Apakah Hukum Dzikir Berjamaah ?

Penanya:
Suratman, Pelanggan SM No. 200002801
Bangilan, Tuban, Jawa Timur
Pertanyaan:
Apakah zikir berjamaah dibawah seorang pemandu, adakah disyariatkan dalam Islam? Mohon penjelasan! Terima kasih.
Jawaban:
Masalah yang saudara tanyakan itu, sebenarnya bukan soal baru. Zikir berjamaah sudah lama berkembang dalam masyarakat kaum muslimin. Hanya pada akhir-akhir ini ia begitu ngetrend dan ngetop karena sudah dikemas sedemikian rupa yang disertai dengan busana putih-putih, berkopiah putih, atau bersurban, dan dipandu oleh seseorang yang dianggap ‘alim, mempunyai suara yang merdu, dan berpenampilan menarik. Seperti yang dilakukan oleh saudara Arifin Ilham dan kawan-kawan, kelihatan syahdu dan meneteskan air mata oleh para pelakunya, serta ditayangkan oleh media elektronik/media cetak yang ditonton oleh para pemirsa. Untuk menguatkan keabsahan zikir berjamaah itu, disusun pula buku panduan dengan mengutip sejumlah hadits-hadits Nabi saw yang bersifat umum tentang zikir.
Menurut pengamatan pengasuh rubrik ini, zikir berjamaah seperti itu sudah terstruktur kaifiyatnya sedemikian rupa yang tidak kita jumpai dalam praktik Nabi saw, para sahabat, dan ulama salaf.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kata “zikir” baik yang ada dalam al-Qur’an atau dalam hadits-hadits bersifat umum yang memerlukan penafsiran sesuai dengan konteksnya masing-masing. Itulah sebabnya, maka zikir itu ada tiga macam, seperti dikatakan oleh ar-Razi dalam kitab tafsirnya:
أَمَّا الذِّكْرُ فَقَدْ يَكُوْنُ بَاللِّسَانِ وَقَدْ يَكُوْنُ بَاْلقَلْبِ وَقَدْ يَكُوْنُ بَاْلجَوَارِحِ.
Artinya: “Adapun dzikir itu kadang kala dengan lidah, kadang kala dengan hati, dan kadang kala dengan anggota tubuh.”
Berzikir dengan lidah seperti memuji Allah, bertasbih dan membaca al-Qur’an. Berzikir dengan hati memikirkan dalil-dalil tentang Zat Tuhan, sifat-sifat-Nya, serta memikirkan pula dalil-dalil yang menunjukkan bebanan-bebanan (taklif) dari Allah, hukum-hukum-Nya, perintah-perintah-Nya, serta larangan-larangan-Nya, janji dan ancaman-Nya, juga memikirkan rahasia-rahasia ciptaan Allah SWT.
Adapun zikir yang mencakup ketiga macam, yaitu zikir hati, zikir lisan, dan anggota tubuh, ialah ibadah shalat lima waktu. Pengertian zikir dalam firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 152;فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ  yang artinya; “Karena itu, ingatlah (berzikirlah) kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (zikir) pula kepadamu”, adalah mempunyai cakupan yang luas sekali, yaitu ada sepuluh macam (lihat Tafsir Mafatihul-Ghaibi karangan ar-Razi pada waktu dia menafzirkan potongan ayat tersebut di atas.
Pengertian zikir dalam hadits riwayat Muslim dari Abu Sa‘id al-Khudri walaupun mengarah kepada zikir lisan, juga masih bersifat umum. Kalau pengertian zikir di situ mau dibawa kepada zikir lisan berjamaah, maka harus mengerti tentang kaifiyatnya apa diterangkan oleh Nabi saw, tidak boleh menurut hasil ijtihad kita semata-mata.
Dikatakan oleh Imam asy-Syafi‘i di dalam Kitab al-Um, seperti dikutip Prof. T.M. hasbi ash-Shiddieqy dalam bukunya Koleksi Hadits-hadits Hukum juz 4 halaman 215-216, sewaktu asy-Syafii mengomentari hadits riwayat al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud dari sahabat Ibnu Abbas, bahwa asy-Syafii mengutarakan supaya para imam dan makmum berzikir sesudah shalat dengan suara yang pelan (tidak keras), kecuali bila imam menghendaki supaya zikir itu dipelajari oleh makmum. Di kala demikian barulah zikir itu dikeraskan, dan setelah dirasakan (diperkirakan) makmum sudah mengetahui (hafal), maka kembali lagi zikir itu dibaca pelan. Asy-Syafii berpendapat bahwa Nabi saw mengeraskan zikir seketika saja (tidak terus menerus) untuk dipelajari oleh para sahabat.
Dari uraian singkat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kalau berzikir itu sekedar ingin mengajarkan orang, maka diperbolehkan dengan suara keras. Sebahagian besar ulama salaf memakruhkan bahkan mengharamkan berzikir dengan suara keras, dengan alasan Nabi tidak menuntunkan seperti itu. Memang ada segolongan kecil ulama yang membenarkan zikir berjamaah dengan suara keras, tapi disertai dengan sejumlah syarat yang ketat.
Menurut pengasuh rubrik ini, jalan yang terbaik yang harus kita tempuh adalah tidak melakukan zikir berjamaah dengan suara keras, kecuali sekedar untuk mengajar para jamaah. Kita jauhi hal-hal yang dipraktikkan oleh Nabi saw dalam soal ibadah, agar kita tidak terjerumus ke dalam kancah perbuatan bid‘ah yang sangat dicela oleh agama. *th)

 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah