Hizbul Wathan : Meramu Nasionalisme Kebangsaan Melalui Gerakan Kepanduan

Menyoal masalah nasionalisme tentu
akan menjadi hal yang panjang untuk diperbincangkan. Sebuah analogi yang cukup
menarik, jika negara adalah raga, nasionalisme adalah jiwa yang membuat raga
tersebut tetap hidup. Dari sinilah kita bisa tahu betapa pentingnya
nasionalisme itu diperlukan dalam sebuah negara agar negara tersebut tak hampa
tanpa gelora kebangsaan. Nasionalisme itu akan memberikan kekuatan yang luar biasa
dalam dirinya untuk cinta dan siap membela mati-matian demi tanah airnya.
Seperti halnya cerita pewayangan, Kumbakarno yang notabene berbeda pandangan
dengan kakaknya Dasamuka Raja Alengka, ia rela mati hanya karena ingin membela
negerinya. Militansi dan totalitas dalam berkebangsaan seperti inilah yang
harusnya dipupuk oleh seluruh rakyat Indonesia. Menurut L. Stoddard,
nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki oleh sebagian terbesar
individu di mana mereka menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan memiliki
secara bersama di dalam suatu bangsa.
Nasionalisme Kekinian : Terus
Tergerus oleh Arus Modernisasi
Bicara nasionalisme untuk saat ini,
sepertinya kita harus sedikit prihatin. Jiwa nasionalisme dalam diri Bangsa
Indonesia seolah semakin lama semakin menipis. Lihat saja fakta yang ada di
masyarakat, sudah banyak pelajar kita yang tak hafal lagu Indonesia Raya. Dalam
sebuah berita yang dirilis www.halloriau.com menyebutkan bahwa sebuah SD di Riau
dalam salah satu kesempatan upacara yang dihadiri walikota tak ada yang bisa
menyanyikan Lagu Indonesia Raya. Ini hanyalah fakta sebatas permukaan saja,
masih banyak fakta yang lain yang kita tidak tahu. Kalau dianalisis lebih
mendalam, salah satu penyebab tergerusnya nasionalisme ini adalah arus
modernisasi yang kian lama kian gencar merangsuk di negeri ini, entah dari sisi
budaya,trend seperti pakaian, makanan, bahkan musik sekalipun. Dua hal yang
menyebabkan itu adalah yang pertama kurang dalamnya kita menjiwai nasionalisme
dan kebanggaan terhadap negara sendiri. Kemudian yang kedua adalah terlalu
silaunya kita melihat pengaruh dari luar. Seringkali kita terhanyut akan
kebanggaan jika kita bisa “mereplikasi” pengaruh luar ini dalam diri dan
kehidupan kita, padahal kalau sudah seperti ini nasionalisme akan menjadi
pertaruhan. Inilah yang kemudian disebut modernisasi menggerus eksistensi
nasionalisme seseorang terhadap bangsanya.
Hal yang kemudian dipertanyakan
adalah apakah sistem pendidikan kita tak mampu lagi menanamkan jiwa-jiwa
nasionalisme pada warga negara Indonesia. Secara kurikulum upaya internalisasi
jiwa nasionalisme sebenarnya sudah dimasukkan dalam mata pelajaran kewarganegaraan.
Entah karena kurangnya alokasi waktu belajar mengajar atau memang dengan waktu
yang ada belum mampu melakukan internalisasi jiwa nasionalisme kepada warga
negaranya. Sehingga memang idealnya ada upaya komplementer untuk menanamkan
jiwa nasionalisme tersebut kepada warga negara. Dari sinilah muncul berbagai
upaya lain yang memiliki misi yang sama yakni menguatkan jiwa nasionalisme.
Termasuk melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti gerakan kepanduan Hizbul
Wathan yang ada di sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Menilik Kembali Sejarah Berdirinya
Hizbul Wathan
Tahun 1918 Hizbul Wathan memulai
perjuangannya yang pertama dengan nama Padvinder Muhammadiyah. Di awal
pendiriannya ini HW banyak belajar dari JPO (Javaanche Padvinderij Organisatie)
yang sudah berdiri sebelumnya. Suatu ketika HW pernah mengadakan kunjungan ke
JPO yang berada di Surakarta. Sepulang dari kunjungan ke JPO Solo tersebut
dibicarakan nama dari Padvinder Muhammadiyah. Di rumah Bp. H. Hilal Kauman, RH.
