Zakat : Meretas Kompleksitas Usaha Mikro

ZAKAT memang hebat. Ia mampu memberi resonansi dalam aspek pemberdayaan masyarakat, sekaligus memberi kekuatan magnetis untuk menarik berbagai kekuatan partikel umat sehingga jumlah muzaki kian bertambah. Kekuatan resonansi dimaknakan sebagai efek kemaslahatan yang diberikan instrumen zakat, karena terbukti secara historis dan empiris memicu redistribusi aset demi keadilan dan pemerataan. Kekuatan magnetis dimaknakan, sebagai kemampuan instrumen zakat mengakumulasi aset, yang dipicu oleh kekuatan eskatologis yang berdimensi ibadah, sebagai panggilan Allah yang terekspresi dalam rukun Islam.
Tulisan ini, lebih menengok spektrum resonansi, karena sesungguhnya jika zakat dioptimalkan dan diefektifkan, maka satu persoalan penting masalah kemiskinan akan tereduksi. Karena itu, ada dua hal penting dalam aspek manajamen zakat, yakni, efektifitas penarikan dan efektifitas alokasi/distribusi.
Usaha Mikro
Pelaku usaha dibagi atas pelaku usaha kecil, menengah dan besar. Usaha kecil (small firms) biasanya didefnisikan sebagai kegiatan usaha dengan jumlah tenaga kerja antara 10-50 orang, dan usaha sangat kecil (very small firms) atau kerapkali disebut usaha kecil mikro jumlah tenaga kerjanya antara 5-10 orang. Perusahaan dengan jumlah tenaga kerja kurang dari lima orang sering disebut dengan cottage shop dan pada umumnya dijalankan di rumah (household manufacturing) atau di bengkel-bengkel kecil (small workshop).
Oleh karena usaha mikro adalah bagian dari gerakan ekonomi rakyat dan zakat adalah instrumen strategis dalam pemberdayaan ekonomi rakyat, menjadi penting alokasi dan distribusi dana zakat diarahkan pada penguatan usaha mikro. Hanya persoalannya, penguatan usaha mikro membutuhkan dua aspek, yakni aspek finansial dan pendampingan. Dua aspek ini membutuhkan mekanisme kelembagaan.
Merujuk John R. Commons (dalam Rachbini, 2005) menguraikan kelembagaan merupakan collective action in restraint, liberation, and expansion of individual action. Ini menandakan, kelembagaan adalah aturan main yang dimiliki individu-individu untuk berperan dalam pranata kehidupan, tetapi juga berarti perilaku dari pranata tersebut. Artinya, dalam rangka penguatan usaha mikro, peran kelembagaan keuangan seperti BMT (BTM) dan lembaga keuangan mikro lainnya, sangat penting.
Dana zakat yang terakumulasi untuk kepentingan usaha produktif di kelembagaan BMT harus betul-betul mampu membangkitkan semangat entrepreneur bagi usaha mikro sebagai nasabah BMT. Karena itu, BMT harus melakukan studi kelayakan terhadap mustahiq sebelum modal diserahkan kepadanya, seperti penelitian tentang keadaan calon penerima modal, integritas moralnya, bidang yang patut diusahakan, dan berbagai aspek pendukung usaha produktif,serta mampumengembalikan modal tersebut untuk digunakan oleh saudara sesamanya yang lain. Diharapkan para mustahiq, dapat berubah menjadi muzakki.
Oleh: Mukhaer Pakkanna
Peneliti CIDES dan  Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta