Buya Hamka, Ulama Yang Tak Terbeli

 

Nama panjangnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, tapi ia lebih dikenal dengan HAMKA. Seorang ulama ahlus sunnah wal jamaah yang pernah dilahirkan oleh bangsa Indonesia, yang berpengaruh hingga di kawasan Asia Tenggara. 
Beliau lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908, Putra H. Abdul Karim Amrullah. Seorang tokoh pelopor gerakan Islam “Kaum Muda” di daerahnya. Dia juga termasuk generasi ketiga dari dakwah Pemurnian di Indonesia. (Generasi Pertama adalah Syaikh Al Minangkabawi Kakek Guru Imam Bonjol, yang akhirnya kembali ke madinah dan menjadi ulama besar disana sehingga disebut Ulama Madinah. Generasi Kedua: Imam Bonjol dan Gurunya; yang akhirnya padam akibat kerjasama kelompok Munafik dari kalangan kaum adat dengan Belanda)
Hamka hanya sempat masuk sekolah desa selama 3 tahun dan sekolah-sekolah agama di Padangpanjang dan Parabek (dekat Bukittinggi) sekitar 3 tahun. Tapi ia berbakat dalam bidang bahasa dan segera menguasai bahasa Arab; yang membuat ia mampu membaca secara luas literatur Arab, termasuk terjemahan dari tulisan-tulisan Barat. Sebagai putra tokoh pergerakan, sejak kecil Hamka menyaksikan dan mendengar langsung pembicaraan tentang pembaruan dan gerakannya melalui ayah dan rekan-rekan ayahnya.
Buya Hamka dikenal sebagai seorang petualang. Ayahnya bahkan menyebutnya “Si Bujang Jauh”. Pada 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa untuk mempelajari seluk-beluk gerakan Islam modern dari H. Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944-1952), RM. Soerjopranoto (1871-1959), dan KH. Fakhfuddin (ayah KH. Abdur Rozzaq Fakhruddin). Kursus-kursus pergerakan itu diadakan di Gedung Abdi Dharmo, Pakualaman, Yogyakarta. Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak ipamya, AR. Sutan Mansur, yang waktu itu menjadi ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh ulama setempat.
Pada bulan Juli 1925, ia kembali ke rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah.
Pada Februari 1927, Hamka berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim lebih kurang 6 bulan. Selama di Makkah, ia bekerja di sebuah percetakan. Pada bulan Juli, Hamka kembali ke tanah air dengan tujuan Medan. Di Medan ia menjadi guru agama pada sebuah perkebunan selama beberapa bulan. Pada akhir 1927, ia kembali ke kampung halamannya.
Pada 1928, Hamka menjadi peserta Muktamar Muhammadiyah di Solo, dan sejak itu hampir tidak pernah absen dalam Muktamar Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Sepulang dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, ketua Tabligh, sampai menjadi ketua Muhammadiyah Cabang Padangpanjang. Pada 1930, ia diutus oleh Pengurus Cabang Padangpanjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Pada 1931, ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah ke Ujungpandang untuk menjadi mubaligh Muhammadiyah dalam rangka menggerakkan semangat menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 (Mei 1932) di Ujungpandang.
Hamka pindah ke Jakarta pada tahun 1950, dan memulai karirnya sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang dipimpin KH. Abdul Wahid Hasyim.
Tahun 1950 itu juga HAMKA mengadakan lawatan ke beberapa negara Arab sesudah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Sepulang dari lawatan ini ia mengarang apa buku roman, yaitu Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajah. Sebelumnya Hamka menulis Di Bawah Naungan Ka’bah (1938), Tenggelamrrya Kapal van der Wljk (1939)Merantau ke Deli (1940), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940), dan biografi orang tuanya berjudul Ayahku (1949).
Ia pernah mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Tentang pengaruhnya, Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia berkata, “ Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tapi juga kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.”
Dalam bidang politik, Hamka menjadi anggota konstituante hasil pemilu pertama 1955. la dicalonkan oleh Muhammadiyah untuk mewakili daerah pemilihan Masyumi di JawaTengah. Muhammadiyah waktu itu adalah anggota istimewa Masyumi. Dalam sidang konstituante di Bandung, ia menyampaikan pidato penolakan gagasan Soekarno untuk menerapkan Demokrasi Terpimpin.
Setelah Konstituante dibubarkan pada bulan Juli 1959 dan Masyumi dibubarkan setahun kemudian. Hamka pun memusatkan kegiatannya dalam dakwah. Sebelum Masyumi di bubarkan, ia mendirikan majalah tengah bulanan bernama Panji Masyarakat yang menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam. Majalah ini kemudian dibreidel pada 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat karangan Dr. Muhammad Hatta berjudul Demokrasi Kita yang mengritik konsepsi Demokrasi Terpimpin. Majalah ini baru terbit kembali setelah Orde Lama tumbang, pada 1967, dan HAMKA menjadi pemimpin umumnya hingga akhir hayatnya.
Sebelumnya, pada tanggal 27 Januari 1964, ulama dengan jasa yang besar pada negara ini ditangkap negaranya sendiri. Ia dijebloskan ke dalam penjara selama Orde Lama. Dalam tahan ini pula ia melahirkan karyanya yang monumental, yakniTafsir Al Azhar.
Hamka pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1975. Pada masanya pula, MUI pernah mengeluarkan fatwa yang luar biasa, melarang perayaan Natal bersama. MUI didesak untuk mencabut kembali fatwa tersebut, namun Hamka menolakya. Ia lebih memilih mengundurkan diri dari jabatannya ketimbang harus mengorbankan akidah. Allah SWT memanggilnya pada 24 Juli 1981. Ulama pejuang yang istiqomah ini dimakamkan di Tanah Kusir, diiringi doa segenap umat Islam yang mencintainya.
Puisi ini ditulis Buya Hamka pada tanggal 13 November 1957 setelah mendengar pidato M. Natsir yang mengurai kelemahan system kehidupan buatan manusia dan dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar Negara RI.
KEPADA SAUDARAKU M. NATSIR
Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu……!
(dikutip dari buku “Mengenang 100 tahun HAMKA”)
Sajak berikut merupakan rangkaian dari sajak berbalas dari M Natsir pada Buya Hamka yang sebelumnya menyusun sajak untuk M Natsir yang berjudul “Kepada saudaraku M Natsir”.
DAFTAR
Saudaraku Hamka,
Lama, suaramu tak kudengar lagi
Lama…
Kadang-kadang,
Di tengah-tengah si pongah mortir dan mitralyur,
Dentuman bom dan meriam sahut-menyahut,
Kudengar, tingkatan irama sajakmu itu,
Yang pernah kau hadiahkan kepadaku,
Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam ”Daftar”.
Tiba-tiba,
Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan,
Rayuan umbuk dan umbai silih berganti,
Melantang menyambar api kalimah hak dari mulutmu,
Yang biasa bersenandung itu,
Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam.
Aku tersentak,
Darahku berdebar,
Air mataku menyenak,
Girang, diliputi syukur
Pancangkan !
Pancangkan olehmu, wahai Bilal !
Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid,
Walau karihal kafirun…
Berjuta kawan sefaham bersiap masuk
Kedalam ”daftarmu” … *
Saudaramu,
Tempat, 23 Mei 1959