Hadjid mengajukan nama yang dianggap cocok pada waktu itu yaitu HIZBUL
WATHAN, yang berarti Pembela Tanah Air. Ini dilatarbelakangi adanya
pergolakan-pergolakan di luar negeri maupun di dalam negeri yaitu masa berjuang
melawan penjajah Belanda. Nama HW sendiri berasal dari nama kesatuan tentara
Mesir yang sedang berperang membela tanah airnya. Dengan kata sepakat nama HW
dipakai mengganti nama “Padvinder Muhammadiyah“ tahun 1920. Dari sinilah sudah
jelas bahwa salah satu alasan berdirinya HW adalah untuk menggelorakan semangat
nasionalisme terhadap Tanah Air kita. Artinya kita bisa melihat bahwa
Muhammadiyah sebagai gerakan kemasyarakatan waktu itu ikut merasa memiliki
tanggung jawab kebangsaan.
Dalam perjalanannya HW tak ubahnya dengan organsiasi
otonom Muhammadiyah lainnya, yakni IPM. HW harus rela melebur ke Pramuka
sebagai dampak dari rasionalisasi yang dilakukan pemerintah melalui Keputusan
Presiden Nomor 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka. Namun ia kembali bangkit
pada 18 November 1999 berkat upaya dari para kadernya.
Geliat Gerakan Hizbul Wathan
:  Gebrakan Memadukan Jiwa Religius-Nasionalis
Hizbul Wathan merupakan
sistem pendidikan di luar keluarga dan sekolah untuk anak, remaja, dan pemuda
dilakukan di alam terbuka dengan metode yang menarik, menyenangkan dan
menantang, dalam rangka membentuk warga negara yang berguna dan mandiri. Untuk
mencapai tujuan tersebut HW memiliki 8 upaya strategis. Salah satu dari upaya
itu adalah memantapkan persatuan dan kesatuan serta penanaman rasa demokrasi
serta ukhuwah sehingga berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Dari sini
sebenarnya kita sudah bisa melihat semangat nasionalisme yang ingin digelorakan
gerakan kepanduan Hizbul Wathan itu. Secara eksplisit terlihat dalam 
redaksional diatas, Hizbul Wathan ingin meningkatkan rasa dan sikap nasionalis
dengan memantapkan persatuan dan  kesatuan bangsa dalam artian luas, bukan
hanya untuk kadernya semata. Upaya internalisasi jiwa nasionalisme ini
dilakukan melalui proses pembinaan yang telah dirumuskan dengan sistematis
melalui berbagai metode.
Prinsip Kepanduan yang digelorakan
dalam pembinaan di HW sendiri terdiri dari tiga diantarannya pengamalan aqidah
Islamiah, pembentukan dan pembinaan akhlak mulia menurut ajaran Islam, dan
pengamalan Kode Kehormatan Pandu. Kalau kita cermati prinsip pertama dan kedua
menegaskan bahwa untuk membentuk kader bangsa sebagai gerakan islam, HW harus
menanamkan aqidah dan kepribadian muslim kepada kadernya. Sedangkan prinsip
kepanduan yang ketiga menegaskan jiwa kepanduan yang harus dimiliki oleh setiap
kader HW. Kader HW harus memiliki integritas dalam bergerak, menjadi ujung
tombak untuk perubahan di masyarakat dalam artian luas. Hal yang tak kalah
penting adalah menjadi pelopor nasionalisme untuk menjunjung tinggi martabat
Bangsa Indonesia. Kader HW harus bisa menjadi salah satu unsur pemersatu dari
berbagai entitas yang ada di masyarakat. Bukan justru menebarkan benih
perbedaan, namun ia harus sadar bahwa keberagaman Indonesia haruslah disikapi
dengan saling memahami dan bersatu padu.
Metode kolaborasi menumbukan jiwa
religius-nasionalis yang diterapkan dalam pembinaan HW adalah hal yang harus
diapresiasi. Hal ini karena secara internal HW mampu menumbuhkan kepribadian
Islam dan militansi yang mengakar kepada kadernya namun secara eksternal HW
juga terus inklusif menumbuhkan kepedulian untuk bersatu padu bersama entitas
bangsa lainnya dalam membela Tanah Air Indonesia. HW diharapkan menjadi sebuah
gebrakan pembinaan kader bangsa yang komprehensif sebagai solusi menghadapi
krisis nasionalisme Bangsa Indonesia saat ini.
PHISCA ADITYA ROSYADY

Kabid. Riset dan Keilmuan IMM Al
Khawarizmi UGM Periode 2012-2014