Melacak Pemikiran Pluralisme Cak Nur (II)

B. Dekonstruksi Konsep Kesalamatan (salvation)
Dengan rekonstruksi makna “Islâm” yang inklusif seperti tersebut diatas, lebih jauh NM menyatakan keselamatan (salvation) yang lebih terbuka,   tidak bersifat eksklusif. [53]  Setidaknya tentang ayat berikut ini:
          إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُـمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ [54]
Sesungguhnya mereka kaum yang beriman [kaum muslim], kaum Yahudi, kaum Nasrani, kaum sabian, siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta berbuat kebaikan, maka tiada rasa takut menimpa mereka dan mereka tidak perlu kuatir,
NM berpendapat bahwa, dalam pengertian spontan (mubâdarat al-fahm), ayat ini memberi jaminan, sebagaimana orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabian, asalkan mereka percaya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan kepada Hari Kemudian (yang pada hari itu manusia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya dalam suatu pengadilan Ilahi, dan yang merupakan saat seorang manusia akan mutlak hanya secara pribadi berhubungan dengan Tuhan), kemudian berdasarkan kepercayaan itu, mereka berbuat baik, maka mereka semuanya “masuk surga” dan “terbebas dari neraka.”[55]
Meskipun pandangan tersebut disadari sangat kontroversial dikalangan para mufassir, namun untuk mengafirmasi pendapatnya, ia menukil beberapa pendapat diantaranya; Al-Baydlawy dalam tafsirnya “Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl” tentang hakekat mereka yang “akan mendapat pahala di sisi Tuhan mereka, dan tidak akan menderita ketakutan dan tidak pula kuatir”:
“Orang-orang dari kalangan yang percaya kepada Tuhan dan Hari Kemudian serta berbuat baik dalam agama masing-masing sebelum agama itu dibatalkan (mansukh), dengan sikap membenarkan dalam hati akan pangkal pertama (al-mabda’) dan tujuan akhir (al-ma’ad), serta berbuat sejalan dengan syari’at agama itu; juga dikemukakan pendapat : Siapa saja dari orang-orang kafir itu yang benar-benar beriman secara tulus dan sungguh-sungguh masuk al-Islam.[56]
Juga komentar A. Yusuf Ali atas firman Allah tersebut di atas (Q.S. ِAl- Baqarah/2 : 62 dan Q.S Al-Maidah/5 : 69) berikut ini :
“As God’s Message is one, Islam recognized true faith in other forms, provided that it be sincere, supported by farms reason, and backed up by righteous conduct.”
(Karena pesan Tuhan itu satu (sama), maka agama Islam mengakui keimanan yang benar dalam bentuk-bentuk lain, asalkan keimanan itu tulus, didukung oleh akal sehat, dan ditunjang oleh tingkah laku yang penuh kebaikan.)[57]
Berikut ini penulis memaparkan pandangan dua mufassir terkemuka yaitu Zamakhsyari dan al-Alusi tentang ayat-ayat terkait dengan tema ini (tematis).
Q.S. Baqarah/2:62 :
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Menurut Zamakhsyari ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang yang beriman secara verbal, tanpa diikuti dengan keteguhan dan keyakinan hati (orang-orang munafik), juga orang-orang Yahudi dan Nasrani serta shabi’un (yaitu orang-orang yang keluar dari kedua agama tersebut lalu menyembah malaikat), jika kemudian mereka beriman dengan keimanan sejati dan ia masuk agama Islam, lalu berdasarkan keimanan terakhir ini (yaitu Islam) mereka melakukan amal shaleh, mereka inilah yang mendapatkan jaminan pahala yang besar di sisi Allah SWT, terhindar dari rasa takut dan kesedihan (siksa Allah SWT).[58]
Tentang ‘orang-orang yang beriman’ dalam ayat tersebut, al-Alusi menjelaskan beberapa pengertian, diantaranya; orang-orang yang beriman secara lisan saja (munafik), meskipun tidak di ungkapkan secara eksplisit tentang tanda-tanda kemunafikan pada diri mereka, ayat ini memberikan sebuah isyarat bahwa model keimanan seperti itu (verbal) tidak memberi manfaat apa-apa serta tidak secara pasti menyelamatkan mereka dari buruknya kekufuran; al-Hanafiyyun yaitu orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran nabi Ibrahim secara teguh dan tidak sempat bertemu dengan Nabi Muhammad SAW; orang-orang yang beriman dengan nabi Isa A.S. sebelum diutusnya nabi Muhammad SAW; orang-orang yang beriman dengan nabi Musa A.S sampai diutusnya nabi Isa A.S. lalu mereka beriman dengannya; sahabat-sahabat Salman al-Farisi; orang-orang yang memeluk agama nabi Muhammad SAW.
Yang dimaksud dengan“وَالَّذِينَ هَادُوا” ialah orang-orang yang memeluk agama Yahudi dan “وَالنَّصَارَى” ialah orang-orang yang beragama Nashrani. Adapun “وَالصَّابِئِينَ” ditafsirkan oleh Zamakhsyari sebagai kaum yang fanatik dangan “madzhab pemuja roh”dan menjadikan mereka sebagai perantara. Jika mereka tidak berhasil melakukan taqarrub kepada para ruh tersebut secara fisikal, kasat mata, sebagian mereka mengelilingi kuil-kuil (tempat bersemayamnya) para ruh. Kaum Shabean dari bangsa Romawi menjadikan planet bintang yang mengelilingi matahari sebagai dewa pelindung (penyembah planet), Shabean dari bangsa India menjadikan benda-benda yang tidak bergerak sebagai pelindung (penyembah patung) dan sekelompok lagi meninggalkan kuil-kuil tersebut dan beralih kepada penyembahan tokoh panutan tertentu, dan lain-lain. Dijelaskan pula bahwa asal kata “shabiun” adalah “shaba’a” yang berarti ‘keluar’, hal demikian karena mereka keluar dari agama yang haq dan cenderung kepada kebathilan.
Adapun kalimat (فلهم أجرهم عند ربهم ولاخوف عليهم ولاهم يحزنون)diadress-kan kepada siapa saja di antara mereka tersebut di atas yang beriman kepada Allah SWT, kepada sifat-sifat dan perbuatan-perbuatanNya, kenabian, kebangkitan setelah mati, dan ia berbuat amal shaleh sesuai dengan tuntutan keimanan yang telah ada pada diri mereka. “Shabiin” dapat pula dimaknai sebagai orang-orang yang beriman dengan nabi Isa AS dan meninggal pada masa kenabiannya; atau orang-orangyang konsisten menjalankan agamanya sebelum di-nasakh oleh Allah SWT, meyakini prinsip agamanya sepenuh hati, meyakini adanya hari akhir (kembali kepada Allah SWT) serta mengerjakan seluruh ajaran-ajarannya.
Yang sedemikian menurut al-Alusi lebih tepat karena relevan dengan konteks sebab turunnya ayat ini yaitu, ketika Salman al-Farisi bercerita kepada Nabi Muhammad SAW tentang keadaan para pendeta yang sempat ia bersama mereka, lalu Nabi bersabda “mereka telah mati dan mereka masuk neraka !.” Lalu ayat ini diturunkan, dan nabi menyatakan :[59]
من مات على دين عيسى عليه السلام قبل أن يسمع بي فهو على خير، ومن سمع ولم يؤمن بي فقد هلك [60]
“Barang siapa yang meninggal dunia dalam keadaan meyakini agama Nabi Isa sebelum mengetahui tentang (agama)ku maka ia berada dalam kebaikan, dan bagi (yang meninggal dunia) sementara ia mengetahui tentang (agama)ku lalu ia tidak beriman denganku, maka ia telah binasa.”
