Teologi Pluralisme Agama Dalam Timbangan Muhammadiyah ( Bagian 2 )

“Penerimaan Pluralisme keagamaan mengharuskan pengubahan tujuan pendidikan (agama) Islam, baik makro atau mikro, terutama pendidikan tauhid. Tujuan pendidikan tauhid perlu disusun dalam rumusan cultural bukan doctrinal atau structural. Tujuan pendidikan tauhid menjadi “menumbuhkan kesadaran dan komitmen untuk ketuhanan”. Pembelajaran bidang ini diubah sebagai pengkayaan pengalaman berketuhanan dan pengalaman mengalahkan tradisi setan atau kekafiran, bukan isolasi peserta didik dari segala persoalan kekafiran dan tradisi setan……Karena itu, Tuhan dan ajaran-Nya serta kebenaran yang satu itu mungkin juga diperoleh pemeluk agama lain dalam rumusan konseptual yang berbeda.

Konsekuensi dari rumusan di atas ialah bahwa Tuhannya pemeluk agama lain, sebenarnya itulah Tuhan Allah yang dimaksud dan diyakini pemeluk Islam. Kebenaran ajaran Tuhan yang diyakini pemeluk agama lain itu pula sebenarnya yang merupakan kebenaran yang diyakini oleh pemeluk Islam. Soalnya : “Berani dan bersediakah pemeluk Islam dan guru agama mengubah rumusan keyakinan, rumusan tentang Allah dan ajaran-Nya?” Atau, pemeluk Islam dan agama lain sebenarnya hanya mempunyai satu-satunya tujuan keagamaan ialah menaklukkan semua orang untuk memeluk agamanya.[48]
Sebagai solusi teologis atas pertikaian dan konflik antar-umat manusia, Munir Mulkhan menyatakan perlunya mendekonstruksi konsep berketuhanan. Berikut pernyataannya :
Dalam hubungan itulah pentingnya menempatkan Tuhan dengan segala ajaran-Nya sebagai kesatuan integral. Tuhan bagi pemeluk agama tertentu adlah juga Tuhan yang diyakini pemeluk agama lain. Surga Tuhan yang ingin dicapai di akhir kehidupan itu pun adalah surga yang diyakini oleh pemeluk semua agama. Disinilah pentingnya pengembangan pemahaman bahwa Tuhan yang satu dengan surganya yang satu itu adalah Tuhan dan surga bagi semua orang dengan beragam agama, beragam pemahaman keagamaan, beragam suku-bangsa dan nasionalitas.
…Agama, semua agama, memang telah selesai, tuntas dan sempurna, karena datang dari Tuhan, sehingga tak perlu lagi diperdebatkan. Hal ini menunjukkan bahwa masalah agama adalah soal kemanusiaan yang relatif dan dinamis yang bisa diperdebatkan, diubah, dan dinegosiasikan melalui proses dialog kultural ataupun politik. Masalah agama perlu diletakkan dalam posisi sebagai respon manusia berupa pemikiran atau penafsiran terhadap Tuhan dan firman-firmanNya.”[49]
Tentang surga yang “pluralis” digambarkan oleh Munir Mulkhan sebagai berikut :
”Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri dari banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.[50]
Tak berbeda dengan pernyataan dan gagasan terbaca di atas, DR. Zuly Qadir, seorang aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah, dalam bukunya  Agama Dalam Bayang-Bayang Kekuasaanmenyatakan pandangan pluralisnya sebagai berikut :
“Kedua, sesuatu bisa disebut agama jika memiliki rangkaian-rangkaian sistematik dan sistematik tentang cara ritual [peribadatan] sebagai “jalan” menuju apa yang dikultuskan tadi. Adanya ritual-ritual mengakibatkan seseorang kemudian melakukan upacara-upacara (kegiatan-kegiatan) yang bersifat khusus dalam rangka pendekatan diri terhadap apa yang diyakininya sebagai sesuatu yang pantas disembah, dihormati dan dipuja. Ritual sebagai bentuk kongkret dalam system ajaran sehari-hari menjadikan “terikatnya” seseorang (umat) terhadap apa yang diimani karena ia merasa bersalah dan melanggar jika tidak melaksanakan apa yang menjadi rangkaian sistematik ritual itu.
“Perbedaan ‘jalan’ maupun cara dalam praktik ritual tidaklah menjadi sebab ditolak atau tercelanya seseorang melakuakn ‘penghormatan’ total kepada apa yang diyakini. Perbedaan jalan dan cara merupakan kekayaan bahasa Tuhan yang memang tidak bisa secara pasti dipahami oleh bahasa-bahasa manusia. Kekayaan bahasa Tuhan kemudian diterjemahkan dalam pelbagai ragam ritual yang dipraktekkan dalam masyarakat.
 Memperhatikan hal ini, maka tidak perlu lagi mempersoalkan mengapa antara orang Islam, Kristen, hindu, Budha dan lain sebagainya tampaknya ‘berbeda’ dalam ‘mencapai’ Tuhan. Perbedaan ritual hanyalah perbedaan lahiriah yang bisa ditangkap oleh kasat mata, sedangkan hakekat ritual adalah ‘penghormatan’ atas apa yang dianggap suci, luhur, agung, dan sebagainya. Ritual-ritual hanyalah simbol manusia beragama karena mengikuti rangkaian sistematik tadi.”[51]
Pada bukunya yang lain “Syariah Demokratik”[52]  Zuly menyampaikan gagasannya tentang Pendidikan Islam dalam satu bab berjudul ”Pendidikan Islam Pluralis: Studi Pendidikan Aqidah-Akhlak Di SMP/SMA”. Pada sub judul bab: “Pendidikan Aqidah-Akhlak: Sumber “Malapetaka” Dan Humanisme Universal”, ia menulis: “Bahkan yang paling celaka adalah terjadinya standar ganda pada guru-guru aqidah-akhlak kita. Guru-guru aqidah-akhlak  sering kali menilai bahwa agamanya yang paling benar, paling lengkap, sementara agama lain di luar agamanya adalah tidak lengkap, bahkan sesat karena itu tidak layak untuk dipelajari, apalagi diikuti.”
