Antara Masyumi, PKS dan Jokowi

TULISAN saudara Lasmiyo Nugroho tentang “PKS, Jokowi dan Kasus Turki” dalam hidayatullah.com yang dimuat hari Sabtu, 12 April 2014 pukul 08:35 WIB cukup menarik agak mendalam menukik walaupun ada beberapa data dan faktanya kurang tepat, malahan tentang kasus Turkinya tidak ditulis langsung, apakah belum ditulis atau ada sambungannya lagi, belum jelas. Tak apalah bagaimanapun, kita berprasangka baik.
Memang PKS adalah harapan dan parti alternatif walaupun bukan satu-satunya pilihan umat Islam di negara kita, sebagai pengubat rindu umat akan kebesaran dan kehebatan Partai Islam Masyumi (1945-1960) di mana para pemimpinnya, bukan hanya sekedar politikus tetapi adalah negarawan yang dihormati dan disegani oleh kawan dan lawan. Kebetulan saya pernah beberapa kali bersilaturrahmi mengaji dan mendengar nasehat serta wejangan politiknya secara langsung pada tokoh-tokohnya.
Dengan almarhum Pak Mohammat Natsir, Buya Hamka, Pak Boerhanuddin Harahap, Mr Moehammad Roem, Prof Dr Mr Kasman Singodimedjo dan yang tak kalah hebatnya adalah ulama dan pakar rujuk serta tokoh spiritual Masyumi dan juga Persyarikatan Muhammadiyah, Buya Ahmad Rasyid Sutan Mansur, yang juga merupakan abang ipar kepada Buya Hamka.
Yang penting dan paling utama yang saya peroleh adalah bagaimana kuliah aqidah; iman dan kemerdekaan, serta bagaimana adab kita dengan Allah, Rasul dan adab kita dalam bidang-bidang lain termasuk dalam berpolitik.
Masyumi yang dibubarkan tahun 1960 itu secara paksa oleh Bung Karno, kemudian docoba untuk digantikan oleh Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang didirikan pada tahun 1968 dengan pemrakarsanya adalah Badan Koordninasi Amal Umat Islam, yang diketuai oleh Kyai Haji Faqih Usman, yang periode pendirinya di mana Ketua Umumnya adalah Djarnawi Hadikusmo dan Sekjennya Lukman Harun, keduanya adalah tokoh Muhammadiyah (keduanya juga sudah almarhum).
Pada tahun 1969 melalui Muktamar Pertamanya di Malang, Jawa Timur di mana sebelumnya Pemerintan Soeharto sudah memberikan lampu hijau, bahwa Parmusi bebas memilih pemimpinnya siapa yang mereka sukai. Dimana Parmusi masa itu sama juga dengan Masyumi semasa didirikan oleh beberapa Ormas Islam seperti Muhammadiyah, Jamiatul Al Washliyah, Al Irsyad, Persatuan Umat Islam, Persis, HSBI, PITI, Gasbindo, Al  Ittihadiah, Matalaun ‘Anwar, KAHMI dan beberapa Ormas lagi.
Maka terpilihlah Mr Moehammad Roem mantan Wakil Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri semasa rezim Order Barunya Presiden Soekarno sebagai Ketua Umum pertama dan para ketuanya antara lain Dr Anwar Haryono, KH Hasan Basri, Dr Jailani Naro dan Ir Drs Umar Tusin, sedangkan Sekjennya adalah Drs Hasbullah, Sekretaris-Sekretaris Drs Lukman Harun dan Moehamad Sulaiman, di antara anggota pimpinan pusatnya adalah Haji Abdul Karim Oei Tjong Hien, Ir HM Sanusi dan beberapa nama lagi.
Tapi ternyata nama Pak Roem tokoh Masyumi yang anggap paling moderat ini, tidak mendapat clearance dari ABRI dan pemerintahan Soeharto. Akhirnya kembali kepada kepemimpinan Djarnawi dan Lukman, namun tahun 1970 dibajak oleh Jailani Naro yang kemudian terkenal dengan panggilan Jhon Naro, Ali Imran Kadir, Syarif Usman dan beberapa nama lagi. Naro dari Gemada yang kemudian masuk Al Washliyah dan Imran Kadir dari Al Ittihadiah, ketiganya  adalah putra Minangkabau, yang membajak Lukman Harun yang juga adalah putra Minangkabau, begitulah politik kalau terlalu “beradab”?
