Sejarah dan Perkembangan Masuknya Muhammadiyah di Surabaya

Data sejarah ini dikumpulkan sebagai tuntutan logis terhadap perkembangan persyarikatan dalam berbagai aspeknya yang harus diidentifikasikan secara jelas dan obyektif sehingga akan menjadi bukti pendukung terhadap kepemilikan aset ataupun pengalaman sejarah yang berguna bagi generasi penerus persyarikatan, Dengan penyusunan sejarah dan profil Muhammadiyah Kota Surabaya diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang berarti bagi pengembangan persyarikatan ke depan. Karena dengan sejarah dan profil yang disusun akan menjadi daya tarik internal dan eksternal untuk memberikan dukungan dan parstisipasi yang lebih optimal dan bermakna dalam mengembangkan Muhammadiyah ke depan.
Data-data yang berhasil dikumpulkan oleh tim yang dibentuk Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya diperoleh dari tiga sumber yaitu pertama: Tulisan yang berupa makalah, laporan-laporan dan surat-surat serta dokumen berharga yang masih tersimpan pada fail Pimpinan Daerah. Kedua: Visual yang berupa foto-foto, barang-barang berharga yang merupakan peninggalan pengurus lama, tempat dan bangunan yang bernilai sejarah seperti masjid, mushollah, sekolah dan lainya, Ketiga:Oral Historis, berupa keterangan dari tokoh kunci yang terlibat langsung karena menjadi warga Muhammadiyah atau tidak langsung karena menaruh simpati pada gerakan Muhammadiyah.

Berkaitan dengan pengumpulan data sejarah ini digunakan trianggulasi sumber ganda, di samping menggunakan sumber visual berupa dokumen surat-surat berharga dan bukti peninggalan yang ada, peneliti menggunakan sumber oral histories yang menjadi keyman dalam mengungkapkan data sejarah. Keseluruhan data yang berhasil ditemukan secara jujur harus diakui, masih jauh dari harapan dan kebutuhan ideal untuk mengungkapkan gambaran yang sebenarnya telah terjadi, hal ini harus disadari sebagai kekurangan yang harus terus dicari untuk menyempurna- kan kekurangan data yang dibutuhkan.

Di antara sumber oral historis yang telah dikunjungi tim pengumpul data adalah: Bapak Nurhasan Zein; KH. Abdulah Wasian; DR. H. Zainuddin Maliki, M.Si; Prof. DR. H. Aminuddin Kasdi; H. Muhammad Yazid dan  Keluarga K.H. Mas Mansyur (Muslimin BBA).

Perkembangan Muhammadiyah di Surabaya

Hampir semua orang tahu bahwa Surabaya yang terletak di tepi laut jawa itu dikenal sebagai kota bandar atau kota pahlawan. Yang tidak banyak diketahui orang agaknya adalah, betapa watak kota ini telah mempengaruhi pula sikap hidup dan cara berfikir warganya. Ajaran-ajaran agama Islam yang dianut sebagian besar warga kota, ternyata telah “berbelok” dan sekaligus hanyut dalam arus Tahayul Bid’ah dan khurafa. Akibatnya tak heran jika ada sebagian orang kemudian dengan serta merta melempar tuduhan: begitulah Islam. Sembari mencibir mereka mengatakan: Islam adalah racun jiwa masyarakat, belenggu kemajuan dan kemerdekaan berfikir!

Tuduhan itu dilempar bukan sepenuhnya tanpa alasan. Sebab di kalangan pemeluk Islam waktu itu memang telah “turun” beberapa ajaran baru. Berpantalon dan berdasi haram hukumnya karena menyamai pakaian orang kafir. Mengajar Al Qur’an dengan menterjemahkannya apalagi menuliskan ayat-ayatnya di papan tulis adalah haram pula. Belajar bahasa asing selain bahasa Arab haram! Dan banyak lagi yang lain. Pendek kata Laknati dunia ! Dunia adalah sorga bagi orang kafir, tempat bagi orang Islam di akherat. Sampai-sampai alat-alat musik yang dinilai datang dari “luar”, turut pula diharamkan. Tapi alat musik yang bernama rebana boleh. Mengapa? Rebana alat musik yang datang dari Arab, negeri asal datangnya agama Islam. Masyarakat begitu sederhana dalam memahami Islam serta terkungkung oleh simbol-simbol budaya arab.

