Polwan Muslimah Wajib Berjilbab

Dalam bentuk telegram
pada 28 November 2013, Polri telah mengeluarkan keputusan tentang penundaan aturan
penggunaan jilbab bagi polisi wanita (Polwan). Di awal Desember 2013, Kapolri
pun pernah menyatakan janjinya, dalam waktu dekat pihaknya akan segera menyusun
aturan yang mengatur penggunaan jilbab bagi Polwan (Kompas, 2 Desember 2013).

Bentuk penundaan dan
janji Polri yang tak kunjung dipenuhi hingga detik ini telah mengundang
sejumlah pertanyaan.  Di antaranya,
apakah dengan penundaan ini Polri tidak merasa, bahwa pihaknya  sudah melanggar Pancasila dan UUD 45. Bahkan telah
menodai kesucian perintah agama. Jika alasannya adalah terkait keseragaman dan
anggaran, apakah masuk akal.
 Sementara warga, khususnya polwan yang
berkeinginan untuk memakai jilbab pada saat dinas sudah menunggu
berlarut-larut. Jika dihitung dari mengemukanya peraturan larangan berjilbab
bagi Polwan per Juni 2013, berarti masalah ini sudah menggantung selama kurang
lebih sembilan bulan. 
Bagi sebagian
besar masyarakat di kita, kain kerudung atau hijab yang menutupi rambut kepala
dan dada wanita disebut jilbab. Padahal sebetulnya, yang dimaksud dengan jilbab
adalah sejenis pakaian yang longgar seperti baju kurung yang dipakai wanita
untuk menutupi tubuhnya. Istilah di kita, jilbab itu tepatnya baju gamis.
Sedangkan
bahasa fikih yang dimaksud kain kerudung itu sendiri adalah disebut khimar,
jamaknya khumur, yaitu kain kerudung yang menutupi bagian rambut kepala
wanita hingga ke dada. Dan aturan Polri yang dipersoalkan itu maksudnya tidak
lain adalah penggunaan kain kerudung atau hijab bagi Polwan. Bukan jilbab.  Karena pemakaian kata jilbab untuk pengertian
yang dimaksudkan lebih dominan dan meluas, khususnya di media, maka di sini
penulis pun akhirnya ikut-ikutan menggunakan istilah jilbab, sebagaiman isunya
yang belum tuntas hingga saat ini.
Hingga detik ini, nasib
sejumlah Polwan, khususnya Polwan Muslimah yang mau mengenakan jilbab berada
dalam ketidakpastian. Mereka telah menggadaikan kesucian dan harga dirinya
dengan melepaskan jilbab secara terpaksa. Sangat disesalkan, mereka tidak
dibenarkan untuk menggunakan jilbab sehingga aturan  penggunaan jilbab diberlakukan.
Sederet fakta
menyebutkan, di saat apel pagi atau ketika dinas, di kebanyakan titik kawasan tidak
terlihat polwan yang berjilbab, seperti di Polda Jawa Timur, Polsek Pamulang,
Pasar Minggu, Kebayoran Lama, Jagakarsa, Polres Jakarta Utara dan juga Mapolda
Metro Jaya. (Republik, Selasa, 11 Februari 2014, hal. 1).
Padahal sebelumnya,
berbagai elemen masyarakat seperti kalangan ulama, ormas Islam, LSM dan
sejumlah wakil rakyat telah memberikan peringatan dan kritikan kepada Polri
supaya peraturan larangan penggunaan jilbab bagi Polwan tersebut segera direvisi
karena dianggap bertentangan dengan spirit UUD 45 dan Pancasila. Namun kritikan
dan kecaman itu seolah-olah tidak ditanggapi 
secara serius oleh pemerintah dan Polri. Terbukti, hingga saat ini
masalah ini belum final dan terkatung-katung. 
Sebetulnya, instansi
pemerintah seperti Polri tidak sewajarnya mengeluarkan peraturan tentang
larangan berjilbab bagi Polwan di instansinya. Apalagi di berbagai instansi
pemerintah dan swasta, penggunaan jilbab sudah diijinkan. Tanpa kendala apa
pun. 
 Sejatinya, justeru Kapolri harus menganjurkan
penggunaan jilbab bagi Polwan. Jika masalahnya keseragaman, Polri punya
wewenang untuk mewajibkan penggunaan jilbab bagi seluruh Polwan, terutama
Polwan Muslimah. Saya kira, sikap seperti ini lebih mulia dan terpuji. Sebab pengunaan
jilbab bukanlah sekadar mode, tapi fitrah dan karakteristik wanita Muslimah
yang wajib dijaga dan dihormati. 
Di luar negeri, kecuali
beberapa Negara seperti Perancis, memakai jilbab sudah tidak dipersoalkan. Di
Inggris misalnya, penggunaan jilbab sudah lama dibolehkan, baik di militer maupun
di kepolisian. Mereka berjilbab tanpa ada hambatan dan halangan. Prinsip
kerajaan Inggris adalah multikulturalisme, sehingga tidak ada alasan
