PBNU Mendukung Pabrik Rokok Asing Meraup Triliunan Rupiah

Di saat beberapa kelompok seperti Komnas HAM , Muhammadiyah, dan kelompok – kelompok lainnya mendesak agar pemerintah segera meratifikasi regulasi pengendalian tembakau dan rokok  ditambah dengan Fatwa MUI tentang Larangan Merokok, PBNU lebih memilih bersikap menolak regulasi tersebut yang berarti semakin melanggengkan cengkraman Pabrik Rokok luar Negri meraup triliunan rupiah dari Indonesia. 
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
mengapresiasi sikap Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang belum akan meratifikasi pengendalian
tembakau atau aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Muhammad
Sulthan Fatoni mengatakan, isu ratifikasi FCTCdan polemik Undang-Undang
Kesehatan telah mengganggu petani tembakau untuk memperoleh hak-hak dasar
kehidupannya. ( sperti dilansir ROL 08/03/2014 )
Menurut beberapa pegiat kesehatan, Komnas HAM termasuk Muhamamdiyah bahwa penundaan dan penolakan (FCTC) ini
hanyalah kamuflase sebagai bagian menjaga hegemoni pihak asing  untuk mengamankan bisnis triliunan dalam
industri rokok di dalam Negri

Indonesia Surga Industri
Rokok
Perkembangan
pengaturan masalah rokok di Indonesia berkembang cukup signifikaan dalam
beberapa tahun terakhir dengan diterbitkan UU no. 36/2009 tentang kesehatan
beserta turunannya yaitu PP 109 tahun 2012. Namun sejauh ini argumentasi dan
kekhawatiran yang dikemukakan oleh industri belum terbukti kebenarannya.
Indonesia masih menjadi lahan yang sangat nyaman bagi industri rokok. Produksi
Rokok meningkat pesat dari 270 milliar batang pada tahun 2010 menjadi 302
milliar batang pada tahun 2012, naik 32 milliar dalam 2 tahun. Jumlah produksi
ini bahkan sudah jauh melampaui target roadmap industri rokok yang menargetkan
produksi rokok 270 milliar batang pada tahun 2014. Industri rokok Indonesia
berkembang dengan sangat pesat di Indonesia dan mendapatkan keuntungan yang
melimpah ruah.
Kondisi
pasar industri rokok yang sangat ‘tobacco industry friendly’ ini mengundang
industri rokok internasional untuk ikut mengecap manisnya pasar rokok di
Indonesia dimana mereka terdesak berbagai regulasi di negara-negara maju.
Industri rokok internasional berbondong-bondong mengarahkan peluru pemasarannya
ke Indonesia. Bentoel dibeli oleh KT & J, HM Sampoerna salah satu industri
rokok terkemuka di Indonesia dibeli oleh Phillip Morris dari Amerika tahun 2005
dengan harga 48 triliun. Dan Sampoerna sudah memberikan keuntungan 9 triliun
kepada phillip Morris hanya pada tahun 2012 saja. Artinya hanya dalam waktu
kurang dari 5 tahun seluruh modal Phillip Morris sudah dapat kembali utuh.
Selain itu, dengan membeli Sampoerna maka Phillip Morris sekarang bisa
menikmati pasar rokok kretek yang dulu secara eksklusif hanya dimiliki oleh
industri rokok nasional. Sehingga dengan kondisi pasar saat ini industri kretek
sudah tidak lagi dikuasai hanya oleh industri dalam negeri tapi juga industri
rokok multinasional.
Industri
rokok juga melakukan berbagai event internasional di Indonesia dimana mereka
sudah diusir di negara lain di seluruh dunia. Pameran World Tobacco Asia (WTA)
yang merupakan salah satu pameran industri rokok terbesar di dunia diadakan di
Indonesia tahun 2010 dan 2012. Meskipun menghadapi demonstrasi dan penolakan
dari masyarakat dan bahkan oleh menteri kesehatan, Industri rokok tidak kapok
dan kembali akan melakukan pameran serupa tahun 2014. Bahkan Pameran industri
rokok lain juga akan diadakan yaitu Intertabac 2014 yang berbasis dari Dortmund
Jerman.
