Trilogi : KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammadiyah ( Final Session )

Ini adalah tulisan ke tiga atau terakhir dari tulisan trilogi kami seputar buku – buku sejarah KH. Ahmad Dahlan dan seputar klaim Muhammadiyah sudah tidak orisinil seperti opini yang dibangun oleh beberapa pihak yang tidak diketahui motifnya yaitu pertama Kebohongan Buku dan yang kedua Dulu Dibenci Sekarang Dipuji . Semoga trilogi tulisan ini membuka cakrawala berpikir kita semua tentang KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah serta meneguhkan sikap kita semua untuk istiqomah di Muhammadiyah sesuai pesan KH. Ahmad Dahlan ” Kutitipkan Muhammadiyah kepada kalian “. 
 

Tanggapan atas Tanggapan; Sekali
Lagi Mengenai Jati Diri KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
Beberapa hari yang lalu kami
membuat sebuah opini yang berisi counter tuduhan bahwa Muhammadiyah sekarang
sudah menyimpang dari Muhammadiyah kyai Dahlan. Seperti yang kami perkirakan
sebelumnya opini tersebut memancing polemik yang cukup menarik untuk disimak
dan diikuti. ada banyak tanggapan baik pro maupun kontra terhadap opini
tersebut. Namun masih ada beberapa kesalahfahaman yang sekiranya dalam tulisan
ini akan kami bahas satu per satu.
Pertama kami tegaskan bahwa
ketika kami menyebut dahulu langgar kyai Dahlan dihancurkan, kyai Dahlan
dikafirkan, itu bukanlah adegan film semata. Jika kita lihat siapa saja
narasumber naskah film Sang Pencerah, maka disana ada pakar-pakar yang ahli
dalam sejarah Muhammadiyah. Misalnya Abdul Munir Mulkhan, Haedar Nashir dll.
Kalaupun di film itu ada bumbu-bumbu yang hanya fiksi, tentu hal tersebut
diletakan di adegan-adegan yang bukan pokok dari film. Misalnya adegan kyai
Dahlan dan Nyai Siti Walidah naik becak sambil pegangan tangan, sepertinya hal
tersebut tidak akan kita temukan di buku-buku sejarah Muhammadiyah.
Lalu ada yang menanggapi, yang
melakukan kekerasan terhadap kyai Dahlan itu bukan NU, wong NU lahir 1926, Muhammadiyah
lahir 1912 dan kyai Dahlan wafat 1923. Itu betul, kami pun tidak sebodoh itu.
Hanya memang yang kami fahami NU itu ada NU kultural dan ada NU struktural. NU
struktural itu adalah warga NU yang dia pun aktif di organisasi NU. Sedangkan
NU kultural adalah siapapun yang mengamalkan ajaran-ajaran NU walaupun dia
tidak aktif atau bahkan tidak kenal dengan organisasi NU. Mengapa di Indonesia
ini dikatakan bahwa mayoritas NU? Dikarenakan yang paling banyak adalah NU
kultural, walaupun mungkin secara keorganisasian Muhammadiyah lebih banyak.
Memang nama “NU”
sendiri zaman kyai Dahlan belum ada, namun kami sengaja menggunakan istilah NU
agar lebih dapat dimengerti. Dalam tulisan kami, yang dimaksud NU adalah setiap
orang yang berakidah asy’ariah, bermadzhab fiqh syafi’i, dan beraliran tasawuf
al ghazali atau junaid al baghdadi. Itulah yang kami maksud NU walaupun
organisasi NU belum lahir dan nama NU belum ada. Memang yang dahulu berselisih
faham dengan kyai Dahlan ini ya orang-orang berpemahaman seperti ini, jadi
harap difahami penggunaan kata “NU” yang kami gunakan.