Surabaya sebagai kota yang berpenduduk heterogen pada saat penjajahan Belanda itu sangat jelas kompleksitasnya dari yang mewakili Pedagang, Politisi, Birokrat , Buruh, Priyayi, Ulama, dan masyarakat abangan bisa berinteraksi dengan dinamikanya masing-masing sebagai masyarakat pelangi yang mewarnai Surabaya. Tradisi, budaya dan mitos seperti sudah bersenyawa sehingga model-model ruwatan sebagai bentuk menghilangkan balak, tayuban dikampung-kampung  dengan sajian tarian wanita-wanita dan minuman arak yang bisa dilanjut dengan transaksi seks, Mengkramatkan tempat-tempat dan benda-benda tertentu seperti pohon, kuburan, keris, akik dan lain sebagainya begitu semarak dipojok-pojok kampung Surabaya.

Syukur pada saat-saat demikian, seorang pemuda dikabarkan akan “pulang kampung” dari perantauannya di Mesir. Pemuda itu adalah KH Mas Mansur. Tekad sudah bulat untuk membenahi keadaan ummat Islam yang tengah dikungkung oleh mendung Tahayul, Bid’ah dan khurafat yang demimikian parah dan meningggalkan rasionalitas dari akal sehatnya.  Langkah pertama yang diambil Mas Mansur adalah turut mengajar di Madrasah “NADLATUL WATHAN” yang terletak di daerah Kawatan bersama KH Mas Alwi. Langkah ini segera disusul dengan aktifnya Mas Mansur bersama KHA Wahab Hasbullah, KH Amien dan ulama-ulama Surabaya lainnya. Langkah ini ternyata tidak mulus. Terjadi perbedaan pendapat pada masalah furu’iyah dalam merumuskan faham hidup dan berjihad dan masalah ubudiyah serta tentang methode mengajar yang dipakai Mas Mansur. Madrasah “Nahdlatul Wathan” terpaksa ditinggalkannya dan mendirikan madrasah sendiri di mesjid Taqwa. Di madrasah “Hisbul Wathan” inilah langkah Mas Mansur diteruskan bersama KH Mas Alwi. Yang diterima menjadi santri adalah mereka yang mau dan bersedia dibai’at, bahwa mereka akan sungguh-sungguh belajar dan kelak setelah tamat rela menjadi Muballigh. Semula cuma berangkat dengan 40 orang santri dan Alham-dulillah hingga kini madrasah itu masih hidup yang kemudian dipimpin sendiri oleh putera almarhum, H. Aunurrafiq Mansur. Madrasah ini kini berganti nama dengan madrasah Mufidah.

KH Mas Mansur dan KH Mas Alwi ternyata tidak sendirian. Di tempat lain konon ada juga sebuah pondol pimpinan H. Ali meski tanpa hubungan sebelumnya mempunyai “garis” yang sama dengan mereka. Tahun 1920 datang lagi kawan seperjalanan, yaitu seorang musyafir dari Padang bernama Fakih Hasyim. Orang yang disebut terakhir ini kemudian atas permintaan H. Ali turut mengajar dipondok itu. Fakih Hasyim ternyata membawa udara baru di kalangan pemeluk agama Islam. Adat pusaka usang peninggalan nenek moyang sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan.

