya. Theodemokrasi adalah
demokrasi yang dibimbing oleh kebenaran wahyu.
Saya yakin tulisan
para tokoh Islam seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, dan
Mohammad Natsir sebelum proklamasi kemerdekaan 1945 secara langsung atau
tidak telah meresap ke dalam sanubari kesadaran nasional bangsa
Indonesia. Bila kita jujur, kita akan meyakini bahwa demokrasi yang kita
anut sesuai dengan UUD 1945 bukanlah demokrasi sekuler, tetapi beraroma
theodemokrasi.
Seorang demokrat sekuler dari Barat mungkin sulit
mencerna demokrasi kita, karena konstitusi kita menyatakan hitam di
atas putih bahwa “the State shall be based upon the belief in One God
and Only God”, sementara pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kita senantiasa disertai “with highest respect for religious values”.
Tetapi justru aroma theodemokrasi inilah yang menjamin demokrasi
Indonesia tidak akan mengalami kehancuran.
Tidak berlebih jika
dikatakan bahwa pandangan Natsir tentang demokrasi bersifat profetik dan
visioner. Kita menyaksikan kehancuran demokrasi sekuler di berbagai
kawasan dunia. Rasialisme muncul dengan amat kentara di belahan dunia
yang berpaham demokrasi. Sehingga rasisme struktural sulit diberantas di
Inggris, Prancis, Jerman, dan negara-negara Eropa Barat lain. Kaum
imigran menjadi warga kelas dua dan menjadi bulan-bulanan kelompok
skin-head yang rasialis dan xenofobik.
Dengan konstitusi kita
yang sarat dengan nilai-nilai agama, rasanya kita tidak akan terjebak ke
dalam demokrasi bohong-bohongan seperti kita saksikan di panggung dunia
sekarang. Rasisme, pencucian etnis, hedonisme, imoralisme, imperialisme
ekonomi dan kolonialisme telanjang atas nama demokrasi telah membawa
kemanusiaan di awal abad ke-21 kepada kesengsaraan yang makin luas.
Aroma theodemokrasi seperti digagas Pak Natsir yang menyelinap ke dalam
UUD 1945 menjadi garansi atau jaminan bahwa bangsa Indonesia tidak akan
jatuh ke kubangan demokrasi liberal dengan segala macam implikasi
destruktif. Bangsa Indonesia akan bersama melawan siapa pun dan kelompok
mana pun yang berusaha mengembangkan rasisme, diskriminasi, dan
kesewenang-wenangan (istibdad), oleh karena tidak ada nilai-nilai agama
universal yang membolehkannya.
Bangsa Indonesia, seperti halnya
bangsa lain, tidak melahirkan banyak negarawan sekalipun memproduksi
banyak politikus. Menurut sebuah kasus, negarawan adalah seorang yang
memanfaatkan kepemimpinan politiknya secara arif dan waskita tanpa
dibarengi kesetiaan sempit.
Sebuah teori kepemimpinan mengatakan
negarawan adalah seorang yang memiliki wawasan dan moral yang jernih,
konsistensi, persistensi, kemampuan berkomunikasi dan berjiwa besar. Pak
Natsir memiliki itu semua. Keterlibatannya dalam PRRI didorong
perlawanannya terhadap pemerintah pusat yang sewenang-wenang dan dalam
usaha melawan komunisme. Saya setuju dengan banyak tokoh bangsa yang
berpendapat bahwa hakikatnya Pak Natsir adalah pahlawan. Dengan mosi
integralnya ia telah memberikan keteladanan tinggi bagaimana menjadi
seorang pemimpin bangsa.