Meski sudah masa lalu, bagaimanapun sejarah emas Masyumi akan tetap disebut sampai ke hari ini, karena para pemimpinnya telah mewariskan keteladanan, sikap tawadhu’, zuhud dan sangat menjaga adab dalam berpolitik dan juga bidang-bidang lain.
Mereka betul-betul berjuang karena Allah Subhanahu Wata’ala untuk Islam membangun dan menyelamatkan bangsa serta untuk kesejahteraan dan kepentingan rakyat banyak.
Mana buktinya tokoh-tokoh Masyumi diadili atau dituduh di pengadilan karena korupsi atau menyalahgunakan kekuasaan? Hingga hari ini, kita belum mendengar anak-anak mereka kaya raya dari warisan yang ditinggalkan ayah atau ibu mereka.
Sebagaimana kata almarhum Pak Kasman, “Menjadi pemimpin adalah Een leidersweg is een lijdenweg. Leiden is lejden” (Jalan Pemimpin bukan jalan yang mudah. Karena memimpin itu menderita). Dilanjutkan pula oleh Pak Prawoto Mangkusasmito Ketua Umum Masyumi sebelum dibubarkan oleh Bung Karno, dengan pernyataannya,  “Rugi untungnya perjuangan, harus dinilai dengan rugi untungnya Islam.”
A-historis Partai Islam hari ini
Ketika Pemilu 1999 dan 2005 saya menemui beberapa pemimpin dan aktivis dari partai Islam dan menceritakan kembali tentang sejarah dan para pemimpin besar Partai Islam Masyumi.  Sungguh mengagetkan komentar mereka. “Wah itu sejarah masa lalu,” ujarnya. Saya jawab pada mereka, “Jika begitu sejarah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam, sejarah Nabi dan Rasul itu juga masa lalu.” Rupanya mereka terdiam mendengar jawaban saya.
Tidakkah Al-Qur’an mengkisahkan bagaimana para Nabi Rasul mulai Adam As sampai Isa As, juga kisah Namrud Fira’un dan Qarun juga bagaimana kehebatan Lukman al Hakim itu semua sejarah masa lalu?
Jadi janganlah kita angkuh dan pongah dengan komentar seperti di atas.Mengapa tidak dijawab dengan rasa syukur dan dijadikan sebagai ‘iktibar, keteladanan dan pengajaran?
Berdasarkan pertemuan Dr Sahirin M Salihin (asal Jawa Barat kini dosen di Universitas Islam Internasional Malaysia) dengan Syeikh Musytafa Masyhur (almarhum mantan Mursyidul Am Ikhwanul Muslimun), kala itu  Dr Sahirin menanyakan, betulkah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah perwakilan Ikhwan di Indonesia, beliau menjawab “tidak”. Menurutnya, Al Ikhwan Al Muslimun tidak ada perwakilan di Indonesia dan Malaysia.
Apa yang terjadi di Mesir tidak sama dengan Indonesia, terlepas dari kelemahan dan kekurangannya, Al Ikhwan al Muslimun telah banyak berbuat untuk mendakwahi rakyat Mesir dan dunia Arab, dan Dr Muhammad Mursy walaupun hanya berkuasa setahun lebih.
Termasuk karya nyatanya dalam bidang ekonomi kesejahteraan rakyat menaikkan gaji pegawai negeri dan tentera bidang teknologi dan membantu perjuangan rakyat di Palestina terutama di jalur Gaza, melawan penjajahan Israel yang berkonspirasi dengan Syi’ah dan USA.
Boleh jadi inilah sebenarnya kenapa Mursy dikudeta, dan kita tahu siapa Muhammad el Baradey, Hamdan Shabhee, Darsya Khalfan yang jelas Syi’ah. Bagaimana pula Jendeal Abdul Fatah As Sisi dan isterinya yang keturunan Yahudi dan Syi’ah dari Maroko.
Bahkan menarfiknya, anggota Ikhwan yang berfikiran sekuler dan liberal kini berbalik menyokong Abdul Fatah As Sisi.