Langkah baru diambil lagi, yaitu dengan didirikannya oleh H. Ali dkk. suatu perkumpulan bernama “IHYA US SUNNAH”. Menghidup-hidupkan sunnah ajaran Rasulullah. Ini segera disusul atas inisiatif Pimpinan Sl (Tjokro dkk.) dan mas Mansur dengan berdirinya organisasi Tabligh “TA’MIRUL GHOFILIN”. Harap maklum: Fakih Hasyim adalah ahli sejarah dunia dan tarikh kebangkitan Islam, pernah golongan Arab yang tergabung dalam Al Irsyad menyambutnya dengan hangat. Itu terjadi keti-ka Fakih Hasyim mengupas sejarah perkem-bangan Islam dan silsilah Rasululloh.

Tapi semua itu tidak berarti bahwa “faham baru” begitu disebut orang yang dibawa Fakih Hasyim bisa hadir tanpa tantangan. Reaksi masyarakat ternyata cukup keras. Di antaranya dengan “pemboikotan”: siapa yang berani dan tetap mengikuti “faham baru”, diharamkan. Bertegur sapa dicibiri. Dan bila bertamu, maka bekas injakan kaki di lantai akan disucikan, najis! Wah!

Perdebatan KH Mas Mansyur dengan KH Ahmad Dahlan

Resiko pahit seperti itu bukan tidak disadari oleh KM Mas Mansur, KH Ali dan kawan-kawannya. Walhasil langit makin mendung. Reaksi masyarakat makin keras dan meluas. Dalam keadaan demikian itulah terbit niat mereka untuk bertandang ke

Yogyakarta. Terbetik kabar, konon di kota itu ada ulama besar yang “modern” tetapi sangat zuhud dan hidupnya teramat sederhana. Tak syak lagi, itulah KHA Achmad Dahlan. Kepada Achmad Dahlan inilah mereka bermaksud menumpahkan segala pengalaman pahit yang dialaminya di Sura­baya dan sekaligus hendak “mengujikan” ilmu-nya tentang agama dan kemasyarakatan yang pernah diterimanya dari ulama Padang itu.

Gayung bersambut, kata berjawab. Semangat da’wah yang hampir patah diSurabaya, bangkit kembali di sini. Bahkan dari KHA Dahlan telah diterima kesanggupan untuk da­tang ke Surabaya. Dan janji itu dipenuhi. Acara yang dipilih IHYA US SUNNAH untuk menyambut kedatangan KHA Dahlan adalah mengundang para alim ulama untuk sekedar bersilaturrahmi dan bermusyawarah saja. Tapi setelah ulama Yogya ini selesai berceramah, tak urung arena musyawarah itu jadi ajang perdebatan juga. KHA Mas Mansur yang terbilang Ulama Muda angkat bicara tentang cara memperbaiki dan mempertinggi mutu pendidikan dan pengajaran. Setelah menunjuk kerusakan masyara­kat dan kemerosotan derajat bangsanya, Mas Mansur bertanya: “Bagaimana cara mengatasi keadaan masyarakat yang demikian itu? ” Jawaban spontan diberikan KHA Dahlan “Obatnya tidak lain adalah ini !”, seraya menun­juk Kitab Suci Al Qur’an. ” Kaji isinya betul-betul ! Pergunakan segala ilmu untuk mengetahui mu’jizat kegaiban yang terkandung di dalamnya. Amalkan! Amalkan! Tiada cukup dengan hanya pandai membaca yang harus mengenal segala aturan tajwid dan mukhrajnya serta melagukan dengan suara yang merdu. Pergunakan otak dan mata hati untuk mengalami isi Qur’an, niscaya kita tahu akan rahasia alam yang memang diciptakan buat manusia yang dititahkan Rabbul ‘Alamin sebagai Kholifahnya di dunia.

Dengan demikian nyata keliru pandangan orang, bahwa Islam itu Agama naluri yang hanya berguna bagi orang mati – kenduri dan upacara-upacara lainnya. Bahkan kebanyakan upacara adat yang demi­kian itu, adalah warisan dari Agama Budha dahulu kala sebelum Islam berkembang di Indonesia.