Q.S. al-Maidah/5:69 :
          إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُـونَ وَالنَّصَـارَى مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِــرِ وَعَمِـلَ صَالِحًا فَلَا خَـوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabi’in dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Menurut Zamakhsyari ayat tersebut diarahkan kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani. Juga lebih ditekankan kepada kaum Shabean yaitu orang-orang  yang mendapatkan ampunan jika keimanan mereka benar adanya serta melakukan amal sholeh. Hal sedemikian karena mereka adalah orang-orang yang paling nyata dan berat kesesatannya, jika dibanding dengan Yahudi dan Nasrani. Mereka disebut sebagai ‘Shabean” karena mereka keluar dari semua agama.[61]
Tentang Yahudi, Nashrani dan kaum Shabean, menurut al-Alusi maknanya tidak berbeda dengan apa yang telah diutarakannya pada ayat terdahulu.[62]
Mereka yang tersebut dalam ayat tersebut akan memperoleh anugerah Allah SWT “فَلَا خَـوْفٌ عَلَيْهِمْ “ yaitu ketika orang-oang kafir sangat takut terhadap siksa Allah. Sedangkan “وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ” bermakna (mereka tidak bersedih hati) ketika orang-orang yang lalai dan lengah bersedih hati karena telah menyia-nyiakan umur mereka, menghilangkan kesempatan untuk meraih ganjaran (dari Allah SWT).
Adapun perkataan “إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا” (dalam bentuk kata kerja plural, jama’) dimaksudkan orang-orang yang memeluk agama Nabi Muhammad SAW, yang benar-benar tulus ataupun yang munafik. Dan perkataan “مَنْ ءَامَنَ” (dalam bentuk kata kerja tunggal, mufrad) dimaksudkan orang yang beriman dengan setulus-tulusnya.[63]
Q.S al-Hajj/22:17 :
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi’in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Menurut Zamakhsyari, keputusan Allah SWT yang berlaku atas mereka ialah keputusan yang bersifat mutlak; pemisahan di antara mereka mencakup segala keadaan dan tempat, mereka tidak mendapat ganjaran yang sama, juga tidak ditempatkan pada satu tempat yang sama. Atau  bisa juga bermakna, Allah SWT memberi keputusan di antara orang-orang yang beriman dan orang-orang yang kafir.[64]
Kelompok baru, selain yang telah disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya, dalam ayat ini tersebut ialah kaum Majusi dan orang-orang yang berbuat syirik. Menurut al-Alusi, “الْمَجُوسَ”, sebagaimana diriwayatkan oleh Qatadah ialah, orang-orang yang menyembah matahari, bulan dan api. Ada juga yang menerangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang melakukan sinkretisasi antara ajaran Yahudi dan Nashrani dan menyatakan bahwa alam ini berasal dua dua hal; ‘cahaya’ dan ‘kegelapan’. Sedangkan yang dimaksud dengan “وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا”ialah para penyembah berhala.[65]
Dari pemaparan penafsiran dua mafassir di atas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan oleh Nurcholish sebagai justifikasi atas gagasan keselamatan terbuka bagi siapa saja, dan dari agama apa saja, dapat disimpulkan sebagai berikut :
  1. Keselamatan hanya akan didapat jika seseorang dari komunitas agama terdahulu beriman dengan Nabi yang diutus oleh Allah SWT pada masanya dan wafat dalam keadaan beriman dengan syari’ah nabi tersebut;
  2. Keselamatan juga dapat diraih bagi orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan syari’ah para rasul sebelum diutusnya nabi muhammad SAW dan mengalami perubahan (tahrif);
  3. Shabiin” dapat pula dimaknai sebagai orang-orang yang beriman dengan nabi Isa AS dan meninggal pada masa kenabiannya; atau orang-orangyang konsisten menjalankan agamanya sebelum di-nasakh oleh Allah SWT, meyakini prinsip agamanya sepenuh hati, meyakini adanya hari akhir (kembali kepada Allah SWT) serta mengerjakan seluruh ajaran-ajarannya.
  4. Adapun orang-orang dari agama terdahulu dan hidup pada masa kenabian Muhammad SAW, tetapi ia tidak beriman dengan syariagnya, maka mereka dikategorikan sebagai kuffar.
  5. Keselamatan dapat diraih oleh umat Yahudi dan Nashrani yang memeluk agama Islam dan menjalankan syari’at Nabi Muhammad setelah ia diutus oleh Allah SWT.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keselamatan bersifat terbatas dan eksklusif, berbeda dengan apa yang digagas oleh NM dan kaum pluralis lainnya.
Menurut Anis Malik Thoha,[66] seorang pakar perbandingan agama yang mendapatkan Gold Medal dari International Islamic University Islamabad dalam penelitiannya tentang pluralisme agama, menyatakan bahwa istilah pluralisme agama merupakan sesuatu yang tidak lama digunakan di kalangan masyarakat muslim, kecuali pada dua dekade akhir abad ke-20 yang lalu. Yaitu ketika terjadi perkembangan penting dalam kebijakan internasional Barat yang baru saja memasuki fase yang dalam istilah Muhammad ‘Imarah disebut sebagai “marhalat al-ijtiyah” (fase pembinasaan). Yaitu sebuah perkembangan yang pada prinsipnya upaya ‘habis-habisan’ Barat untuk menjajakan ideologi modernnya yang diklaim universal seperti demokrasi, pluralisme, HAM, pasar bebas, yang semua itu bertujuan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan mereka secara sepihak.
Dalam permasalahan ini penulis melihat bahwa, keinginan bangsa-bangsa ultra-superior pada masa ini, khususnya kampiun neo-kolonialisme Amerika dan sekutu-sekutunya, untuk menguasai seluruh dunia dengan berbagai kekayaan alam berikut manusianya, akan mengalami hambatan serius selama para pemeluk agama-agama, dan khususnya umat Islam, berpegang teguh dan komit terhadap ajaran-ajaran agamanya.[67] Hal sedemikian karena agama-agama, dan terlebih Islam yang dikategorikan sebagai agama transformatif, akan terus dan selalu memberikan resistensi, atau bahkan perlawanan terhadap segala fenomena yang merongrong nilai-nilai luhur religiusitas yang telah tertanam dan membudaya, baik pada level individu dan sosial.
Untuk membuka lahan bagi landing-nya sebuah peradaban baru berikut tatanan nilai yang ditawarkannya, dalam hemat penulis, mesti diawali dari sesuatu yang menghambat proses membumikan peradaban tersebut; yaitu memposisikan struktur fundamental aqidah umat pada tataran yang netral, relatif. Dengan demikian, diharapkan dapat meminimalisir resistensi teologis terhadap proses-proses yang sedang mereka gulirkan itu.