Kedua, ada yang menanggapi bahwa
mungkin lebih tepat kalau kyai Dahlan itu bermadzhab Syafi’i, bukan NU. namun
kami di Muhammadiyah tidak lagi bermadzhab Syafi’i. Kami di Muhammadiyah malah
tidak bermadzhab atau malah bermadzhab wahabi, kata mereka. Kalau kita lihat
dalam buku Pelajaran KH. Ahmad Dahlan; 7 Falsafah dan 17 Kelompok Ayat Al Quran
yang ditulis oleh KRH. Hadjid murid termuda KH. Ahmad Dahlan, Kyai Dahlan
menekankan pentingnya manusia mencari kebenaran dan tidak boleh semata-mata
mengikuti kebiasaan. Sepanjang pengetahuan kami tidak ada satupun sumber dimana
kyai Dahlan menyuruh kami mengikuti satu madzhab tertentu atau pemikiran
tertentu, yang ada dalam salah satu pidatonya di kongres Muhammadiyah yang
berjudul “Tali Pengikat Hidup” kyai Dahlan menyuruh kita
memaksimalkan akal fikiran yang sehat dan hati suci kita dalam memahami
sumber-sumber keagamaan.
KH. Ahmad Dahlan sepanjang
sejarahnya adalah seorang yang eklektik. Apa itu eklektisme? Eklektisme adalah
sikap bisa menerima kebenaran darimana pun dia datang. Hal ini sejaran dengan
sebuah ungkapan, “Hikmah itu barang kaum mukmin yang hilang, maka ambilah
dimanapun kamu menemukannya”. Kyai Dahlan mengaplikasikannya saat dia masuk
Budi Utomo yang notabene organisasi kejawen, sampai-sampai muridnya mengeluh.
Namun menanggapi hal tersebut kyai Dahlan bilang bahwa kita ini harus punya
prinsip, namun jangan fanatik. Kalau zaman sekarang, kyai Dahlan itu ibarat
kyai namun masuk partai sekuler, begitulah sikap kyai Dahlan zaman dahulu.
Beliau masuk Budi Utomo bukan apa-apa, karena menurut kyai Dahlan ada manfaat
yang bisa diambil dari Budi Utomo yaitu dalam bidang keorganisasian. 
Lalu kyai Dahlan pun tidak segan
untuk berdialog dengan pendeta dan misionaris nasrani. Memang pada waktu itu
sedang gencar nasranisasi, malah dalam suatu kesempatan Kyai Dahlan berani
menantang pendeta nasrani untuk berdebat, dengan terlebih dahulu masing-masing
melepas keyakinan agamanya. untuk mencari tahu mana yang benar apakah Islam
atau nasrani, sayangnya si pendeta tidak hadir pada debat itu. Dalam suatu
kongres Muhammadiyah kyai Dahlan pun pernah mengundang orang komunis untuk
berpidato di hadapan warga Muhammadiyah. 
Buku-buku yang dibaca kyai
Dahlan pun dan guru-guru beliau pun tidak hanya satu aliran. Beliau membaca al
Ghazali, Imam syafii, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
dll. Hal ini membentuk pemahamannya yang luas. Beliau tidak pernah menyuruh
kita hanya membaca buku-buku tertentu dan melarang membaca buku lain karena
takut kafir. Kyai Dahlan dalam konteks waktu itu tidak mau menulis kitab, dia
merasa bahwa waktu itu sudah terlalu banyak kitab yang membuat orang jadi
mengandalkan kitab dan lupa menggunakan akal, padahal pintu ijtihad tidak
pernah tertutup.
Kyai Dahlan adalah seorang yang
berprinsip, namun eklektik dan inklusif. Sehingga ketika ada sebagian dari
saudara kita berfikiran, kyai Dahlan mengamalkan madzhab Syafi’i. maka kyai
Dahlan akan memaksa warga Muhammadiyah untuk sampai kiamat bermadzhab syafi’i
seperti beliau, hal itu menurut kami kurang tepat. Kalaupun kyai Dahlan bangun
dari kubur, lalu melihat Muhammadiyah sekarang, lalu melihat ada praktik ibadah
yang berbeda, kyai Dahlan tidak akan marah-marah gak jelas. Namun terlebih
dahulu alasannya, lalu saat kami menjelaskan alasannya, dia pun pasti akan
menerima dan tidak segan mengubah prakteknya saat memang argumentasi kuat.