Konon pada saat kedatangan KHA Dahlan yang kedua kalinya di Surabaya, maka diresmikanlah berdirinya “MUHAMMADIYAH CABANG SURABAYA”, yaitu tanggal 1 Nopember 1921 M Pimpinan yang dilantik waktu itu antara lain:

KH Mas Mansur sebagai Ketua, dibantu KH Ali sebagai pelopor pendirinya. Juga para Mubaligh: H. Ashari Rawy, H. Ali Ismail dan disusul K. Utsman. Dari sini Muhammadiyah Cabang Surabaya segera mewujudkan amal usahanya. Pada tahun 1922 diresmikanlah berdirinya HIZBUL WATHAN. Pengurus Cabangnya antara lainM. Idris, H. Asy’ari, HM Machien, H. Ismail, Sono, Soekardi, Soeprapto, HM. Kaspan dan M. Wisatmo (menantu K. Utsman) yang kemudian menjadi Menteri Daerah HW Karesidenan Surabaya. Baik juga dicatat: HIZBUL WATHAN pada waktu itu masih berstatus sebagai Urusan Pemuda dalam Muhammadiyah. Usaha-usaha ” yang dijalankan adalah bidang Perpustakaan yang dikenal dengan “Taman Pustaka Pemuda   Muhammadiyah ” Cabang Surabaya. Juga usaha-usaha perkoperasian. Dan satu lagi: Orang pasti ingat PS HW. Itu Persatuan Sepakbola yang kondang dalam prestasi dan harum lantaran sportifitasnya di lapangan. Akan halnya Pemuda Muhammadiyah Cabang Surabaya sendiri, terbentuk tahun 1937. Pengurusnya adalah: HM Anwar Zain (Almarhum) yang juga pernah menjadi ketua PWM Jatim, Nurhasan Zain (yang kini masih hidup dan dulu menjadi Ketua I PDM Kodya Surabaya), Malikin, Said Umar, Masdar Wahab, Su’aib Said, Mas Slamet, Amir Umar, H. Umar Siraj, Muh. Mardjuki dan Ating Sabdjan.

Enam tahun setelah berdirinya Muhamadiyah di Surabaya tepatnya pada tahun 1927 terjadilah krisis ekonomi  sehingga Belanda melakukan tekanan dan kekerasan kepada rakyat dengan menaikkan berbagai pajak, PHK besar-besaran terutama pegawai Staats Spoorwegen ( DKA ), dinamika ekonomi masyarakat benar-benar lumpuh.Kondisi ini juga berdampak pada gerakan da’wah Muhammadiyah dimana uang kas kosong, gaji dokter, perawat dan guru tidak dapat dibayar, karena memang untuk memenuhi kebutuhan pribadi saja sangat berat, sehingga  K.H. Mas Mansyur tidak tinggal diam dalam menghadapi kondisi ini dan pada suatu malam yang hening dimana semua orang sudah tidur dikumpulkanlah aktifis – aktifis Muhamadiyah di rumahnya untuk mencari solusi menyelamatkan Muhammadiyah dan bangsa ini dari krisis ekonomi. Karena pembahasan rapat yang cukup berat sehingga sampai larut malam belum ada keputusan, maka banyak peserta rapat yang meninggalkan tempat dan tinggal 20 orang saja yang masih bertahan dan selanjutnya dibai’at dan  masing-masing mengucapkan sumpah setianya kepada Muhammadiyah, sanggup mengorbankan harta dan jiwanya untuk mempertahankan Muhammadiyah, ke 20 orang tersebut kemudian dikenal dengan Wali Rongpuluh sebagai pahlawan yang berani bekerja keras sampai akhirnya dapat meneruskan amal usaha Muhamadiyah sampai sekarang.[sp/muhsby]