Tentang pluralitas keagamaan misalnya, dipandang oleh Islam sebagai hakekat ontologis yang genuine, yang tidak mungkin dinafikan dan dinihilkan. Sementara teori-teori pluralisme agama melihatnya sebagai keragaman yang hanya terjadi pada level manifestasi eksternal yang superfisial, dan oleh karenanya tidak hakiki atau tidak genuine. Perbadaan metodologis ini pada gilirannya menggiring pada perbedaan dalam menentukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis (oleh karenanya lebih bersifat fiqhiyyah), sementara teori-teori pluralis memberikan solusi teologis-epistemologis.[68]
Perbedaan metodologis yang fundamental tersebut berakibat pada out-put solusi atas keragaman keyakinan keagamaan yang juga tidak mudah untuk dipertemukan, jika tidak dikatakan sesuatu yang utopis untuk dilaksanakan pada tataran praksis kehidupan antar umat beragama.
Dari perspektif akidah Islam -karena memang penelitian ini berbasis pada pendekatan teologis,-permasalahan keselamatan sekaligus kebenaran agama telah selesai pada masa kenabian Muhammad SAW. Hal ini terbukti dengan turunnya surat al-Kafirun yang populer itu. Termasuk fakta kehidupan sosial yang ditunjukkan dan ditauladankan oleh Nabi Muhammad SAW ketika ia berinteraksi dengan pamannya Abu Thalib, komunitas Yahudi dan Nasrani (Ahli Kitab) di Madinah, sampai pada fakta yang sangat dramatis pada peristiwa fathu Makkah dan lain-lain.
Penulis berpendapat bahwa konsep keselamatan (salvation) dalam setiap agama tidak dapat dipisahkan dari struktur keyakinan pemeluknya masing-masing tentang kebenaran agama itu sendiri. Tentu saja keselamatan yang dimaksudkan ialah dalam konteks eskatologi; masuk surga dan terbebas dari siksa neraka. Konsekuensi logis dari keyakinan ini ialah adanya klaim kebenaran (truth claim) pada setiap agama, apapun bentuknya.
Oleh karena setiap agama memiliki bangunan keyakinan yang bersifat ekslusif, maka merupakan sesuatu yang rasional jika kemudian keselamatan akhir akan diperoleh secara ekslusif pula oleh pemeluk agama yang bersangkutan. Ini merupakan kaedah standar pada wilayah keyakinan keagamaan. Tapi perlu dicatat bahwa, keyakinan untuk meraih keselamatan karena konsep kebenaran agama yang diyakini tidak melegalkan siapapun untuk bertindak initimidatif dan anarkhis terhadap orang yang berbeda keyakinan. Sejatinya, ini merupakan permasalahan genuine yang tidak boleh termanifestasikan  dengan menganggap rendah pihak lain. Dalm hal ini Islam menegaskan ajaran-ajaran tasamuh, toleransi.
Nurcholish Madjid, berdasarkan pada teori yang digagasnya sendiri tentang ‘Islam sebagai agama terbuka’ memberikan respon dan solusi filosofis yang berbeda dengan pandangan penulis di atas. Permaslahan serius yang kemudian ditimbulkannya ialah justifikasi atas pandangan-pandangannya dengan interpretasi ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan corak inklusif, dan bahkan mengalami metamorfosis kearah pluralis (membenarkan semuanya). Nurcholish Madjid berdalil dengan dua ayat dalam dua surat yang berbeda; Q.S. ِAl-Baqarah/2 : 62[69] dan Q.S Al-Maidah/5 : 69.[70]
Berdasarkan pada kedua ayat tersebut diatas, Nurcholish Madjid, merumuskan jalan keselamatan yang terbuka bagi siapa saja, sebagaimana orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabian, asalkan mereka percaya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan kepada Hari Kemudian (yang pada hari itu manusia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya dalam suatu pengadilan Ilahi, dan yang merupakan saat seorang manusia akan mutlak hanya secara pribadi berhubungan dengan Tuhan), kemudian berdasarkan kepercayaan itu, mereka berbuat baik, maka mereka semuanya “masuk surga” dan “terbebas dari neraka.”[71] Di sini, sekali lagi, Nurcholish Madjid sama sekali menafikan bagaimana cara melaksanakan “paket keselamatan” yang termaktub dalam al-Qur’an di atas.
Selain berdasarkan atas interpretasinya atas ayat-ayat yang telah disebutkan, Nurcholish Madjid juga merujuk kepada pendapat Yusuf Ali berikut ini :
As God’s Message is one, Islam recognized true faith in other forms, provided that it be sincere, supported by farms reason, and backed up by righteous conduct.”
(Karena pesan Tuhan itu satu (sama), maka agama Islam mengakui keimanan yang benar dalam bentuk-bentuk lain, asalkan keimanan itu tulus, didukung oleh akal sehat, dan ditunjang oleh tingkah laku yang penuh kebaikan.)[72]
Jika dicermati dengan kritis, tafsiran Yusuf Ali di atas bersifat sangat “tekstual” dan mengabaikan “konteks” yang dimaksud Q.S. ِAl-Baqarah/2 : 62 dan Q.S Al-Maidah/5 : 69. Dengan demikian, secara metodologis mengakibatkan terjadi bias makna pada tataran kontekstual. Permasalahan akan semakin rumit jika dilihat pada pernyataannya yang telah penulis garisbawahi di atas.
Menurut hemat penulis, dalam pernyataan Yusuf Ali tersebut terdapat dua catatan penting; pertama, memang betul pesan Tuhan itu satu (sama). Tetapi, bagaimana dengan fakta sejarah yang menyatakan bahwa, seperti dalam kasus Bible, telah terjadi reduksi dan bahkan manipulasi atas pesan-pesan itu?.Salah satu fungsi al-Qur’an ialah memberikan koreksi atas berbagai penyimpangan dalam tradisi kitab-kita suci terdahulu.[73] Adian Husaini mencatat sedikitnya tiga permaslahan pelik yang menghantui Barat sehingga mereka memilih jalan hidup sekuler dan liberal, yang kemudian berusaha diglobalkan ke sluruh penjuru dunia; pertama, trauma sejarah khususnya yang berhubungan dengan dominasi Gereja; kedua, problema teks Bible; dan ketiga problema teologis Kristen.[74]
Selanjutnya, penulis mengajukan pertanyaan, ‘apa parameter dan kriteria kebenaran yang digunakan oleh Yusuf Ali untuk memilah-milah sekian ragam sistem keimanan dalam realitas kehidupan manusia?. Diskusi semacam ini juga terjadi pada komunitas Kristen. Hans Kung mengajukan gagasan, bahwa tidak ada monopoli kebenaran pada Kristen, dan tidak semua yang ada pada Kristen adalah benar. Lebih jauh ia mengatakan demikian :
“Itu artinya tidak semua yang ada dalam agama-agama dunia adalah sama benarnya dan baiknya; ada juga bagian-bagian dalam keimanan dan tradisi, dalam ritus serta amalan keagamaan, struktur lembaga dan kekuasaan, yang tidak benar, tidak baik.”[75]
Jika paradigma berpikir ala Hans Kung yang digunakan maka, semua agama akan berputar pada poros : relativisme teologis. Tentu hal ini mustahil karena sistem teologis manapun di dunia selalu menawarkan apa yang disebut sebagai ‘sebuah kepastian’, tidak asing kemudian jika sering terdengar kata “keyakinan beragama.”
Yang tak kalah pentingnya ialah ketika NM menjustifikasi gagasannya dalam masalah ini dengan pendapat al-Baydlâwî dalam tafsirnya “Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl” tentang hakekat mereka yang “akan mendapat pahala di sisi Tuhan mereka, dan tidak akan menderita ketakutan dan tidak pula kuatir”:
“Orang-orang dari kalangan yang percaya kepada Tuhan dan Hari Kemudian serta berbuat baik dalam agama masing-masing sebelum agama itu dibatalkan (mansukh), dengan sikap membenarkan dalam hati akan pangkal pertama (al-mabda’) dan tujuan akhir (al-ma’ad), serta berbuat sejalan dengan syari’at agama itu; juga dikemukakan pendapat : Siapa saja dari orang-orang kafir itu yang benar-benar beriman secara tulus dan sungguh-sungguh masuk al-Islam.[76]
Selengkapnya, nukilan dan terjemah yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid di atas dapat dilihat padatulisan al-Baydlâwî dalam tafsirnya mengenai surat al-Baqarah/2: 62 berikut ini :
)مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ وَعَمِلَ صَالحِاً( من كان في دينه قبل أن ينسخ مصدقا بقلبه بالمبدأ والمعاد عاملا بمقتضى شرعه وقيل من آمن من هؤلاء الكفرة إيمانا خالصا ودخل في الإسلام دخولا صادقا : )فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ( الذي وعد لهم على إيمانهم وعملهم )وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ( حين يخاف الكفار من العقاب ويحزن المقصرون على تضييع العمر وتفويت الثواب …[77]
Menurut penulis, menjustifikasi gagasan Nurcholish Madjid tentang ‘keselamatan bagi siapa saja’ dengan pendapat mufassir terkenal yaitu al-Baydlâwî merupakan suatu yang unik dan sekaligus kontradiktif dengan gagasannya  yang bercorak inklusif-pluralis. Jika dicermati dengan baik justeru al-Baydlâwî menegaskan konsep keselamatan yang bersifat eksklusif, dan tidak terbuka untuk “umum” sebagaimana yang dikumdandangkan oleh Nurcholish Madjid.
Pernyataan al-Baydlâwî yang penulis garisbawahi menunjukkan kelemahan gagasan Nurcholish Madjid, karena al-Baydlâwî menegaskan setidaknya tiga hal penting dalam tafsiran surat al-Baqarah/2:62 tersebut; pertama,  konteks keimanan yang dimaksud dalam ayat tersebut ialah mereka yang yang secara konsisten menjalankan syariat agamanya sebelum dibatalkan/mansukh oleh Allah SWT (من كان في دينه قبل أن ينسخ مصدقا بقلبه بالمبدأ والمعاد عاملا بمقتضى شرعه ); kedua, keimanan yang tulus dari orang-orang yang sebelumnya kafir lalu masuk Islam  secara sungguh-sungguh (من آمن من هؤلاء الكفرة إيمانا خالصا ودخل في الإسلام دخولا صادقا); dan ketiga, pada bagian akhir ayat tersebut ( وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ) al-Baydlâwî secara eksplisit menyebut “…حين يخاف الكفار من العقاب” yang menegaskan antitesa dari ‘Islam’ sebelumnya.
 Sebagai Mufassir yang otoritatif di bidangnya, amatlah sulit dinalar dengan baik dan bahkan mustahil jika al-Baydlâwî diklaim oleh Nurcholish Madjid sebagai ulama tafsir yang menyatakan kebenaran yang terbuka bagi siapa saja. Bahkan pendapat yang dikemukakan oleh al-Baydlâwî sebanding lurus  dengan keterangan Rasulullah SAW bahwa semua agama sebelum Islam dinyatakan mansukh, termasuk Yahudi dan Nasrani :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ[78]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW, bahwasanya beliau bersabda :”Demi Dzat yang diri Muhammad ada di genggaman-Nya, tidaklah seorang Yahudi dan nasranidari umat ini yang mendengar aku, lalu ia meninggal dunia dan dia belum beriman dengan kerasulanku, kecuali dia termasuk penghuni neraka.”
Dalam pandangan penulis, justeru keterangan al-Baidlawy di atas semakin mengafirmasi Zamakhsyari dan al-Alusi, dua mufassir yang otoritatif di bidangnya, yang telah memberikan rumusan dan cara melaksanakan “paket keselamatan” :
Keselamatan hanya akan didapat jika seseorang dari komunitas agama terdahulu beriman dengan Nabi yang diutus oleh Allah SWT pada masanya dan wafat dalam keadaan beriman dengan syari’ah nabi tersebut;
  1. Keselamatan juga dapat diraih bagi orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan syari’ah para rasul sebelum diutusnya nabi muhammad SAW dan mengalami perubahan (tahrif);
  2. Shabiin” dapat pula dimaknai sebagai orang-orang yang beriman dengan nabi Isa AS dan meninggal pada masa kenabiannya; atau orang-orangyang konsisten menjalankan agamanya sebelum di-nasakh oleh Allah SWT, meyakini prinsip agamanya sepenuh hati, meyakini adanya hari akhir (kembali kepada Allah SWT) serta mengerjakan seluruh ajaran-ajarannya.
  3. Adapun orang-orang dari agama terdahulu dan hidup pada masa kenabian Muhammad SAW, tetapi ia tidak beriman dengan syariagnya, maka mereka dikategorikan sebagai kuffar.
  4. Keselamatan dapat diraih oleh umat Yahudi dan Nashrani yang memeluk agama Islam dan menjalankan syari’at Nabi Muhammad setelah ia diutus oleh Allah SWT.
  1. C.    Makna Ahli Kitab (Ahlu Al-Kitâb)
Sebutan Ahli Kitab, menurut Nurcholish Madjid, dengan sendirinya tertuju kepada golongan bukan muslim, dan tidak ditujukan kepada kaum muslim, meskipun mereka menganut Kitab sendiri, yaitu al-Qur’an. Ahli Kitab tidak tergolong kaum muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan menentang kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad SAW dan ajaran yang disampaikannya. Oleh karena itu dalam terminologi al-Qur’an mereka disebut “kâfir” yakni “yang menentang” atau “yang menolak” Nabi Muhammad SAW dan ajarannya yaitu Islam.[79]
Kaum Yahudi dan Nasrani mempunyai kedudukan yang khusus dalam pandangan kaum Muslim karena agama mereka adalah pendahulu agama Islam. Islam merupakan kelanjutan, pembetulan dan penyempurna bagi agama Yahudi dan Nasrani, sebab ajaran yang disampaikan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sama dengan inti ajaran yang disampaikan oleh-Nya kepada semua Nabi. Karena itu sesungguhnya seluruh umat pemeluk agama Allah adalah umat yang tunggal.[80] Hal ini dapat dipahami melalui firman Allah SWT berikut ini :
         شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ[81]
(Dia [Allah] telah mensyari`atkan bagi kamu, tentang agama, apa yang telah pesankan kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau [Muhammad], dan yang Kami pesankan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu, tegakkanlah olehmu semua agama itu, dan janganlah kamu berpecah belah mengenainya. Terasa berat bagi kaum musyrik apa yang engkau [Muhammad] serukan ini.)
          يَاأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ. وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ. فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ[82]
(Wahai para rasul, makanlah rizki yang baik-baik, dan berbuatlah kebajikan. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui segala sesuatu  yang kamu kerjakan. Dan ini [semua] umatmu adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu sekalian, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka [pengikut para Rasul itu] terpecah-belah menjadi berbagai golongan, setiap golongan bangga  dengan apa yang ada pada mereka)
Dengan kata lain, NM menyatakan bahwa, umat agama Yahudi dan Nasrani secara tegas dinyatakan oleh al-Qur’an sebagai Ahli Kitab dan Islam merupakan ajaran penyempurna dari ajaran-ajaran terdahulu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itulah para pengikut nabi Muhammad SAW diwajibkan untuk beriman kepada para Nabi dan Rasul terdahulu. Seperti yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman berikut ini :
         قُلْ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَالنَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ. وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ[83]
(Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma`il, Ishaq, Ya`qub, serta anak turun mereka, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa, `Isa dan para Nabi [yang lain] dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami berserah diri [muslimun]. Barangsiapa mencari selain Islam [sikap berserah diri kepada Allah] itu sebagai agama,maka sama sekali tidak  akan diterima dari dia, dan dia di akhirat dia akan tergolong mereka yang merugi).