Setidaknya
ada dua hal yang menyebabkan industri rokok meraup keuntungan begitu banyak,
Pertama, isu masalah rokok masih dianggap isu peripheral dalam bidang kesehatan
di masyarakat luas. Posisi rokok dan merokok masih dianggap sebagai perilaku
normal dan hal yang wajar sehingga istilah ‘uang rokok’ masih popular. Industri
berhasil menyematkan berbagai kesan ‘positif’ dan mencuci impresi bahwa rokok
merupakan produk mematikan. Kedua, proses pengaturan rokok yang belum berjalan
secara komprehensif sehingga menyisakan kelonggaran dimana-mana. Kondisi ini
juga didukung oleh pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, kontrol sosial yang
rendah dan regulasi yang dihambat dimana-mana membuat pertumbuhan perokok
meningkat berkali lipat. Akibatnya laju prevalensi perokok di Indonesia
berkembang dengan sangat pesat, dan Indonesia hingga saat ini tercatat sebagai
negara dengan prevalensi perokok lelaki tertinggi di Dunia (67%). Para Pemilik
Industri rokok pun mengeruk keuntungan yang melimpah ruah. Bahkan 3 urutan
pertama orang terkaya di Indonesia berhasil dikuasai bertahun-tahun oleh para
saudagar nikotin.
Sehingga dengan
fakta yang ada, tuduhan bahwa regulasi telah membunuh industri rokok sama
sekali tidak memiliki dasar yang kuat. Yang terjadi justru sebaliknya, karena
proses regulasi yang tidak komprehensif dan kurang ketat, sehingga perkembangan
industri rokok tidak terkendali dan efek buruknya semakin menjadi yang akan
menjadi bom waktu bagi ketahanan bangsa dalam jangka panjang.
Yang kaya makin kaya, yang
miskin tetap miskin
Namun apakah
kejayaan para cukong nikotin ini juga dirasakan oleh para petani tembakau dan
para pekerja di Industri rokok? Fakta menunjukkan bahwa kondisi petani tembakau
dan pekerja Industri rokok berbanding terbalik dengan keadaan para pengusaha
rokok. Mereka tidak mendapatkan keuntungan dari booming konsumsi produk
tembakau di Indonesia. Di saat konsumsi rokok meningkat dengan pesat, jumlah
produksi tembakau dan lahan pertanian tembakau di Indonesia mengalami
penurunan.
Data BPS
menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun (2000 – 2010), luas lahan tembakau
menurun dari 260.738 ha tahun 1999 menjadi 204.405 ha tahun 2009. Begitu juga
dalam produksi daun tembakau dalam negeri, dalam 10 tahun terjadi penurunan
produksi daun tembakau sebesar 33 % dari 204.329 ton menjadi 135.678 ton. 
Dua data ini merupakan sebuah anomaly, dimana pada saat yang sama konsumsi
rokok meningkat 30 miliar batang dalam 2 tahun, namun luas lahan dan produksi
rokok malah menurun dengan signifikan. Sewajarnya peningkatan jumlah produksi
dan konsumsi rokok akan mendorong meningkatnya produksi daun tembakau untuk
memenuhi kebutuhan produksi.