Ketiga, tanggapan-tanggapan yang
kami terima membuat kami semakin sadar betapa sebagian kawan-kawan sangat benci
dengan “wahabi”. Sebenarnya apa sih wahabi itu? dan apakah
Muhammadiyah itu wahabi? Wahabi itu kan sebenarnya ejekan bagi Muhammad bin
abdul Wahhab, sehingga dalam tulisan ini kami tidak akan menggunakan wahabi,
namun salafi agar lebih adil. Memang pertentangan antara NU dan salafi itu
sangatlah keras dikarenakan berbagai faktor. Walaupun baik NU dan salafi ini
ada kesamaan, yakni sama-sama kuat dalam memegang tradisi. Hanya kalau salafi,
mereka sangat kuat dalam memegang tradisi-tradisi nabi, sahabat, tabi’in dan
tabiut tabi’in. Sedangkan NU mereka tidak mau langsung mengambil dari nabi,
namun mereka menyerahkan kepada otoritas yang berhak yakni para ulama madzhab.
Lalu perbedaan salafi dengan NU yang lain adalah bahwa salafi itu non akomodatif
dan kurang bisa menerima tradisi atau kebudayaan lokal non-arab. Sedangkan NU
cukup akomodatif dan dapat berasimilasi dengan budaya lokal. 
Selain dari faktor perbedaan
corak pemahaman tersebut, ada lagi yang membuat kebencian NU semakin sengit
dengan salafi, yakni peristiwa penghancuran situs-situs bersejarah oleh banu
saud yang beraliansi dengan Muhammad bin Abdul Wahhab. Tujuan penghancuran
situs-situs bersejarah oleh salafi dikarenakan memang banyak masyarakat yang
ngalap berkah, sehingga salafi memang merasa perlu menghancurkan agar
masyarakat terbebas dari kemusyrikan. Dalam kehidupan sosial, NU pun sering
dibid’ah-bid’ahkan oleh salafi. 
Begitulah sekelumit analisis
kami kenapa NU ini benar-benar benci dan mempunyai dendam kesumat dengan
salafi. Pertanyaan selanjutnya apakah Muhammadiyah itu wahabi? Kalau kita lihat
pada poin dua dimana kyai Dahlan adalah seorang yang eklektik, maka
Muhammadiyah bisa mengambil kebenaran dari manapun, termasuk dari yang oleh NU
disebut wahabi. Dalam Muhammadiyah ini ada dua dimensi tajdid, yakni purifikasi
dan dinamisasi. Purifikasi adalah pemurnian dalam akidah dan ibadah, sedangkan
dinamisasi adalah pengembangan dalam umuuru dunyaa. Kebetulan salafi ini pun
mempunyai prinsip yang sama dalam purifikasi, maka dalam segi ini Muhammadiyah
ada kesamaan dengan salafi. 
Adanya kesamaan Muhammadiyah
dengan salafi dalam hal purifikasi ini membuat warga NU gerah, dan puncaknya ya
menuduh Muhammadiyah itu wahabi. Kalau sudah masuk ke perdebatan ini rasanya
akan sulit menemukan titik temu, karena memang ada perbedaan perspektif yang
mendasar antara salafi dengan NU. Yang jelas walaupun dalam hal akidah dan
ibadah kami cenderung (bukan sama persis) dengan salafi, namun pada kenyataanya
kami pun banyak berbeda. Misalnya dalam penentuan awal Ramadhan dan hari raya.
Muhammadiyah malah dibilang ahlul bid’ah sama salafi karena menggunakan hisab.
Dan dalam masalah ini, justru salafi dan NU kompak menggunakan rukyat. Lalu
dalam hal lain misalnya musik dan jilbab, kalau Muhammadiyah tidak mengharamkan
musik asal tidak menjurus ke maksiat. Salafi mengharamkan kecuali untuk hal-hal
tertentu. Jilbab pun perempuan Muhammadiyah standar saja, walaupun kami tidak
membenarkan kalau ada perempuan pakai jilbab namun ketat pakaiannya. Sedangkan
perempuan salafi jilbabnya sangat panjang bahkan pakai cadar.
Memang susah jadi Muhammadiyah
itu, sama NU dibilang wahabi, sama liberal dibilang masih konservatif, sama
salafi masih dibilang kurang Islami. Namun inilah Muhammadiyah dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Apakah memang sudah takdir Muhammadiyah untuk
selalu disalahkan? Ya tidak masalah, karena semua gerakan islam masing – masing punya keunggulan sekaligus kelemahan maka yang penting mari berlomba-lomba dalam
kebaikan dan bersinergi sebagai bagian dari mata rantai perjuangan umat islam. (McD)

Silahkan bergabung di Group Facebook : Muhammadiyah Gerakan Islam Berkemadjoean