Sejarah mencatat di Mesir belum ada lagi pemerintahan Islam atau bernuansa Islam, setelah Nabi Musa As, kecuali Dinasti Fathimyah yang Syi’ah yang kemudian dilemahkan oleh Sultan Salahuddin Al Ayubi, sebagai prasyarat agar salah seorang Panglima hebat dalam sejarah Islam yang berasal dari Suku Kurdi Turki ini, bagaimana akhirnya beliau dapat mengalahkan tentera Salib dan mengembalikan Bumi Palestina ke pangkuan umat Islam.
Dan kini satu-satunya pemimpin negara umat Islam yang berani membela Mursy adalah Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri Turki yang sebetulnya berdasarkan fakta leluhurnya juga berasal dari Suku Kurdi tiga ratus tahun yang lalu.
Memang ada beberapa pernyataan yang harus kita fahami dan kita simak betul-betul, dia mengatakan “Partai kita AKP adalah partai sekuler, namun kita inginkan anggotanya adalah orang yang ta’at beragama.” Secara sosio-psikologi, kita harus mampu memahami kontek ini.
Sebagaimana awal September 2013 dia mencabut larangan pakai jilbab di Turki, kecuali tentara, hakim dan polisi yang masih merupakan simbol sekularisme. Erdogan menyebut ini adalah kehendak rakyat Turki. Belum pernah kita dengan darinya,  berjilbab adalah wajib berdasarkan Surah Al Ahzab ayat 59, wajib atau perintah syari’at Islam. Padahal kita tahu beberapa waktu yang lalu dia terpaksa menyekolahkan anaknya di Amerika dan Bosnia, karena anaknya pakai jilbab.
Beliau pernah juga menyebut Islam dan sekularisme tidak boleh disatukan, karena merupakan ajaran yang jelas sangat berbeda. Syukur hari ini sudah ramai rakyat Turki yang kembali berjilbab, dari kalangan bukan aktivis atau anggota gerakan Islam, bahkan seorang rektorpun di Timur Turki sudah memakai jilbab.
Turki dan Mesir tidaklah sama, karena Turki diperintah oleh Bani Saljuk dari tahun 1035 sampai 1128 dan kemudian Khilafah Ushmaniyah selama delapan abad, hanya hampir sembilan puluh tahun “coba diracuni” oleh berhala sekularismenya Mustafa Kamal Attaturk.
Untuk Jokowi terlepas dari partainya PDI-P, memang tidak mesra dengan umat Islam. Apalagi dengan organisasi dan gerakan Islam. Tiada salahnya kita merenungi bagaimana Pak Natsir dan Buya Hamka berhadapan dengan Ali Sadikin, gubernur Jakarta yang mengaku membangun Jakarta dari uang hasil perjudian dan pelacuran, bahkan dikala kedua orangtua ini dan juga ulama lain mengritik, Bang Ali dengan angkuh mengatakan, “Jika tidak mau dengan cara itu keluar dari Jakarta,” ujar Ali Sadikin.
Tetapi para orangtua kita ini sabar dan tersenyum. Di sisi lain, teru-menerus mengirim surat, mengirim Al-Qur’an dan buku-buku agama. Akhirnya Ali Sadikin sebelum berhenti jadi gubernur Jakarta sempat menangis dan menyesali kebijaksanaannya.
Ali Sadikin bahkan “bertobat” dan menunaikan ibadah haji ke Makkah bersama Pak Natsir dan Buya Hamka.
Siapa di antara para ustadz, kiai, ulama yang mampu bersabar dalam berdakwah, dengan penuh hikmah dan kearifan layaknya para pemimpin Masyumi di saat seperti ini?

PKS janganlah berlebihan, apalagi lupa diri. Juga terkait Jokowi. Dia tetaplah seorang Islam begitu pula keluarganya. Tugas kita hanya menyampai mengajak dan menyeru mengetuk dhamir dan nuraninya, bukan mengutuk apalagi mencaci maki.[sp/hidayatullah]
Oleh : Aktifanus Jawahir
Penulis aktivis, pengamat politik dan gerakan Islam berasal dari Keluarga Besar Muhammadiyah