Untuk
menutupi kebutuhan produksi pabriknya, alih-alih meningkatkan produksi petani
tembakau, industri memilih cara instan dengan melakukan impor tembakau secara
besar-besaran. Dalam kurun waktu 10 tahun (2000-2012), impor tembakau meningkat
hampir 2 kali lipat dari 34 ribu ton menjadi 65 ribu ton. Nilai impor ini
semakin meningkat untuk memenuhi kebutuhan industri rokok. Bahkan menurut data
BPS tahun 2012, hingga bulan Juli nilai impor tembakau sudah mencapai 81 ribu
ton dengan nilai 380 juta dollar. Kebijakan impor ini yang membuat daya tawar
petani terhadap industri semakin menurun, apalagi ditambah dengan tata niaga
yang merugikan petani maka lengkap sudah penderitaan petani tembakau. Terus
meningkatnya kebijakan impor tembakau oleh industri rokok menyisakan tandatanya
besar keberpihakan mereka terhadap petani. Namun disisi lain, industri mencoba
mencuci tangan mengaburkan fakta ini dengan menyebutkan impor naik karena
regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah.
Pekerja di
sektor industri tembakau juga tidak mengalami nasib yang lebih baik. Masih
menurut data BPS proporsi pekerja sektor industri pengolahan tembakau selalu
dibawah 1% dalam kurun waktu 1985 – 2009. Dalam 11 tahun (2000 – 2011)
rata-rata upah minimal per bulan pekerja industri rokok selalu lebih rendah
dari rata-rata upah pekerja industri secara keseluruhan. Rata-rata upah minimal
bulanan pekerja di industri rokok adalah Rp 615 ribu sedangkan di industri
makanan Rp 751 ribu dan rata-rata upah bulanan di seluruh industri Rp 901 ribu
(Fakta Tembakau 2011). 
Selain di
sektor pertanian tembakau dan pekerja industri pengolahan tembakau anomali juga
terjadi di struktur industri tembakau itu sendiri. Banyak perusahaan industri
rokok skala kecil dan menengah yang gulung tikar karena tidak kuat menjalani
persaingan dengan perusahaan-perusahaan besar dengan modal yang tiada
terhingga. Sebagaimana terjadi di Solo, menurut Ahmad Yasir, Ketua Serikat
Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (SPRTMM) Solo, dari sekira 20
perusahaan, rokok di solo, kini kurang dair 10 yang bertahan, sisanya tutup
atau dijual karena tidak sanggup bersaing dengan perusahaan besar. Ada semacam
fenomena kanibalisme di antara pabrik-pabrik rokok, dimana dengan modal yang
kuat perusahaan rokok dapat beriklan dengan budget yang besar dan melindas
perusahaan rokok kecil.
Data dari
Fakta Tembakau tahun 2011 menunjukkan bahwa pada tahun 2009, 77 % Pangsa pasar
industri rokok dikuasai oleh 4 perusahaan rokok besar yaitu HM Sampoerna (29%),
Gudang Garam (21,1%) dan Djarum (19,4%) dan BAT dan Bentoel menguasai (8%).
Diantara 4 perusahaan besar itu dua diantaranya adalah milik asing, sehingga
dapat disimpulkan bahwa 37% pasar rokok Indonesia dikuasai oleh Asing (Philip
Morris dan BAT).
Kambing Hitam FCTC
Namun dalam
perdebatan di publik industri selalu menutup mata mengenai fakta-fakta
tersebut. Dalam rangka melawan upaya pengendalian rokok, industri selalu
menjadikan petani tembakau dan upah buruh industri pengolahan rokok sebagai
tameng untuk membela kepentingan mereka. Maka dihembuskanlah berbagai mitos
bahwa kerugian dan kesulitan yang dialami oleh para petani tembakau dan buruh
pekerja rokok adalah karena upaya regulasi rokok yang dilakukan oleh
pemerintah.
Permasalahan
utama yang dihadapi oleh petani adalah tata niaga tembakau yang tidak memihak
kepada petani itu sendiri. Dan hal ini sengaja didesain oleh industri rokok
supaya petani tidak leluasa menetapkan harga dan tidak memiliki daya tawar yang
kuat terhadap industri. Selain itu, permasalahan yang dihadapi petani tembakau
adalah anomaly cuaca yang semakin tidak menentu. Tembakau adalah tumbuhan yang
memerlukan sinar matahari yang cukup agar dapat tumbuh dengan baik. Curah hujan
yang tidak menentu dan kurangnya dukungan dari industri terhadap petani dengan
menciptakan pasar yang monopsoni mengakibatkan petani lebih sering merugi
ketika menghadapi musim panen.
