BNPT, Densus, dan Teroris Seperti Tempat Prostitusi

JAKARTA – Indonesian Crime Analys Forum menyarankan dilakukannya audit terhadap Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) dan Detasemen Khusus (Densus) 88 anti teror mengingat masih banyaknya aksi teror bertebaran di Indonesia.  

Koordinator Indonesian Crime Analys Forum, Mustofa B Nahrawardaya bahkan menduga bahwa ada pihak-pihak tertentu yang sengaja atau menginginkan jaringan teroris tetap eksis di Indonesia. “BNPT dan Densus harus diaudit. Yang perlu dipelajari siapa yang mengelola teroris itu, kemungkinan ada pihak ketiga yang ingin agar BNPT tetap ada atau yang berusaha menciptakan teroris tetap ada,” kata dia saat dihubungi Okezone di Jakarta, Jumat (3/1/2014) malam.

Mustofa mengibaratkan, adanya BNPT dan Densus seolah seperti suatu tempat prostitusi, dimana masing-masing pihak sama-sama berkepentingan.
“Ada Densus dan BNPT, tapi teroris terus ada. Kalau teroris enggak ada kinerja BNPT dan Densus apa, kan enggak ada. Ini kan sudah banyak lembaga dibentuk, banyak karyawan, kalau enggak ada terorisnya BNPT dikemanain? Ini sudah terlanjur,” kritiknya. 

Sudah kita ketahui bahwa dalam aksinya Densus kerap menembak mati terduga teroris. Belum terbukti teroris tetapi sudah ditembak mati.

 Kritik tentang kinerja Pengakan Hukum terhadap Terorisme

Terorisme masih dikategorikan sebagai Crime/Kejahatan, posisi Kejahatan Terorisme disamakan dengan Kejahatan Narkotika dan Kejahatan Korupsi sebagai Extraordinary Crime atau Kejahatan Luar biasa.

Menjadi Quo Vadis soal Penegakan Hukum / Pro Justisia terhadap tiga kejahatan ini sangat berbeda, para Terduga Teroris harus meregang nyawa sebelum proses peradilan berjalan dan persidangan memutuskan bersalah atau tidak, dalihnya selalu karena ada perlawanan jadi terpaksa ditembak mati akan tetapi tidak pernah ada audit/transparansi terhadap kinerja Densus 88. Kejadian salah tangkap pun kerap dilakukan Densus 88 kemudian tidak ada upaya rehabilitasi terhadap korban salah tangkap tersebut.

Berbeda dengan penegakan hukum terhadap kejahatan Korupsi dan Narkoba, selalu adigium Presumption of Innocence yang digemborkan sehingga ketika sudah ditetapkan tersangka pun masih bisa memegang jabatan.

Hendaknya Polisi memegang teguh prinsip Equality Before the Law dalam proses penegakan hukum jangan hanya karena terduga teroris kemudian serampangan menerapkan pendekatan represif tetapi sangat kooperatif dengan tersangka pejabat korupsi atau tersangka bandar narkotika.

Jangan ada lagi cerita ummat islam yang menjadi korban salah tangkap , ingatlah adigium dalam hukum “Lebih baik membebaskan ribuan orang bersalah, ketimbang memenjarakan satu orang yang tidak bersalah” [sp/mch/arf]