Lebih lanjut Zuly menegaskan sebagai berikut: ”Pendidikan agama Islam (termasuk aqidah-akhlak) harus dirumuskan menjadi sebuah pendidikan yang menuju pendidikan teologi agama-agama. Pendidikan ini merupakan pendidikan yang diangkat dari nilai-nilai universal agama-agama, diangkat dari realitas lapangan sehingga tidak ”melangit”, tetapi ”membumi”. Dengan rumusan pendidikan aqidah-akhlak yang berspekpektif agama-agama, maka pendidikan Islam (aqidah-akhlak) akan menjadi sebuah pendidikan yang mampu merespon persoalan-persoalan kontemporer. Di situlah sebenarnya pusat universalisme pendidikan Islam yang tidak menjadi perbedaan agama-agama, suku, ras, dan antar-golongan sebagai lahan pertikaian, tetapi persaudaraan sejati.”
Dalam tulisannya “Problem Dialog Antariman : Membangun Keberagamaan Inklusif” Zuli menyatakan dimensi spiritualitas agama sebagai titik pertautan Agama-Agama, katanya : “Spiritualitas agama-agama juga merupakan pertemuan dari agama-agama yang dalam istilah Frithjof Schoun disebut dengan esoterisme, sedangkan formalism agama disebut sebagai eksoterisme yang masing-masing agama berbeda-beda.”[53] Sebelum menutup tulisannya Zuli menegaskan pentingnya keimanan yang terbuka :
“Keimanan inklusif merupakan keimanan yang tidak standar ganda, meletakkan agamanya sendiri sebagai agama paling sempurna, paling mewadahi semuanya, paling benar, dan menyelamatkan, sementara agama orang lain ada keselamatan, ada kebenaran namun tidak lengkap dan malah cenderung menyimpang. Keimanan inklusif adalah keimanan yang menghargai ada keselamatan di luar agamanya. Inilah yang sesungguhnya menjadi bagian tugas para agamawan untuk membongkar paham-paham teologi umatnya menuju paham teologi yang inklusif. Tanpa ada kemauan membongkar paham teologi yang telah dianut selama ini, tentu kita akan susah mendambakan adanya keberagamaan yang inklusif.”[54]
Di koran Jawa Pos, edisi 11 Januari 2004, Sukidi, aktivis muda Muhammadiyah menulis sebagai berikut :
”Dan, kosekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi agama-agama. Nietzche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan justeru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Ghandi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama –entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya- adalah benar. Dan, konsekuensiya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar pluralisme Ghandi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (The One). Akar yang satu itulah yang mejadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa Pluralisme Agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullah) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima Pluralisme Agama sebagai hukum Tuhan.”[55]
Dalam tulisannya yang lain bertajuk “Menjadi Muslim Pluralis: Pergulatan Mencari Kebenaran Dan Tuhan, Sukidi memaparkan ilustrasi teologi pluralisnya sebagai berikut :
“Saya ingin memberikan tiga perumpamaan teologi pluralis, yang nantinya semakin meneguhkan kesadaran tentang bagaimana yang Satu (Kebenaran, Tuhan) menjadi plural (kebenaran-kebenaran, tuhan-tuhan) ketika hadir dalam alam pikiran dan penghayatan hidup manusia yang plural. Pertama, ibarat air, substansinya adalah satu. Tapi bias saja kehadiran air mengambil bentuk berupa sungai, danau, lautan, uap, mendung, hujan, kolam, embun dan sebagainya. Ia sama dengan agama : kebenaran substansial hanyalah satu, tetapi aspek-aspeknya berbeda [merujuk kepada sufi India Hazrat Inayat Khan: 1882-1927]. Kedua,ibarat cahaya, substansinyapun satu. Tapi, spectrum cahaya itu punya ‘daya terang’ tersendiri (terang sekali, biasa, dan remang-remang), juga tercermin dalam aneka warna cahaya, (ada merah, kuning, hijau, dan seterusnya). Tetapi, aneka warna cahaya itu bukanlah signifikan, sebab semua itu tetap dinamakan cahaya, dan semua cahaya pada hakikatnya dapat membawa manusia ke “Sumber Cahaya” itu, yakni Tuhan. Ketiga, ibaratkan agama pada roda sepeda, semakin dekat ke “as” maka akan semakin dekat, dan bahkan satu.[56]
Dalam upayanya untuk menemukan titik temu agama-agama, Sukidi sarat dengan paradigma dan metodologi berpikir para teolog liberal Kristen. Simaklah tulisannya yang cukup panjang di bawah ini :
 “Usaha saya untuk mencari titik temu agama-agama, dalam konteks Indonesia, kiranya perlu dibingkai dalam format Ketuhanan Yang Maha Esa. Semua (agama) itu berasal dari satu Tuhan, maka tingkat transenden, menurut filsuf perennialis Frithjof Schoun, semua agama akan mencapai konvergensi. Dalam rumusan ahli agama Huston Smith, 1973, bahwa landasan esoteris agama-agama itu sama. Sementara tinjauan filsafat perennial (the perennial philosophy) mengungkapkan istilah konvergensi sebagai the transcendent unity of religions (kesatuan transenden agama-agama). Maka, pada tingkat the common vision (kata Frithjof Schoun), semua agama mempunyai kesatuan, kalau tidak malah kesamaan gagasan-gagasan dasar, yang dalam Islam disebut dengan “pesan dasar agama”, yakni sikap pasrah (islam) untuk selalu bertaqwa dan selalu menghayati kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Proyeksi ke depan teologi pluralis ini diharapkan memberikan satu wawasan baru kepada manusia modern dewasa ini akan adanya kestuan pesan perennial agama (washiyyah), yang meskipun dibungkus dalam wadah agama yang berbeda-beda, tetapi sejatinya pesan itu satu dan sama.”
“Nah, pluralitas agama mengandaikan ada sekian banyak jalan menuju perkenan Tuhan. Betapapun jalan itu plural, Ia tetap bukan sebagai tujuan, tetapi hanya sekedar “jalan” dan “sarana” menuju Tuhan. Meskipun, secara lahiriah, jalan itu amat beragam dan nampak sekali terjadinya perbedaan, bahkan pertentangan sekalipun, tetapi secara “esoterik” (kata Huston Smith), atau “esensial” (kata Bhagavan Das), atau “transenden” (kata seyed Hossein Nasr dan kaum perennialis), semua itu akan mencapai “kesatuan transendental (agama-agama) yang sama” (the transcendent unity of religions). Meminjam istilah Paul F. Knitter dalam No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Towards the World Religions, 1985, bahwa semua agama (sebagai “jalan” menuju Tuhan) adalah relatif (All religions are relative),-yakni terbatas (limited), parsial (partial) dan tidak lengkap (incomplete)-, tetapi sekaligus all are essencially same, yakni sama-sama sebagai “jalan” atau “sarana” penyelamatan kehidupan rohani manusia menuju Tuhan, meskipun ditempuh melalui “jalan” yang berbeda-beda….Maka sangat wajar sekiranya jalan itu “luas” , berarti dapat menampung semua pejalan dan semua aliran (mazhab) yang berbeda-beda, tetapi juga “lurus” menuju Tuha selama bercirikan; kedamaian, kepasrahan dan keselamatan. Semua jalan yang mencirikan hal tersebut, pasti bermuara pada jalan yang “lurus”, yang dalam bahasa Al-Qur’an diistilahkan al-Shirath Al-Mustaqim (jalan yang “luas”, lagi “lurus”). Meskipun jalan yang ditempuh luas, beragam, sekaligus plural, tetapi semuanya (baca, uamat beragama) akan sama-sama “lurus” kea rah vertical menuju Tuhan “Yang Maha Esa”, “Yang Kudus”, yang alam teologi pluralis diberikan nama yang berbeda-beda, namun hakikatnya Satu, yakni Tuhan itu sendiri. Maka, Tuhan adalah “sangkan paran” (asal dan tujuan) hurip  (hidup), bahkan seluruh makhluk (dumadi).
“…Menjadi muslim pluralis, dengan demikian, mutlak untuk menerjemahkan iman yang mengakui kebenaran dan keselamatan agama-agama demi pembebasan terhadap yang tertindas. Dasar pijakan normatifnya adalah Al-Qur’an surat al-Ma’un; 1-3 :”Tahukah kalian orang-orang yang mendustakan agama? Itulah orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberikan makan orang miskin”. Inilah pijakan normative kaum pluralis.”[57]
Demikian halnya dengan pendapat Prof. Dr. M Amin Abdullah. Merujuk pada gagasan Sayyed Hossein Nasr yang menggunakan analogi bahasa untuk menggambarkan posisi sejajar yang dimiliki oleh agama-agama dunia. Kata Amin Abdullah, pada level ontologis metafisik, manusia tidak bisa menolak keragaman bahasa yang ada dalam kehidupan manusia. Fakta bahwa manusia memiliki bahasa yang berbeda-beda tidak bisa diajukan sebagai pembenaran bahwa satu bahasa lebih baik dan lebih sempurna dari bahasa lain. Bahasa bisa saja sangat berbeda dalam hal tata bahasa dan kosa kata, tetapi di luar perbedaan-perbedaan itu, ada “makna” dan “fungsi” yang sama dimainkan oleh bahasa sebagai sarana komunikasi di antara sesama manusia. Pada titik inilah, menjadi jelas manakah yang merupakan dimensi universal bahasa dan mankah yang merupakan dimensi partikular. Situasi ini bisa diterapkan sepenuhnya ke dalam konteks agama, di mana tidak ada agama yang bisa mengklaim bahwa satu agama lebih baik atau lebih sempurna dari agama lain.[58]
Secara lebih lugas, Prof. Dr. Said Aqiel Siradj, yang baru saja terpilih menjadi ketua umum PBNU pada Muktamar NU di Makassar, dalam tulisannya bertajuk “Laa Ilaha Ilallah Juga” menjelaskan sebagai berikut :
“Dari ketiga macam tauhid diatas, (tauhid al-rububiyah, tauhid al-uluhiyah dan tauhid asma’ wa al-shifat,penulis), tauhid Kanisah Ortodoks Syria tidak memiliki perbedaan yang berarti dengan Islam. Secara al-rububiyah, Kristen Ortodoks Syria jelas mengakui bahwa Allah adalah Tuhan sekalian alam yang wajib disembah. Secara al-uluhiyah ia juga telah mengikrarkan La ilaha ilallah: “Tiada tuhan (Ilah) selain Allah”, sebagai ungkapan ketauhidannya. Sementara dari sisi tauhid sifat dan asma Allah secara substansial tidak jauh berbeda. Hanya ada perbedaan sedikit tentang sifat dan asma Allah tersebut. Jika dalam Islam (sunni) kalam Tuhan Yang Qadim itu turun kepada manusia (melalui Muhammad) dalam bentuk Al-qur’an, maka Kristen Ortodoks Syria berpandangan bahwa kalam Tuhan turun menjelma (tajassud) dengan Ruh al-Quddus dan Perawan Maryam menjadi manusia. Perbedaan ini tentu wajar sekali dalam dunia teologi, termasuk teologi Islam.”
“…Walhasil, keyakinan Kristen Ortodoks Syria dengan Islam (sunni) walaupun berbeda dalam peribadatan (syari’ah), pada hakekatnya memiliki persamaan yang sangat substansial dalam bidang Tauhid. Perbedaan esensial di antara keduanya terletak pada pengakuan kalimah Muhammad Rasulullah :”Muhammad sebagai utusan Allah”. Jika Kristen Ortodoks Syria turut mengakui statement Kenabian Muhammad tersebut, otomatis menjadi salah satu sekte dalam Islam.”[59]
Dr. Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina, pada Harian Kompas, 3/9/2005 menulis sebagai berikut :
”Seorang fideis muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas da mentrasedenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.”[60]
Sumanto Al-Qurtuby, menulis demikian :
“Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuha, mugkin Dia hanya terseyum simpul. Sambil menunjukkan surgaNya yang Mahaluas, di sana ternyata telah menunggu bayak orang, antara laian; Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nuwas, Romo Mangu, Buda Teresa, Udin, Baharuddin Lopa, dan Munir!.”[61]
Dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Khamami Zada menyatakan sebagai berikut :
”Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tana mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-buruk (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lai, mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, makateologi yang diterima adalah teologi eksklusif dan intoleran, yag pada giliranya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak menghargai kebenarn agama lai. Kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi da pluralisme agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam.”[62]
Fatayat Nahdlatul Ulama bekerjasama dengan Ford Foundation menerbitkan buku berjudul ”Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam”, diantara isinya menyatakan bahwa semua agama adalah sama dan benar; Islam bukanlah satu-satuya jalan kebenaran; dan agama diandang sama dengan budaya (Pluralisme Agama). Selengkapnya demikian :
”Dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diantara jalan-jalan kebenaran yang lain…artinya jalan menuju kebenaran tidak selamanya dan musti harus melalui jalan ’agama’, tapi juga bisa memakai medium yang lai. Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali hanya ritualistik simbolistik. Sedangkan esensiya sama, yakni menuju kebenaran transendental.”[63]
Tokoh yang fenomenal, yang kebetulan menjadi penelitian saya, Allahu yarhamuh Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur), dalam berbagai tulisannya, sering mempopulerkan istilah ‘teologi universal’, yang diarab-kan menjadi “Kalimatun Sawa”, “titik persamaan” atau “ teologi kesatuan agama-agama”. Pernyataan ini, sejatinya copy paste dari gagasan yang diusung oleh Frithjof Schuon dalam rumusannya The Transcendent Unity of Religions (kesatuan transendental Agama-agama).[64] Wacana ini membayangkan adanya titik temu antar-agama pada level esoteris. Jika ditelaah dengan seksama, tidaklah terdapat perbedaan mendasar antara kedua gagasan tersebut; hanya saja Cak Nur sangat kental dengan penggunaan idiom-idiom Islam sementara Schoun menggunakan sebuah perangkat, yang ia sebut sebagai ‘filsafat Perennial’ (philosophia perennis, yang kemudian  oleh Sayyed  Hossein Nasr – muridnya Schoun –   diterjemah kan ke dalam Bahasa Arab menjadi al-hikmah al-khâlidah).[65]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsep pluralisme agama yang penulis kemukakan terdahulu tidak lebih dari sekedar ‘penyambung lidah’ dan manifesto otentik dari gagasan-gagasan seperti yang telah diusung oleh Hick, Schoun, Hossein Nasr termasuk Cak Nur yang sesungguhnya berbasis pada aliran filsafat perrenial/philosophia perennis dan atau pemaknaan atas nash-nash Al-Qur’an disubordinasikan kepada paham-paham filosofis semacam ini.Cak Nur, umpamanya, dalam mengusung pandangan-pandangan pluralisnya melakukan destruksi makna pengertian Islam, setidaknya dalam tiga rumusan; Islam “generic” (pasrah kepada Tuhan) sebagai Islam universal; “Islam Formal” sebagai produk sejarah kemudian; dan terakhir, Islam sebagai “common flatform” (kalimat sawa’) Agama-Agama. Dan dapat pula penulis nyatakan bahwa, belum ada pengusung pluralisme agama saat ini, sepeninggal Cak Nur, yang melampaui ide-ide dasar yang telah digagasnya. Nyaris semuanya tak lebih dari sekedar pengulangan pemikiran dan ide yang sama, hanya saja dalam ungkapan dan ucapan kata yang berbeda.
Melalui telaah kritis dan mendalam atas gagasan-gagasan para pluralis muslim khususnya, dapat ditemukan beberapa kelemahan yang sangat mendasar baik dari segi metodologi maupun substansi, diantaranya; Pertama, inkonsistensi. Terutama yang terlihat secara mengesankan dari alur nalar paham ‘persamaan agama’ ini adalah adanya inkonsistensi teks-teks suci (nushush) yang dijadikan sebagai dalil legitimasinya dengan teks-teks suci (nushush) lainnya yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Lihat tafsiran para pluralis tentang konsep-konsep baku dan statis dalam Islam; makna kebenaran, Islam, Ahli Kitab, kufur, riddah dan lain-lain.
Terduga kuat bahwa teks-teks tersebut sengaja dipilih sedemikian rupa secara fragmentatif dan berada di luar konteksnya. Atau hal ini terjadi semata-mata diluar kesadaran (ketidaktahuan). Namun demikian, kedua-duanya secara metodologis adalah cacat. Cacat ini secara tak terhindarkan berakibat negatif pada integritas subtansi pemikiran atau teori itu sendiri, sehingga akan mengesankan adanya teori yang sangat dipaksakan dan mengada-ada.
Kedua, reduksi. Permasalahan utama yang sering dilontarkan dalam wacana pluralisme agama dan dianggap sangat potensial menyulut konflik adalah absolute truth claim (klaim-klaim kebenaran absolut), sehingga seluruh perhatian dan upaya dicurahkan kepadanya saja. Padahal, truth claim ini selalu berbuntut pada apa yang disebut oleh Ninian Smart “practice-claims” (dimensi praktis agama) sebagai perwujudannya. Paham ‘persamaan agama’ pada umumnya dan paham ‘persamaan agama’ versi pluralis muslim Indonesia khususnya, berhenti pada upaya mencari penyelesaian bagi truth-calim tersebut. Sementara practice-claims yang merupakan bagian lain agama yang tak terpisahkan, terabaikan atau malah samasekali tak terpikirkan. Dan inlah apa yang disebut sebagai pereduksian atas hakekat agama.[66]
Ketiga, intoleransi. Pluralisme agama tidak menghendaki adanya klaim-klaim agama yang mutlak. Semua klaim-klaim agama adalah relatif. Yang unik adalah pada saat yang sama pluralisme agama hendak mengungguli dan mengatasi klaim-klaim tersebut, atau dapat disebut sebagai klaim “kebenaran relatif” yang absolut.[67] Dengan demikian hanya klaim pluralisme agama saja yang benar. Pada saat pluralisme agama ditawarkan sebagai suatu teologi toleransi, ternyata terbukti tidak toleran pada perbedaan-perbedaan agama yang benar-benar nyata.[68]
Keempat, basis paradigma yang problematis. Barangkali ini menjadi pokok permasalahan yang sangat serius  dalam wacana pluralisme agama.[69] Tidak sulit untuk menemukan bahwa pluralisme agama yang saat ini berkembang sedemikian rupa -seiring dengan kampenye globalisasi dan pasar bebas- telah dipahami dan didesain dalam bingkai sekuler, liberal dan logical positivism­ Barat yang menolak segala hal yang ‘berbau’ metafisis dengan alasan tidak mungkin dibuktikan secara empiris. Oleh karena itu “agama’ dianggap sebatas “human response” (respon manusia), atau apa yang dikenal dewasa ini di kalangan para ahli perbandingan agama (religionswissenschaft), filsaafat agama, sosiologi, antropologi dan psikologi sebagai “religious experience” (pengalaman keagamaan) serta menafikan agama sebagai produk wahyu yang diturunkan oleh Allah ta’ala.[70] Selain itu bahwa pluralisme yang dikembangkan saat ini dapat dipahami sebagai bentuk lain dari universalisasi teologi Kristen yang problematis[71] yang pada saat bersamaan sedang berupaya meletakkan landasan teoritis untuk dapat  berinteraksi secara toleran dengan agama-agama lain.[72]
Konsep Islam Menurut Muhammadiyah
Membaca tulisan dan gagasan sejumlah intelektual muslim tertulis di atas, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa wacana pluralism agama yang semarak di”pasarkan” di Indonesia, dan khususnya di internal Persyarikatan sebagai propaganda untuk merusak akidah umat Islam yang sepadan dengan tindakan “teror teologis” dan memporakporandakan sendi-sendi keimanan mereka yang selama ini dipegang teguh. Menyeru kepada kesatuan dan penyamaan agama-agama di dunia menjadi semacam cetak biru atau warna dasar pluralism agama itu sendiri. Wajar, atau bahkan “wajib” jika kemudian pluralisme agama dinyatakan sebagai sesuatu yang “haram” dalam berbagai fatwa para ulama di dunia Islam, bukan saja melalui fatwa MUI di Indonesia. Pluralisme semacam inilah yang hendak kami tegaskan kepada umat. Jika ada yang “bermain kata” dengan istilah ini dan secara ikhlas-jujur ia bermaksud menegaskan pluralisme agama sebagai afirmasi atas sikap toleransi dan saling menghormati, hidup damai dan ko-eksistensi antar pemeluk agama-agama, tentunya yang bersangkutan tidak masuk dalam apa yang penulis jelaskan.
Muhammadiyah, dikenal sebagai organisasi modernis yang kokoh mempertahankan akidah dan konsep keimanannya serta tidak mudah bersikap kompromis dalam perkara-perkara fundamental keagamaan, tentunya telah memiliki pijakan-pijakan teologis dan ideologis yang tersebar dalam dokumen-dokumen resmi seperti Mukaddimah Anggaran Dasar beserta syarah­nya, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH), Jati Diri dan Kepribadian Muhammadiyah, Keputusan Tarjih, Khittah (langkah) Perjuangan Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islam (PHI) dan lain-lain, yang kesemua itu tentunya telah mendarah daging dalam alam pikiran, prilaku dan tindakan seluruh warga Muhammadiyah, yang secara sistematis membentuk pandangan hidup Islam (wordview)dalam paham Muhammadiyah. Beberapa waktu yang lalu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Majelis Pendidikan Kader tingkat pusat telah berupaya menyatukan semua sumber otentik Muhammadiyah dan dijadikan satu kesatuan yang utuh yang diberi nama “Manhaj Gerakan Muhammadiyah : Ideologi, Khittah, dan Langkah”. Karenanya penting bagi kita untuk merujuk kepada“apa kata” sumber-sumber otentik tersebut tentang wacana pluralism agama agar “sanad” (transmisi) ke-Muhammadiyahan kita “muttashil” (tersambung) dengan ajaran dan paham Muhammadiyah itu sendiri, tidak malah sebaliknya menjadi “munqathi” (terputus), apalagi kemudian “kesasar” lalu “hilang”, na’udzubillah!.
Sejak semula, Muhammadiyah secara bulat hati, lisan dan perbuatan menyatakan Islam sebagai satu-satunya agama yang benar. Ikrar keyakinan ini terpatri sejak awal kelahiran Muhammadiyah, tertulis jelas setelah surat Al-Fatihah dalam naskah Mukaddimah AD berikut ini :
رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا. وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا . وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَرَسُولاً
“Saya ridla: Ber-Tuhan kepada ALLAH, ber-Agama kepada ISLAM dan ber-Nabi kepada MUHAMMAD RASULULLAH Shalallahu ‘alaihi wassalam “. AMMA BAD’U, bahwa sesungguhnya ke-Tuhanan itu adalah hak Allah semata-mata.Ber-Tuhan dan ber’ibadah serta tunduk dan tha’at kepada Allah adalah satu-satunyaketentuan yang wajib atas tiap-tiap makhluk, terutama manusia.”
Pada penjelasan pokok pikiran pertama Muqaddimah Anggaran dasar Muhammadiyah diterangkan bahwa “tauhid” merupakan esensi ajaran Islam :
“Ajaran Tauhid adalah inti/esensi ajaran Islam yang tetap, tidak berubah-ubah, sejak agama Islam yang pertama sampai yang terakhir.وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ (al-Anbiya’:25). Seluruh ajaran Islam bertumpu dan memanifestasikan kepercayaan tauhid. Berdasarkan Tauhid sepenuh-penuhnya dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, berarti berdasarkan Islam.”
“Kepercayaan Tauhid mempunyai tiga aspek; 1) kepercayaan dan keyakinan bahwa Allahlah yang kuasa mencipta, memlihara, mengatur dan menguasai alam semesta; 2)kepercayaan dan keyakinan bahwa hanya Allahlah Tuhan yang Haq; dan 3) kepercayaan dan keyakinan bahwa hanya Allahlah yang berhak dan wajib dihambai (disembah). [al-A’raf:54, Muhammad :19 dan al-Isra’ :23].”[73]
Pengertian “Islam” sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridlai Allah SWT, disebutkan pada penjelasan pokok pikiran ketiga Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an berikut ini : [74]
“Agama Islam adalah mengandung ajaran-ajaran yang sempurna danpenuh kebenaran, merupakan petunjuk dan rahmat Allah kepada manusia untuk mendapatkan kebahagiaan hidup yang haqiqi di dunia dan akhirat.
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam” (QS Alu Imran/3:19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”( QS Alu Imran/3:85)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”(QS Al-Ma’idah/5:3)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”(QS Al-Anbiya’/21:107)
Tentang konsep dan terminologi agama, Muhammadiyah merumuskannya sebagai berikut :
الدين (أي الدين الإسلامي) هو ما شرعه الله على لسان أنبيائه من الأوامر والنواهي والإرشادات لصالح العباد دنياهم وأخراهم.(قرار مجلس الترجيح)
“Agama (Agama Islam) adalah apa yang telah disyari’atkan Allah dengan perantaraan Nabi-Nabi-Nya berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hamba-hambaNya di dunia dan akhirat.” (Putusan Majelis Tarjih)
الدين الإسلامي المحمدي هو ما أنزله الله فى القرآن وما جاءت به السنة الصحيحة من الأوامر والنواهي والإرشادات لصالح العباد دنياهم وأخراهم.(قرار مجلس الترجيح)
“Agama (Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad) ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Al-Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hamba-hambaNya di dunia dan akhirat.” (Putusan Majelis Tarjih)
“Dari ta’rif agama seperti tersebut di atas dapatlah diketahui, Muhammadiyah berpendirian bahwa dasar hukum/ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah (hadits) shahih…[75]
Penjelasan lebih lanjut tentang Islam dalam paham agama menurut Muhammadiyah dijelaskan dalam kitab Pedoman Hidup Islami (PHI) di bawah ini :
“Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul, sebagai hidayah dan rahmat Allah bagi umat manusia sepanjang masa, yang menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi. Agama Islam, yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai Nabi akhir zaman, ialah ajaran yang diturunkan Allah yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahih (maqbul) berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Ajaran Islam bersifat menyeluruh yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan meliputi bidang-bidang aqidah, akhlaq,ibadah, dan mu’amalah duniawiyah.”
“Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata kepada Allah, Agama semua Nabi-nabi, Agama yang sesuai dengan fitrah manusia4, Agama yang menjadi petunjuk bagi manusia, Agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, Agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna.”
“Dengan beragama Islam maka setiap muslim memiliki dasar/landasan hidup Tauhid kepada Allah, fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah, dan menjalankan kekhalifahan, dan bertujuan untuk meraih Ridha serta Karunia Allah SWT. Islam yang mulia dan utama itu akan menjadi kenyataan dalam kehidupan di dunia apabila benarbenar diimani, difahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat Islam) secara total atau kaffah dan penuh ketundukan atau penyerahan diri. Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu maka terbentuk manusia muslimin yang memiliki sifat-sifat utama: a. Kepribadian Muslim Kepribadian Mu’minc. Kepribadian Muhsin dalam arti berakhlak mulia, dan d. Kepribadian Muttaqin.”[76]
Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH)[77] pada point 1-4 menegaskan sebagai berikut :
1)   Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhoi Allah s.w.t. untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khaifah Allah di muka bumi.
2)  Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada RasulNya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad s.a.w. sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.
3)  Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan;  Al-Qur’an,  Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w.; Sunnah Rasul, Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. ; dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
4)  Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang; Aqidah,Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam; Akhlak, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia; Ibadah, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia;Muamalah Duniawiyah, Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalat dunyawiyah (pengelolaan dunia dan pembinaan masyarakat) berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.
Pada tahun 1969, KH Ahmad Azhar Basyir, MA menyampaikan kuliah tentang Muhammadiyah di Akademi Kateketik Katolik Yogyakarta. Kuliah yang beliau paparkan  di hadapan Jamaat Katolik ditulis dalam sebuah buku kecil bertajuk “Misi Muhammadjah Sebagai Gerakan Islam”. Pada halaman 5-6 beliau menjelaskan (nukilan sesuai dengan tulisan aslinya) : “Mengapa Muhammadijah bekerdja untuk menjebar luaskan adjaran2 Islam jang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul?. Djawabnya : Karena Muhammadijah jakin sejakin-jakinnja, bahwa agama Islam merupakan mata rantai jang terachir dari rentetan agama Allah jang dibawakan oleh para Rasul Allah jang terdahulu dan benar2 merupakan suatu agama jang sanggup diudji. Agama jang terbuka untuk dihadapkan kepada siapapun djuga, Agama jang memberikan kepada umat manusia, hak untuk mempertimbangkan sendiri setjara bebas pilihan sikap hidupnja, setelah kepadanja dihadapkan tawaran2 kebenaran jang dibawakan oleh Al-Qur’an. Agama jang menempatkan manusia jang beridentitas. Agama jang menghormati sepenuhnya hak2 asasi manusia. Agama jang memberikan pintu pemetjahan bagi problim2 kehidupan setjara menjeluruh.”
Lebih lanjut, pada halaman 7-9, setelah menyebutkan ayat berikut ini,
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
“Allah telah mengatur agama bagi kamu, sebagaimana jang diwasiatkan kepada Nuh dan diwahjukan kepada engkau (Muhammad), serta telah diwasiatkan pula kepada Ibrahim, Musa dan Isa, jaitu :hendaklah kamu tegakkan agama, dan djanganlah kamu bertjerai-berai dalam beragama; kaum jang mensekutukan Allah (berkejakinan Tuhan berbilang) amat berat menerima seruan kebenaran jang engkau adjakkan kepada mereka (untuk men-Esakan Allah setjara mutlak); Allah memilih siapa jang dikehendakinja dan memberi petundjuk kepada siapa sadja jang mau kembali kepadaNja.’
mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang integritas dan keulamaannya diakui oleh dunia Islam, menegaskan sebagai berikut : “Dalam hubungan kejakinan umat Islam bahwa agama Islam adalah matarantai terachir dari rentetan agama Allah jang dibawakan oleh para Rasul Allah jg ( yang, pen.) terdahulu sebagaimana dimaksud dalam ajat Al-Qur’an di tsb. di atas, Nabi (saw) mengatakan :
مَثَلِى وَمَثَلُ الأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِى كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى دَارًا فَأَكْمَلَهَا وَأَحْسَنَهاَ ُ إِلاَّ مَوْضِعَ لَبِنَةٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَدْخُلُوْنَهَا وَيَتَـعَجَّـبُوْنَ وَيَقُولُونَ لَوْلاَ مَوْضِعُ اللَّبِنَةِ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّين
“Perumpamaanku dibanding dengan para Nabi sebelum aku, ibarat orang jang mendirikan sebuah rumah jang dibangun sedemikian sempurna dan amat indah, tetapi masih tertinggal sebuah batu bata pada salah satu sudutnya. Ketika orang banjak berkesempatan memasuki rumah tersebut, merekapun amat kagum melihat rumah jang demikian indahnja itu. Tetapi setelah mereka melihat tempat jang masih tertinggal sebuah batu bata itu, merekapun menjajangkan, seraja mengatakan:alangkah baiknja rumah ini, bila batu bata jang tertinggal itu disempurnakan. Kata Nabi Muhammad selandjutnja : Akulah batubata jang tertinggal itu, dan aku adalah penutup para Nabi.” (HR Bukhari dan Muslim)
Al-Qur’an 3:19 (Alu ‘Imran : 19, pen.) memberikan penegasan : “sungguh agama disisi Allah adalah Islam.” (إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ). Lebih tandas lagi Al-Qur’an 3:8 (Alu ‘Imran : 85, pen.) memperingatkan, “Barangsiapa mentjari pegangan agama selain Islam, ia samasekali tidak akan diterima oleh Allah, kelak diacherat ia akan termasuk orang2 jang rugi.”( وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ). Al-Qur’an 5:3 (Al-Ma’idah:3, pen.) mengatakan :” Pada hari inilah aku telah sempurnakan agama kamu. Akupun telah penuhi nikmat-Ku kepadamu, dan Aku telah ridla bahwa Islam mendjadi agama kamu semua.” (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا).
Dalam konteks strategi gerakan Muhammadiyah, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. Haedar Nashir, dalam bukunya Ideologi Gerakan Muhammadiyah, menulis beberapa komponen ideologis yang semakin menegaskan Islam sebagai satu-satunya jalan kehidupan (way of life) dalam ber-Muhammadiyah :
1)   Meyakini,memahami, mengamalkan, dan mengoperasionalisasikan Islam sebagai sistem ajaran, nilai, norma dan konsep yang kaffah (menyeluruh) dengan tuntutan berujud komitmen sikap yang pasti, istiqamah, cerdas, dan sepenuh hati sehingga menjadi pedoman bagi kehidupan umat pemeluknya dan diperluas kepada seluruh umat manusia menuju keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
2)  Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam berkewajiban menjadikan Islam sebagai landasan, acuan, pedoman, dan orientasi seluruh gerakan dan aktivitasnya yang diwujudkan dalam dakwah amar ma’ruf nahi munkar baik ke dalam maupun ke luar di berbagai bidang kehidupan, sehingga Islam yang didakwahkan Muhammadiyah membawa rahmatan lil ‘alamin bagi seluruh umat manusia.
3)  Dalam mewujudkan Islam sebagai pedoman bagi kehidupan manusia maka Gerakan dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah secara menyeluruh itu haruslah dioperasionalisasikan atau diaktualisasikan dengan nyata melalui proses dan usaha yang tepat sasaran sehingga mencapai tujuan yang dicita-citakan yaitu mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”…[78]
Ikhtitam
Membaca, mencermati dan memahami berbagai sumber autentik dalam Muhammadiyah yang penulis kemukakan di atas, tampak tak terbuka peluang dan ruang sekecil apapun untuk memberikan tafsiran-tafsiran “liar” atas makna Islam dalam paham Muhammadiyah sebagaimana wacana pluralisme agama yang dikembangkan oleh sebagian pemikir muslim. Sebagai catatan penutup, penulis tegaskan beberapa hal berikut ini :
Pertama, pluralisme agama tidak sama dengan pluralitas agama yang dijunjung tinggi dan dihormati dalam sistem keyakinan Islam; Pluralisme agama menafikan semua sistem keyakinan yang ada, tetapi ia menegaskan eksistensinya sebagai agama baru, di atas semua agama; Dengan demikian ia bertentangan dengan hak asasi manusia untuk meyakini agama yang dipeluknya. Kedua, Kelemahan yang sangat mendasar baik dari segi metodologi maupun substansi pluralisme agama : inkonsistensi, reduksi, intoleransi dan basis paradigma yang sangat problematis;
Ketiga, dari perspektif sejarah, pluralisme agama merupakan suatu bentuk liberalisasi agama yang secara kronologis muncul sebagai respon teologis terhadap pluralisme politik yang digulirkan oleh para peletak dasar-dasar demokrasi di permulaan abad modern. Keempat, Wacana pluralisme agama yang diusung oleh para penganjurnya lebih bersifat sebagai gerakan politik daripada gerakan agama/pemikiran keagamaan. Kelima, pluralisme agama, dengan berbagai aliran dan tema yang diusungnya, sejatinya ialah pergolakan internal teologi Kristiani yang sama sekali tidak ada pijakannya dalam tradisi Islam; Pergolakan masyarakat Barat di abad Pertengahan dengan agamanya meninggalkan trauma sejarah yang berkepanjangan.
Berikutnya, keenam, Terbukti secara akademik, dalam mengusung gagasan-gagasannya, kaum pluralis melakukan reduksi dan distorsi atas konsep-konsep kunci dalam Islam seperti makna Islam, Keselamatan, Ahli Kitab dan lain-lain. Pluralisme agama, dengan demikian,  tidak lebih dari sekedar “racun” peradaban Barat yang materialis-sekularistik, cenderung berorientasi hegemonik dan destruktif serta bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu hukumnya HARAM. Ketujuh, basis paradigm Pluralisme Agama yang problematik pada dirinya sendiri, kontradiktif dan bertentangan dengan Matan keyakinandan Cita-cita Hidup Muhammadiyah pada point pertama : “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhoi Allah s.w.t. untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khaifah Allah di muka bumi.
Kedelapan, Pluralisme Agama dengan segala wacana turunannya, kontradiktif dan bertentangan dengan MKCH kita, khususnya pada point ke-2 : “Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allahyang diwahyukan kepada RasulNya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad s.a.w. sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.”  Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam artian harammencampuradukkan antara akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain.[79]
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ. وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (سورة الكافرون : 1-6)
Kesembilan, Untuk mewujudkan kedamaian dan kerukunan dalam realitas bangsa yang majemuk danpluralistik, pedekatan “setuju dalam perbedaan” (agree in disagree) yang digagas oleh Prof. A Mukti Ali lebih tepat dijadikan pilihan. Pendekatan ini cukup ideal karena akan melahirkan sikap toleransi dan saling menghormati. Dalam menjalankan berbagai kegiatan dakwah dan tabligh di Muhammadiyah, tentunya, kita sangat menjunjung prinsip tabsyir, islah dan tajdid. Bagi sementara pihak di internal umat kita yang tak kenal lelah melakukan propaganda “agama baru” pluralisme agama ataupun wacana-wacana liberalisasi Islam, dekonstruksi syari’ah dan desakralisasi Al-Qur’an, pada umumnya, tak pernah lepas dari dua kemungkinan : (1) tertipu (maghrur), terserang penyakit syubuhat akut karena tidak melengkapi diri dengan niat ikhlas dan keterampilan intelektual untuk melakukan integrasi dengan warisan klasik Islam; (2) menipu (ittiba’ al-syahawat). Dalam tidak sedikit keadaan seseorang dengan kapasitas intelektual yang terhormat dapat terjebak pada perkara-perkara pragmatis. Wallahu A’lamu bi al-shawab.
