Zakat dan Pemberdayaan Usaha Mikro

Selain masalah skill dan wawasan kewirausahaan, sulitnya modal bagi pelaku usaha kecil merupakan hal pokok yang membuat mereka sulit untuk keluar dari labirin kemiskinan. Banyak orang yang ingin menjalankan usaha namun tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Beberapa peneliti, cendekiawan, dan praktisi ekonomi telah melahirkan berbagai resep untuk keluar dari kemiskinan, namun upaya tersebut hanya berhenti pada perbaikan kondisi ekonomi ansich. Akibatnya, saat kondisi ekonomi kembali pada masa-masa sulit maka pelaku usaha kecil pun kembali tak berdaya.
Ketidakberdayaan para pelaku usaha kecil tersebut seakan terus terpelihara, hal ini disebabkan sistem perekonomian yang tidak memihak pelaku usaha kecil, melainkan lebih memanjakan para pelaku ekonomi kelas kakap (korporat).
Saat kondisi seperti itu terjadi maka lembaga keuangan (bank) sebetulnya memegang peran penting untuk mengatasi masalah tersebut. Sayang, pertimbangan analisis perkreditan modern membuat upaya untuk mengatasi kemiskinan menjadi terhalang. Lembaga keuangan bank sering hanya berhenti pada fungsi dagang semata, sementara fungsi intermediasi yang seharusnya juga diemban oleh lembaga keuangan terabaikan.
Alasannya selalu saja klasik, para pelaku usaha mikro tak layak mendapatkan kredit dari bank (bankable). Penyaluran kredit pada ranah usaha mikro hanya akan membuat peluang risiko gagal bank semakin tinggi dan akselerasi pertumbuhan ekonomi menjadi terganggu.
Alasan lainnya seperti yang dicatat Kompas, 60 persen pelaku usaha mikro adalah perempuan dibanding laki-laki. Artinya, banyak pengusaha kecil yang sukses adalah perempuan. Namun, sering kali perempuan terhambat oleh beberapa hal. Misalnya, peran ganda (pelaku usaha dan ibu rumah tangga), kultur patriarkal yang masih dominan di masyarakat, skill dan wawasan kewirausahaan. Sehingga perempuan terhambat dalam mengembangkan usahanya.
Padahal, bila saja para praktisi mau mengarahkan potensi tersebut secara lebih sabar dan maksimal maka potensi tersebut tidak akan menjadi penghalang, tapi sebaliknya menjadi kekuatan yang lebih menjanjikan seperti apa yang diraih oleh Grameen Bank di Bangladesh.
Lembaga zakat yang memiliki struktur organisasi yang lebih luwes semestinya berani mengambil peluang tersebut. Selain aspek pendanaan lembaga zakat yang lebih mudah diakses para pelaku usaha kecil, lembaga zakat dapat membantu membangkitkan semangat enterpreneur dan meningkatkan skill para pelaku usaha kecil. Fungsi intermediasi yang dijalankan lembaga zakat pun dapat dilakukan dengan lebih baik. Sementara tingkat kegagalan kredit pun dapat diperkecil, karena lembaga zakat dapat melakukan pendampingan secara lebih maksimal. Informasi yang diperoleh baik oleh lembaga zakat maupun nasabah akan diterima secara lebih merata dan seimbang, sehingga apa yang paling ditakutkan oleh lembaga keuangan bank (kegagalan kredit) dapat dihindari.[ Afni Rasid]