untuk tidak mengijinkan polisi wanita Muslimah mengenakan jilbab.
 Di Amerika, belum lama mengeluarkan aturan
secara resmi yang membolehkan Muslimah di angkatan bersenjata dan kepolisian
untuk menggunakan jilbab. Walaupun, secara praktiknya, jilbab di Negara Paman
Syam itu sudah lama berlaku. (Republik, Selasa, 11 Februari 2014, hal. 28).
Bahkan di Malaysia,
polisi wanita Muslimah diwajibkan mengenakan jilbab. Dan ini sudah berlangsung
cukup lama. Padahal kemajemukan di negeri Jiran ini tidak jauh beda dengan
Indonesia yang berlatar belakang ragam suku, etnis, dan agama. Akan tetapi,
dalam masalah aturan berjilbab, Kerajaan Malaysia justeru lebih maju daripada
Indonesia. Mereka menggalakan dan mewajibkan perempuan Muslimah untuk
berjilbab, termasuk bagi polisi wanita di jajaran kepolisian.
Oleh sebab itu, tidak
aneh jika sensasi Polri dengan aturan larangan menggunakan jilbab menuai
kecaman dan kritikan dari berbagai kekuatan masyarakat. Ketua Umum
Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin waktu itu berpendapat, Polri out of date
(ketinggalan zaman) jika bersikukuh mempertahankan aturan larangan memakai
jilbab bagi anggota kepolisian wanita. Sedangkan Ketua Ikatan Dai Indonesia
(IKADI), KH. Satori Ismail mengkritiknya dengan tegas, bahwa larangan Polri
tersebut merupakan sikap yang sudah berani melanggar hukum Allah.
Hal senada datang dari
Ketua Umum Dakwah Islam Indonesia (DDII), Syuhada Bahri. Ia meminta Polri tidak
melarang kebebasan menjalankan keyakinan agama seperti yang telah dijamin oleh
UUD 45. Menurutnya, karakter Polwan berjilbab selaras dengan kondisi Indonesia
yang mayoritas Islam.
Kritikan menarik juga
disampaikan oleh delegasi dari Wadah Silaturahim Muslimah Wanita TNI-Polwan. Ia
mengutarakan pandangannya, bahwa berjilbab menunjukkan nilai religiusitas yang
tinggi yang patut dihormati. “Karena jati diri dan profesionalitas merupakan
harga diri suatu bangsa. Keduanya akan lebih mulia jika disertai dengan nilai
ketaqwaan. Al-Quran, Pancasila dan UUD 45 serta nilai yang terkandung dalam Sapta
Marga dan Tribrata wajib dihormati. Sejarah telah membuktikan, dengan
religiusitas yang tinggi, TNI dan Polri mampu menjaga pertahanan dan keamanan
Negara.”  
Sedangkan Komisioner
Komnas Ham, Maneger Nasution menyatakan, masyarakat dimungkinkan mengajukan gugatan
class action terhadap Polri yang tidak mengijinkan anggota polwan
mengenakan jilbab. Apalagi Komnas Ham juga pernah mendapat pengaduan dari
seorang Polwan yang mengaku diintimidasi dan didiskriminasikan oleh atasannya. Jelas,
bentuk intimidasi dan diskriminasi oleh pihak kepolisian kepada anggota Polwan
yang tetap menggunakan jilbab merupakan pelanggaran pidana.
Di sinilah para
petinggi dan jajaran di kepolisian sedang diuji dan harus diingatkan. Di antara
solusi untuk menghadapi kasus seperti ini, para elit di Polri dan pemerintah dituntut
untuk cepat tanggap (responsif) dan tidak menunda-menunda lagi. Di samping itu,
Polri sudah seeloknya membaca dan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi
zaman, baik secara nasional maupun internasional. Sehingga aturan atau
kebijakan yang dikeluarkan didasarkan pada aspirasi masyarakat yang sejalan dengan
karakteristik bangsa dan nilai-nilai luhur agama, Pancasila dan UUD 45.
Saya berharap agar Polri
bekerja secara jujur dan profesional sesuai dengan mottonya,  sebagai pelayan dan abdi masyarakat. Segala
bentuk perubahan atau reformasi di tubuh Polri yang membawa kepada kemaslahatan,
baik bagi Polri, Negara dan masyarakat secara keseluruhan berhak menuai
dukungan. Oleh sebab itu, Polri harus segera menjawab dan menyelesaikan masalah
aturan jilbab ini dengan baik dan bijaksana.  Jika Polri keberatan untuk mewajibkan jilbab
bagi Polwan Muslimah, maka tidak ada masalah. Yang penting, aturan yang
membolehkan penggunaan jilbab bagi anggota Polwan ketika dinas segera diberlakukan.
Tanpa penundaan dan janji palsu. 
Imron Baehaqi, Lc., MA

Ketua Bidang Dakwah PCIM Malaysia
Alumni Mahasiwa Pasca Sarjana di Akademi Pengajian
Islam, Universiti Malaya, Kuala Lumpur