Oleh karena itulah, menurut NM, Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk mengajak kaum Ahli Kitab menuju kepada “kalimat kesamaan” antara beliau dan mereka, yang secara prinsipnya, menuju kepada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid. Tetapi juga dipesankan bahwa jika mereka menolak ajakan menuju “kalimat persamaan” tersebut, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya harus bertahan dengan identitas mereka selaku orang-orang yang beserah diri kepada Allah SWT (muslimûn) sebagaimana perintahNya :
         قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ[84]
(Katakanlah olehmu [Muhammad]: “Wahai Ahli Kitab ! Marilah menuju kepada kalimat kesamaan antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita [semua] tidak akan menyembah kecuali Allah, dan kita tidak memperserikatkan-Nya kepada apapun juga, dan sebagian dari kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” Kalau  mereka itu menolak, maka katakanlah [kepada mereka]: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri [muslimun]).
Menurut Nurcholish Madjid, selain menyebut Yahudi dan Nasrani, Al-Qur’an juga menyebutkan beberapa kelompok lain, yaitu kaum Majusi dan Shabi’in, yang dalam konteksnya “mengesankan” seperti tergolong Ahli Kitab. Hal ini juga ditegaskan dengan ketentuan praktik Nabi Muhammad SAW yang memungutjizyah dari kaum Majusi di Hajar dan Bahrain, kemudian praktik ‘Umar ibn al-Khaththab memungut jizyah dari kaum Majusi Persia serta ‘Usman ibn ‘Affan memungut jizyah dari kaum Berber di Afrika Utara.
Rasyid Ridla, juga mengutip sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib menegaskan bahwa kaum Majusi adalah tergolong Ahli Kitab :
         روى عبد بن حميد فى تفسير سورة البروج بإسناد صحيح عن ابن أبزى لما هزم المسلمون أهل فارس قال عمر اجتمعوا (أي قال للصحابة اجتمعوا للمشاورة كماهى السنة المتبعة والفريضة اللازمة) فقال إن المجوس ليسوا أهل كتاب فنضع عليهم الجزية ولامن عبدة الأوثان فنجرى عليهم أحكامهم. فقال علي بل هم أهل كتاب.[85]
Selain menyebut kaum Majusi (Zoroastri) dan Shabi’in sebagai Ahli Kitab di luar Yahudi dan Nasrani, Rasyid Ridla menegaskan bahwa pengertian Ahli Kitab juga meliputi kaum Hindu, Buddha dan Konfusius. Berikut keterangan Rasyid Ridla sebagaimana dinukil oleh Nurcholish Madjid[86] berikut ini :
         والظاهر أن القرآن ذكر من أهل الملل القديمة الصابئين والمجوس ولم يذكر البراهمة والبوذيين وأتباع كنفوشيوس لأن الصابئين والمجوس كانوا معروفين عند العرب الذين خوطبوا بالقرآن أولا لمجاورتهم لهم فى العراق والبحرين ولم يكونوا يرحلون إلى الهند واليبان والصين فيعرفواالآخرين. والمقصود من الآية حاصل بذكر من ذكر من الملل المعروفة فلا حاجة إلى الإغراب بذكر من لايعرفه المخاطبون فى عصر التنزيل من أهل الملل الأخرى, ولا يخفى على المخاطبين بعد ذلك أن الله يفصل بين البراهمة والبوذيين وغيرهم أيضا.
         ومن المعلوم أن القرآن صريح بقبول الجزية من أهل الكتاب ولم يذكر أنها تؤخذ من غيرهم فكان النبي r والخلفاء y لايقبلونها من مشركي العرب وقبلوها من المجوس فى البحرين وهجر وبلاد فارس كما فى الصحيحين وغيرهما من كتب الحديث. وقد روي أخذ النبي الجزية من مجوس هجر أحمد والبخاري وأبوداود والترمذي وغيرهم من حديث عبد الرحمن بن عوف أنه شهد لعمر بذلك عندمااستشار الصحابة فيه. وروى مالك والشافعي عنه أنه قال: أشهد لسمعت رسول الله r يقول “سنوا بهم سنة أهل الكتاب” وفى سنده انقطاع واستدل به صاحب المنتقى وغيره على أنهم لايعدون أهل الكتاب وليس بقوي فإن إطلاق كلمة “أهل كتاب” على طائفتين من الناس لتحقق أصل كتبهما وزيادة خصائصها لايقتضى أنه ليس فى العالم أهل كتاب غيرهم مع العلم بأن الله بعث فى كل أمة رسلا مبشرين ومنذرين وأنزل معهم الكتاب والميزان ليقوم الناس بالقسط, كما أن إطلاق لقب “العلماء” على طائفة من الناس لهامزايا مخصوصة لايقتضى انحصار العلم بهم وسلبه عن غيرهم.[87]
Meskipun NM tidak menyatakan pandangan-pandangan tersebut di atas sebagai pendapatnya pribadi, ia menegaskan bahwa wacana yang telah berkembang di kalangan para mufassir terdahulu, tidak diragukan lagi relevansinya dengan keadaan zaman modern dengan ciri globalisasi yang menimbulkan masalah kemajemukan ini.[88] Dengan kata lain bahwa Nurcholish Madjid menyatakan kesamaan pandangannya dengan, paling tidak, yang telah dikemukakan oleh Rasyid Ridla di atas.
Dari pembahasan penulis tentang siapa yang dimaksud sebagai Ahli Kitab dalam al-Qur’an, Zamakhsyari dan al-Alusi sepakat, mereka ialah Yahudi dan Nasrani.
Muhammad Ghalib, dalam penelitiannya tentang makna dan cakupan Ahli Kitab menyatakan  para ulama sepakat bahwa term Ahli Kitab menunjuk kepada dua komunitas penganut agama samawi sebelum Islam, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani. Umat Islam, meskipun meskipun mempunyai kitab suci yang juga berasal dari Allah SWT dan dinamai al-kitab, di samping nama-nama lainnya tetapi al-Qur’an tidak menyebutnya sebagai Ahli Kitab, sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani.[89]
Cakupan batasan Ahli Kitab  mengalami perkembangan pada masa tabi’in. Abu al-’Aliyah (w. 39 H), seorang tabi’, mengatakan bahwa kaum shabi’un adalah kelompok Ahli Kitab yang membaca Zabur. Di samping itu, terdapat pula ulama salaf (meskipun tidak diketahui identitasnya) yang mengatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci samawi, maka mereka juga tercakup dalam pengertian Ahli Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi.[90]
Tentang kaum Majusi Nurcholish Madjid memberikan argumentasi sebagai berikut:
“….Hal ini juga ditegaskan dengan ketentuan praktik Nabi Muhammad SAW yang memungut jizyah dari kaum Majusi di Hajar dan Bahrain, kemudian praktik ‘Umar ibn al-Khaththab memungut jizyah dari kaum Majusi Persia serta ‘Usman ibn ‘Affan memungut jizyah dari kaum Berber di Afrika Utara.
