Masjid dan Kampanye Partai Politik

Ilustrasi Masjid ditempel atribut partai
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah meniup peluit kick off  laga pertarungan partai politik peserta pemilu di ajang kampanye pemilu legislatif untuk berlomba – lomba menarik simpati rakyat agar memilih partai bersangkutan di 9 April nanti. Seperti halnya kita mengingat pemilu sebelumnya di era pertentangan ideologi politik yang sangat panas ketika itu,
hampir semua ruang publik, termasuk masjid, telah digunakan untuk
meluaskan pengaruh kepartaian, demi memenangkan partai yang digandrungi.
Akibatnya, masjid telah berubah menjadi ajang kampanye partai,
khususnya partai-partai yang berideologi Islam ketika itu. Adapun partai
yang berideologi lain nyaris tidak punya masjid untuk berkampanye,
sekalipun anggotanya sebagian besar adalah Muslim juga.

Tokoh-tokoh
partai Islam pada musim pemilu pertama itu sangat piawai menggunakan
dalil-dalil agama agar rakyat hanya memilih partai-partai yang
berasaskan Islam. Di luar itu, berdasarkan keputusan Kongres ‘Alim-Ulama
tahun 1953 di Medan, haram hukumnya. Maka tidak pelak lagi,
masjid-masjid telah digiring untuk berpihak kepada partai-partai yang
serba Islam itu. Perasaan saya kala itu mengatakan bahwa penggiringan
itu sah-sah saja. Bukankah partai-partai yang tidak berdasar Islam itu
oleh Kongres Medan di atas tidak boleh dipilih? Tak terfikir bahwa warga
partai-partai yang tidak resmi berdasar Islam itu juga banyak umat
Islamnya yang juga salat di masjid. Mereka sangat terganggu oleh
khutbah-khutbah Jum’at yang umumnya berisi kampanye yang menyudutkan
partai mereka.

Sekarang kita berada di awal tahun 2014. Dengan
bergulirnya waktu, ada beberapa fenomena menarik yang harus dicermati
terkait dengan terjadinya proses santrinisasi kualitatif. Fenomena ini
terlihat di kampus-kampus, di lingkungan partai politik, di
kantor-kantor, dan di banyak tempat lainnya. Akibatnya, jumlah masjid
sekarang sudah tidak memadai lagi untuk menampung jamaah, sejalan dengan
ledakan demografis yang cukup mencemaskan. Dalam internet, saya gagal
mendapatkan data akurat tentang berapa jumlah masjid sebenarnya di
Indonesia sampai hari, karena memang belum ada angka statistik yang
valid. JK misalnya mengatakan bahwa jumlah masjid dan mushalla ada
sekitar 850 rubu. Disebutkan juga bahwa sebuah masjid diperuntukkan
untuk 700 jamaah. Dengan demikian, masih diperlukan ratusan ribu masjid
lagi untuk menampung jumlah jamaah yang semakin berjibun dari waktu ke waktu di Indonesia.

Kita
ambil angka gampangan saja, katakan ada sekitar 600 ribu masjid yang
dipakai untuk salat Jum’at dengan 200 jamaah rata-rata. Maka yang turut
dalam salat Jum’at menjadi 120 juta dari 207 juta umat Islam Indonesia.
Tuan dan puan bisa bayangkan, jika dalam khutbah Jum’at diselipkan
kampanye politik partai tertentu, atau masjid dijadikan alat peraga partai politik dengan menempelkan bendera/atribut partia di lingkungan masjid, pastilah masjid berhenti menjadi
tempat yang nyaman, diliputi oleh suasana persaudaraan. Perpecahan di
akar rumput akan menjadi sulit dihindari, seperti yang dulu pernah
berlaku. Jalan yang paling arif menurut saran saya adalah membebaskan
semua masjid dari gesekan politik kepentingan sesaat, jadikan Rumah
Allah ini sebagai tempat teduh dan sejuk buat semua orang beriman,
terlepas dari apa pun partai yang didukungnya. Para khatib haruslah
belajar menjadi negarawan di lingkungan sosialnya masing-masing,
hindarkan diri dari sikap partisan. Di saat defisitnya jumlah negarawan
sekarang ini, siapa tahu dari lingkaran masjid mereka akan bermunculan.

Dalam
Alquran (al-Taubah: 107-108) dengan tegas dikatakan bahwa masjid
dibangun atas dasar taqwa, bukan untuk mengejar kepentingan duniawi yang
bisa membawa perpecahan. Ayat inilah yang wajib dijadikan acuan dan
pedoman dalam kehidupan kolektif umat Islam, bukan sumber yang lain.
Artinya, syahwat politik kekuasaan jangan sampai dibawa-bawa ke dalam
masjid, karena pasti akan mengotorinya dan menyulut sengketa yang sangat
ditentang Alquran (Âli ‘Îmrân: 103, 105, 112).

Pada bulan-bulan
pemilu ini, umat Islam haruslah mendahulukan ajaran Alquran ketiimbang
kepentingan politik yang umurnya sangat pendek, disamping sering
merusak. Maka jadikanlah masjid untuk memupuk taqwa dalam makna menjaga
diri dari murka Allah dengan senantiasa mendekatkan diri kepadaNya.
Masjid haruslah bersih dari suasana kampanye politik.
(ASM/adm)