Pengalaman
di negara-negara penghasil tembakau menunjukkan bahwa pengaturan masalah rokok
seketat apapun tidak menimbulkan gejolak sosial ekonomi di kalangan masyarakatnya.
Negara-negara penghasil tembakau dan produsen rokok seperti China, India,
Brazil, Uruguay dan Amerika Serikat tidak serta merta industri rokok dan petani
tembakaunya tutup karena melakukan pengendalian rokok yang super ketat. Bahkan
di pasar tembakau internasional mereka masih bisa menguasai peredaran rokok dan
pertanian tembakau. Permasalahan petani dan industri rokok adalah sejauh mana
pemerintah mengatur peredaran dan menetapkan tata niaga yang fair sehingga
industri dan pertanian bisa tetap berkembang. Dan untuk melakukan itu tentu
tidak dengan menerapkan pasar liberal dengan membiarkan produk adiktif dan
mematikan beredar luas tanpa restriksi yang efektif, karena pengendalian bagi
barang merusak seperti itu adalah mutlak diperlukan.
Adapun mitos pengendalian konsumsi
rokok disebut ditunggangi kepentingan industri farmasi dan bagian dari politik
dagang perusahaan rokok internasional adalah mitos yang lemah dasar
argumentasiny. Industri farmasi akan mendapatkan keuntungan yang berlimpah ruah
di masyarakat yang rentan kepada penyakit. Semakin banyak faktor resiko yang
menyebar di masyarakat, semakin banyak orang yang akan sakit dan semakin laris
pulalah obat-obatan yang diperjualbelikan. Industri obat akan berjaya dan
mendapatkan keuntungan besar saat orang banyak yang sakit. Sehingga logika
bahwa pengaturan rokok akan menguntungkan industri farmasi sudah salah sejak di
dalam pikiran. Karena masyarakat yang lebih sehat tentu bukan kondisi bisnis
yang ideal bagi industri farmasi.
Mitos
persaingan pemasaran terapi nikotin pengganti (Nicotine Replacement Therapy)
juga mudah sekali untuk dibantah. Di berbagai belahan dunia terapi berhenti
merokok dengan menggunakan terapi nikotin pengganti tidak memiliki proporsi
yang besar dan hanya ‘laku’ di negara-negara maju dengan tingkat ekonomi yang
sudah mapan. Terapi pengganti nikotin membutuhkan biaya yang cukup mahal,
sehingga terapi seperti ini sama sekali tidak popular di negara-negara
berkembang. Harga-harga produk NRT berkisar antara 3 – 6 dollar untuk pemakaian
per hari, harga yang tinggi jika disbanding sebungkus rokok di Indonesia. Jika
orang diminta untuk memilih berhenti merokok dengan pengobatan terapi niktoin
pengganti yang mahal atau melanjutkan kebiasaan merokok, maka orang akan
memilih untuk kembali menghisap rokok.
Mitos
politik dagang dan perdagangan nikotin sengaja dihembuskan untuk mengaburkan
pandangan masyarakat terhadap upaya kesehatan perlindungan dari zat adiktif.
Masalah rokok adalah masalah yang tidak terlalu rumit, ini adalah upaya untuk
mewujudkan masyarakat yang lebih sehat versus kepentingan industri nikotin yang
telah menggurita dan memonopoli di seluruh dunia. Hal yang simple seperti ini
kemudian dibuat rumit dengan berbagai mitos yang dihembuskan oleh industri
untuk mengamankan bisnis bernilai ratusan triliun rupiah. Wallahu a’lam.