Berdasarkan pada kenyataan dan praktik-praktik tersebut diatas,  banyak ulama yang menyimpulkan adanya golongan Ahli Kitab di luar Yahudi dan Nasrani. Sebab, pemungutan jizyah hanya dibenarkan kepada kaum Ahli Kitab (yang hidup damai dalam negeri Islam), dan tidak dipungut dari golongan yang tidak termasuk Ahli Kitab seperti kaum Musyrik (yang umat Islam tidak boleh berdamai dengan mereka)”.[91]
Kesimpulan Nurcholish Madjid bahwa jizyah hanya diambil dari kaum Ahli Kitab perlu dicermati secara kritis. Setidaknya, menurut Al-Qaradlawi, jizyah adalah pajak tahunan atas tiap kepala ahlu al-dzimmah, berupa sejumlah kecil uang yang dikenakan atas kaum pria yang baligh dan memiliki kemampuan, sesuai dengan besarnya kekayaan masing-masing. Ahlu dzimmah adalah kaum non muslim yang hidup dengan aman dan tenteram di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Jadi, ahlu dzimmah adalah orang-orang non muslim, bisa dari golongan Ahli Kitab dan bisa pula dari luar komunitas tersebut.[92] Atau, mereka yang menetap secara permanen di negeri Islam, baik dari Yahudi, Nasrani, Majusi dan yang lainnya dengan legitimasi dari penguasa negeri tersebut, dengan syarat mereka melaksanakan aturan-aturan Islam dalam bidang mu’amalat dan pidana serta membayar jizyah sebagai kompensasi dari perlindungan kepada dirinya.[93]
Selain itu, statemen Nurcholsih Madjid tentang adanya larangan berdamai dengan kaum musyrik mengasosiasikan Islam sebagai agama anti perdamaian. Hal ini berlawanan dengan fakta sejarah kenabian dengan ditandatanganinya berbagai perjanjian oleh Rasulullah bersama orang-oang kafir dan musyrik seperti shulh al-Hudaibiyah yang sangat terkenal, Piagam Madinah (shahifat al-Madinah), perlakuan Rasulullah SAW terhadap penduduk Makkah yang sangat simpatik ketika peristiwa fathu Makkah. Pernyataan seperti yang disampaikan Nurcholish Madjid berpotensi untuk mengaburkan sistem ajaran kedamaian dalam Islam, jika historisitas zaman kenabian diabaikan.
Selain itu Nurcholish Madjid berpendapat bahwa kaum Shabiin dan Majusi (Zoroastrian), yang sudah dikenal pada masa kenabian, sebagai Ahli Kitab dengan alasan adanya perintah Nabi Muhammad SAW untuk memperlakukan mereka sebagai Ahli Kitab. Penulis temukan teksnya sebagai berikut :
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ذَكَرَ الْمَجُوسَ فَقَالَ مَا أَدْرِي كَيْفَ أَصْنَعُ فِي أَمْرِهِمْ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَشْهَدُ لَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ [94]
Disampaikan kepadaku dari Malik, dari Ja’far ibn Muhammad ibn ‘Ali, dari ayahnya, bahwa sesungguhnya Umar ibn Khaththab menyebut Majusi, lalu ia berkata,”Saya tidak tahu bagaimana saya berbuat tentang urusan mereka”. Maka ‘Abdurrahman ibn ‘Auf berkata,”Saya bersaksi sungguh saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Perlakukanlah mereka (orang-orang Majusi) seperti Ahli Kitab.”
Menurut Ghalib, riwayat hadis tersebut memberikan gambaran, bahwa Rasulullah SAW tidak memasukkan kaum Majusi sebagai Ahli Kitab. Hal demikian diperkuat dengan kenyataan, bahwa ‘Umar ibn al-Khaththab banyak membicarakan sekitar permasalahan orang-orang Majusi. Karena, kalau sekiranya dia memahami terma Ahli Kitab mencakup kaum Majusi, tentu umar tidak mempermasalahkannya.[95] Dapat pula dicermati bahwa teks tersebut di atas “سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ” sama sekali tidak berkonotasi perintah untuk menganggap dan mengkategorikan mereka sebagai Ahli Kitab. Nabo SAW hanya memerintahkan agar memperlakukan mereka “seperti” Ahli Kitab. Tentu, kata “seperti” tidak menandakan mereka itu beridentitas sebagai Ahli Kitab.
Selain itu, surat-surat dakwah terbuka Rasulullah SAW yang dikirmkannya kepada para pemimpin dunia masa itu, di luar Semananjung Arabia, juga memberikan petunjuk bahwa Ahli Kitab hanya terbatas pada kaum Yahudi dan Nasrani. Surat-surat yang dikirim kepada Haraclius[96] dan Muqauqis[97] yang beragama Nasrani, diakhiri dengan seruan kepada kaum Ahli Kitab untuk menegakkan “common flatform”(kalimatun sawa’), atau paling tidak mereka bersedia mengakui eksistensi kaum muslimin. Adapun surat yang dikirim kepada Kisra Persia[98] yang beragama Majusi, ajakan kepada kalimatun sawa’tidakdicantumkan. Ini, kata Ghalib, menunjukkan bahwa kaum Majusi tidak termasuk kelompok Ahli Kitab. Meskipun demikian, kaum Majusi dan agama-agama selain Yahudi dan Nasrani, dapat diperlakukan seperti halnya perlakuan terhadap Ahli Kitab.[99]
Dengan demikian pendapat yang mengatakan bahwa Hindu, Budha, Konghucu sebagai Ahli Kitab, sebagaimana yang dikemukakan oleh Rasyid Ridla dalam tafsirnya, al-Manar, adalah pendapat yang kurang tidak populer di kalangan ahli tafsir dan kurang argumentatif. Tentunya, janggal, jika diasumsikan bahwa setiap masyarakat yang mempunyai agama dan kitab suci seperti tersebut di atas sebagai Ahli Kitab. Walaupun mereka mengklaim beragama dan menerima kitab suci, tetapi itu tidak berarti bahwa merekamenganut “agama samawi” dan kemudian dikategorikan sebagai Ahli Kitab.
Sebagai contoh adalah agama Hindu. Abu Rayhan Muhamamad ibn Ahamd al-Biruni (w.443/1051), telah melakukan riset mendalam (dalam karyanya Kitab al-Hind) tentang agama Hindu tidak pernah menyatakan bahwa penganut agama ini sebagai Ahli Kitab. Malahan, ia memandang bahwa mereka itu adalah orang-orang yang mempercayai adanya Tuhan (deist). Sikap ini sejalan dengan Ibnu Hazm (al-Fashl) dan al-Syahrastani (al-Milal). Ibnu Hazm, sebenarnya menganggap agama Hindu, khususnya Brahman, sebagai golongan yang mempercayai Tuhan dan mengkategorikannya tradisi-tradisi keagamaan India dan Timur jauh pada umumnya sebagai bentuk penyelewengan dari agama Sabian. Demikian juga al-Syahrastani, berpandangan bahwa Hindu dan Budha adalah golongan yang mempercayai adanya Tuhan (deist) yang mempunyai kitab suci dan hukum yang tetap.
Walupun riset akhir-akhir ini menunjukkan bahwa agama Hindu berasal dari agama Monoistik dan sebagian teks-teks suci mereka seperti; Weda, Urana, dan Mahabarata menyebutkan kenabian Nabi Muhammad SAW, sifat riset ini belum dapat dipastikan dan memerlukan studi kritis lebih lanjut.
Bahkan Agama Sikh didirikan oleh Guru Nanak (w. 946/1539), lebih krusial karena ia adalah agama budaya yang maju dengan kombinasi antra teologi Islam dan Hindu. Begitu juga agama-agama Taoisme, Konghucu adalah agama yang tersusun secara aneh dengan keyakinan dan ritual campuran. Mengingat Agama-agama Timur inijelas sebagai politeisme, seperti yang ditegaskan dalam al-Qur’an dan ditegaskan oleh para sarjana intelektual yang bijak, agak membingungkan untuk memastikan atas landasan apa Muhammad Rasyid Ridla memasukkan penganut agama-agama Timur ini dalam kategori Ahli Kitab.[100]
  1.     I.    I k h t i t a m
Dari apa yang penulis paparkan di atas dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini; pertama, pluralisme agama tidak sama dengan pluralitas agama yang dijunjung tinggi dan dihormati dalam sistem keyakinan Islam; Pluralisme agama menafikan semua sistem keyakinan yang ada, tetapi ia menegaskan eksistensinya sebagai agama baru, di atas semua agama; Dengan demikian ia bertentangan dengan hak asasi manusia untuk meyakini agama yang dipeluknya. Kedua, Kelemahan yang sangat mendasar baik dari segi metodologi maupun substansi pluralisme agama : inkonsistensi, reduksi, intoleransi dan basis paradigma yang sangat problematis;
Ketiga, dari perspektif sejarah, pluralisme agama merupakan suatu bentuk liberalisasi agama yang secara kronologis muncul sebagai respon teologis terhadap pluralisme politik yang digulirkan oleh para peletak dasar-dasar demokrasi di permulaan abad modern. Keempat, Wacana pluralisme agama yang diusung oleh para penganjurnya lebih bersifat sebagai gerakan politik daripada gerakan agama/pemikiran keagamaan. Kelima, pluralisme agama, dengan berbagai aliran dan tema yang diusungnya, sejatinya ialah pergolakan internal teologi Kristiani yang sama sekali tidak ada pijakannya dalam tradisi Islam; Pergolakan masyarakat Barat di abad Pertengahan dengan agamanya meninggalkan trauma sejarah yang berkepanjangan.
Berikutnya, keenam, Terbukti secara akademik, dalam mengusung gagasan-gagasannya, kaum pluralis melakukan reduksi dan distorsi atas konsep-konsep kunci dalam Islam seperti makna Islam, Keselamatan, Ahli Kitab dan lain-lain. Pluralisme agama, dengan demikian,  tidak lebih dari sekedar “racun” peradaban Barat yang materialis-sekularistik, cenderung berorientasi hegemonik dan destruktif serta bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu hukumnya HARAM. Ketujuh, basis paradigm Pluralisme Agama yang problematic pada dirinya sendiri, kontradiktif dan bertentangan dengan Matan keyakinandan Cita-cita Hidup Muhammadiyah pada point pertama : “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhoi Allah s.w.t. untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khaifah Allah di muka bumi.
Kedelapan, Pluralisme Agama dengan segala wacana turunannya, kontradiktif dan bertentangan dengan MKCH kita, khususnya pada point ke-2 : “Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allahyang diwahyukan kepada RasulNya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad s.a.w. sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.”  Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam WAJIB bersifat eksklusif, dalam artian haram mencampuradukkan antara akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain.[101]
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ. وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (سورة الكافرون : 1-6)
Kesembilan, Untuk mewujudkan kedamaian dan kerukunan dalam realitas bangsa yang majemuk danpluralistik, pedekatan ‘setuju dalam perbedaan’ (agree in disagree) yang digagas oleh Prof. A Mukti Ali lebih tepat dijadikan pilihan. Pendekatan ini cukup ideal karena akan melahirkan sikap toleransi dan saling menghormati. Dalam menjalankan berbagai kegiatan dakwah dan tabligh di Muhammadiyah, tentunya, kita sangat menjunjung prinsip tabsyir, islah dan tajdid. Bagi sementara pihak di internal umat kita yang tak kenal lelah melakukan propaganda “agama baru” pluralisme agama ataupun wacana-wacana liberalisasi Islam, dekonstruksi syari’ah dan desakralisasi Al-Qur’an, pada umumnya, tak pernah lepas dari dua kemungkinan : (1) tertipu (maghrur), terserang penyakit syubuhat akut karena tidak melengkapi diri dengan niat ikhlas dan keterampilan intelektual untuk melakukan integrasi dengan warisan klasik Islam; (2) menipu (ittiba’ al-syahawat). Dalam tidak sedikit keadaan seseorang dengan kapasitas intelektual yang terhormat dapat terjebak pada perkara-perkara pragmatis.
[54] Q.S. ِAl-Baqarah/2 : 62. Lihat pula, Q.S Al-Maidah/5 : 69 :
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
[55] Ibid…. hal. 186
[56] Ibid…. hal. 186-187. Sumber aslinya, Nashir al-Din al-Baydlawy, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil(Beirut: Muassasat Sya’ban, tt), Jil. 1, hal. 158
[57] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban… hal. 187
                [58] Zamakhsyarî, al-Kasysyâf…, Jilid I, hal. 146
                [59] Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî…I, hal. 279-280
                [60] Penulis belum berhasil menemukan teks hadis tersebut. Namun hal senada juga disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai berikut :
حَدَّثَنِي يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ وَأَخْبَرَنِي عَمْرٌو أَنَّ أَبَا يُونُسَ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ (Muslim)
                [61] Zamakhsyarî, al-Kasysyâf…, Jilid I, hal. 660-662
                [62] Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî…VI, hal. 200-201
                [63] Ibid….hal. 203
                [64] Zamakhsyarî, al-Kasysyâf…, Jilid III, hal. 148
                [65] Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî…XVII, hal. 128-129
                [66] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama:Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif, 2005), hal. 180-181
                [67] Baca bab II dari tesis ini, khususnya yang berkaitan dengan sketsa pluralisme serta kaitannya dengan globalisasi.
[68] Anis Malik Thoha, Tren-tren Pluralisme…hal. 183
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُـمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
 وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
[70]          إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
[71] Nurcholish Madjid, Islam doktrin dan Peradaban…. hal. 186
[72] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban… hal. 187
                [73] Lihat umpamanya pada Q.S al-Nisa’: 46,
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ
Q.S. Al-Maidah : 13
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Q.S. Al-Maidah : 41
يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا ءَامَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُونَ لِقَوْمٍ ءَاخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَذَا فَخُذُوهُ وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا وَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Q.S. Al-Baqarah: 79
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ
                [74] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular Liberal (Jakarta: GIP, 2005), hal. 29
                [75] Ibid. hal.364.
[76] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban…. hal. 186-187. Sumber aslinya, Nashir al-Din al-Baydlawy, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (Beirut: Muassasat Sya’ban, tt), Jil. 1, hal. 158
[77] al-Baydlâwî, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl,hal. 333,  Jilid 1 ( CD Al-Maktabah al-Syamilah, Al-Ishdar al-Tsani).
[78] HR Muslim
[79] Ibid…hal. 61
[80] Ibid. hal. 61-62
[81] Q.S. al-Syûrâ/42 : 13, terjemah oleh Nurcholish Madjid
[82] Q.S al-Mu’minûn/23 : 51-53, terjemah oleh Nurcholish Madjid
[83] Q.S. Alu Imran/3 : 84-85
[84] Q.S. Alu Imran/3 : 64
[85] Ibid… hal. 75. Dinukil dari Sayyid Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir Al-Manar, jilid 6, hal. 189. (‘Abd ibn Hamid dalam tafsirnya atas surat al-Buruj meriwayatkan dengan sanad yang shahih, dari Ibnu Abza, bahwa setelah kaum Muslim mengalahkan penduduk Persia ‘Umar berkata, “Berkumpullah kalian!” [Yakni, ia berkata kepada para Sahabat, “Berkumpullah kalian untuk musyawarah,” sebagaimana hal itu telah menjadi sunnah yang diikuti dengan baik dan kewajiban semestinya]. Kemudian ia [‘Umar] berkata,”Sesungguhnya kaum Majusi itu bukanlah Ahli Kitab sehingga dapat kita pungut jizyah dari mereka, dan bukan pula kaum penyembah berhala sehingga dapat kita terapkan hukum yang berlaku.” Maka Ali menyahut,”Sebaliknya, mereka adalah Ahli Kitab.” [terjemah dalam ibid…hal. 69])
[86] Ibid…hal. 76. Dinukil dari Sayyid Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir Al-Manar, jilid 6, hal. 188-189.Terjemahnya dalam Ibid… hal. 70-71
[87] (Yang tampak ialah bahwa al-Qur’an menyebut para penganut agama-agama  terdahulu, kaum Shabi’in dan Majusi, dan tidak menyebut kaum Brahma [Hindu], Buddha dan para pengikut Konfusius karena kaum Shabi’in dan Majusi dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran mula-mula adress al-Qur’an, karena kaum Shabi’in dan Majusi itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan mereka [orang-orang Arab] belum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka mengetahui golongan yang lain. Dan tujuan ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal [oleh bangsa Arab], sehingga tidak perlu membuat keterangan yang terasa asing [ighrâb] dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi adress pembicaraan itu di masa turunnya al-Qur’an, berupa penganut agama-agama yang lain. Dan setelah itu tidak diragukan bagi mereka [orang Arab] yang menjadi adress pembicaraan [wahyu] itu bahwa Allah juga akan membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Buddha, dan lain-lain.
Sudah diketahui bahwa al-Qur’an jelas menerima jizyah dari kaum Ahli Kitab, dan tidak disebutkan bahwa jizyah itu dipungut dari golongan selain mereka. Maka Nabi SAW pun, begitu pula para khalifah R.A, menolak jizyah itu dari kaum Musyrik Arab, tetapi menerimanya dari kaum Majusi di Bahrain, Hajar dan Persia sebagaimana disebutkan dalam dua kitab Hadis yang shahih [Bukhari –Muslim] dan kitab-kitab Hadis yang lain. Dan [Imam] Ahmad, al-Bukhary, Abu Dawud, dan Turmudzi serta lain-lainnya telah meriwayatkan bahwa Nabi SAW memungut jizyah dari kaum Majusi Hajar, dan dari hadis Abdurrahman bin ‘Auf bahwa dia bersaksi untuk Umar tentang hal tersebut ketika Umar para sahabat untuk bermusyawarah mengenai hal itu. Malik dan Syafi’I meriwayatkan dari dia [Abdurrahman bin ‘Auf] bahwa ia berkata:”Aku bersaksi, sungguh aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda,’Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab.” Dalam sanadnya ada keterputusan, dan pengarang kitab al-Muntaqa dan lain-lainnya menggunakan hadis itu sebagai bukti bahwa mereka [kaum Majusi] tidak terhitung Ahli Kitab. Tapi pandangan ini lemah, sebab penggunaan umum perkataan “Ahli Kitab” untuk dua kelompok manusia [Yahudi dan Nasrani] karena adanya kepastian asal kitab-kitab suci mereka dan tambahan sifat-sifat khusus mereka tidak mesti berarti bahwa di dunia ini tidak ada Ahli Kitab selain mereka, padahal diketahui bahwa Allah mengutus dalam setiap umat Rasul-rasul untuk membawa kabar gembira dan berita ancaman, dan bersama mereka itu Dia [Allah] menurunkan Kitab Suci dan Ajaran Keadilan [al-mîzân] agar manusia bertindak dengan keadilan. Sebagaimana juga penggunaan umum gelar “ulama” untuk sekelompok manusia yang memiliki kelebihan khusus tidaklah mesti berarti ilmu hanya terbatas kepada mereka dan tidak ada pada orang lain.)
[88] Ibid….hal. 71-72
                [89] Muhammad Ghalib M, Ahl al-Kitab, Makna dan Cakupannya (Jakara: Paramadina, 1998), hal. 28
                [90] Ibid…hal. 29
                [91] Nurcholish Madjid, Islam Agama….hal. 68-69
[92] Adian Husaini, Islam Liberal Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (Jakarta: GIP, 2002), hal.57. Permasalahan pemungutan jizyah menjadi perdebatan di kalangan ulama. Lebih lanjut lihat,Ensiklopedi Hukum Islam (1999), jilid III, hal.824-825, Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayat al-Diniyah (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1416), hal. 225-232.
                [93] Khalid ibn Muhammad al-‘Anbari, Fiqh al-Siyasah al-Syar’iyah (Riyadl: t.p., 1418), hal.239
                [94] Imam Malik ibn Anas, kitab Zakat, hadis nomor 544
                [95] Muhammad Ghalib M, Ahl al-Kitab…hal. 29
                [96] Teks suratnya sebagai berikut :
بسم الله الرحمن الرحيم. من محمد بن عبد الله ورسوله. إلى هرقل عظيم الروم. سلام على من اتبع الهدى. أما بعد : فإني أدعوك بدياية الإسلام، أسلِمْ تسلَمْ، وأسلم يؤتك الله أجرك مرتين. فإن توليت فعليك إثم الأريسيين، و(يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ ألاَّ نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخــِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًــا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُون)، فإن أبيت فعليك إثم النصارى من قومك.
                [97] Teks suratnya sebagai berikut;
بسم الله الرحمن الرحيم. من محمد رسول الله. إلى المقوقس عظيم القبط. سلام على من اتبع الهدى. أمابعد.فإنى أدعوك بدياية الإسلام، فأسلِمْ تسلَمْ، وأسلم يؤتك الله أجرك مرتين، فإن توليت فعليك إثم القبط:  (يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ ألاَّ نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخــِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًــا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُون).
                [98] Teks suratnya sebagai berikut;
بسم الله الرحمن الرحيم. من محمد رسول الله. إلى كسرى عظيم فارس. سلام على من اتبع الهدى وآمن بالله ورسوله، وشهد أن لاإله إلاالله وحده لاشريك له، وأن محمدا عبده ورسوله. وأدعوك بدعاء الله، فإني رسول الله إلى الناس كافة، لأنذر من كان حيا ويحق القول على الكافرين. فأسلم تسلم، فإن أبيت، فإن إثم المجوس عليك.
          [99] Muhammad Ghalib M, Ahl al-Kitab…hal. 37
                [100] Muhammad Azizan Sabjan “Konsep Ahli Kitab dalam Tradisi Islam” dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn. I No. 4 Januari-Maret 2005, hal.78
[101] Lihat, Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Munas VII Majelis Ulama Indonesia (Jakarta : MUI, 2005), hal. 58-66