[1] Pradana Boy ZTF, Para Pembela Islam Pertarungan Konservatif dan Progresif di Tubuh Muhammadiyah (Depok : Gramata Publishing, 2009), hal. 117-118
[2] Paul Procter (Editor in Chief), Longman Dictionary Of Contemporary English, (Beirut: Librairie Du Liban, 1990), hal. 836, lihat juga, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (New York: Oxford University Press, 1995), Fifth Edition, hal. 889
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet. IV, hal. 777
[4] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), Cet. II, hal. 855
[5] Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan social Antar Umat Beragama (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2000), Cet. I, hal. 19
[6] Schoun lahir di Basel, Swiss pada 18 Juni 1907. Ayahnya keturunan Jerman, ibunya dari ras Alsatia. Ia dikabarkan telah masuk Islam dan dikenal dengan nama Isa Nuruddin Ahmad Al-Syadzily al-Daruwy al-Alawy al-Maryamy. Pada tahun 1932 ia pergi ke Al-Jazair.Jika dilihat dari namanya, besar kemungkinan ia masuk Islam di negeri ini melalu guru sufinya. Schoun dikenal sebagai seorang tokoh terkemuka dalam filsafat abadi dan metafisika tradisional. (Lihat, Adnin Armas, Gagasan Frithjof Schoun tentang Titik-Temu Agama-Agama dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn. I, No. 3, hal. 9-12)
                [7] Adnin Armas, Gagasan Frithjof Schoun tentang Titik-Temu Agama-Agama dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn. I, No. 3, hal. 9-12
                [8] Huston Smith, “Pengantar”, dalam Mencari Titik Temu Agama-Agama, Terj. Saafroeddin Bahar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hal. 11
[9] Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif, 2005), hal. 15
[10] Syamsul Hidayat (Ed), Pemikiran Muhammadiyah : Respon Terhadap Liberalisasi Islam (Surkarta: Muhammadiyah University Press, 2005), hal. 322
[11] Anis Malik Thoha, Ittijâhât al-Ta’addudiyat al-Diniyah… hal. 9-10.
[12] M. Legenhausen, [12] M. Legenhausen, Satu Agama atau Banyak Agama Kajian Tentang Liberalisme dan Pluralisme Agama, Terj. Arif Mulyadi, Jakarta : Lentera, 2002, Cet. I. hal. 17-19
[13] Ibid., hal. 20-21
[14]Ibid., hal. 28
[15] Anis Malik Thoha, Ittijâhât al-Ta’addudiyat al-Diniyah… hal. 11-12
[16] Ibid., hal. 12-13
[17] Ibid. hal. 17
[18] Rene Guenon dilahirkan pada 15 Nopember 1886 di Blois Perancis. Ia banyak dipengaruhi oleh Gerard Encausse, seorang tokoh pendiri Masyarakat Teosofi (theosophical society) di Perancis sekaligus tokoh Freemason. Pada tahun 1912 ia memeluk Islam dan merubah namanya menjadi Abdul Wahid Yahya). Menurutnya, substansi ilmu spiritual bersumber dari supra natural dan transenden. Oleh karenanya ilmu tidak dapat dibatasi oleh kelompok agama tertentu. Ilmu adalah milik semua tradisi primordial. Perbedaan teknis yang terjadi merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan kebenaran. Perbedaan tersebut, menurutnya, sah dan tidak bermasalah karena setiap agama memiliki kontribusinya yang unik untuk memahami Realitas Akhir.
[19] Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (Lahore: Suhail Academy, 1994), hal. 16, sebagaimana dikutip oleh Anis Malik Thoha dalam Ibid., hal. 17-18
[20] Lebih lanjut silahkan baca, Fathurrahman Kamal, Telaah Kritis Atas Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Ayat-Ayat Al-Qur’an Mengenai Pluralitas Agama, Tesis diajukan kepada Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program Studi Agama dan Filsafat, Konsentrasi Filsafat Islam, 2006
[21] Lebih lanjut baca, Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni Kriste ke Domiasi Sekular-Liberal (Jakarta: GIP, 2005)
[22] Soteriologi merupakan bidang kajian dalam teologi Kristiani yang mempelajari penderitaan Yesus (Lihat, Muhammad Legenhausen, Satu Agama… hal. 9)
[23] Kata ‘deon’ bermakna kewajiban, sehingga jenis pluralisme ini didasari oleh kewajiban untuk mematuhi kehendak Tuhan (Ibid., hal. 10)
[24] Lihat, Musa Kazhim, “Pengantar” dalam Ibidhal. 8-11 dan analisis kritis atas kelima rumusan ini  pada hal. 43-92. Legenhausen mengakhiri diskripsinya tentang religious pluralism  Hick dengan sebuah afirmasi bahwa Islam menganut sebuah paham pluralis yang ia sebut sebagai Pluralisme Agama Deontis-Diakronis (التعددية الدينية الأخلاقية المتكررة / Diacrhronic Deontic Religious Pluralism) yaitu, paham yang menyatakan bahwa perintah dan kehendak Ilahi ini terus mengalami proses penyempurnaan serta melahirkan keragaman tradisi agama. Ditetapkannya Islam Muhamamd álaihissalam sebagai risalah terakhir, memutuskan mata rantai penyempurnaan tradisi agama-agama, sekaligus menuntut seluruh umat manusia untuk memeluk wahyu yang terakhir ini. (Ibid., hal. 46-47. Lihat pula edisi bahasa Arabnya dengan judul Al-Islam wa Al-Ta’addudiyah, Terj. Mukhtar Al-Asady [Iran: Muassah al-Huda, 2000], Cet. I, hal. 43-47)
[25] Pandangang-pandangan inklusifnya termuat dalam karyanya The Theological Investigation (20 jilid) “Christianity and The Non-Christian Religions”, jilid ke-5. Problem yang dikemukannya adalah, bagaimana terhadap orang-orang yang hidup sebelum karya penyelamatan itu hadir, atau orang-orang sesudahnya tetapi tidak pernah tersentuh oleh Injil? (Lihat, Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis… hal. 46)
[26] Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis, hal. 44-48
[27] Raimundo Panikkar, Dialog Intra Religius, Terj. Kelompok Studi Filsafat Driyarkara (Yogyakarta: Kanisius, 2000), Cet. II,  hal. 18-24
[28] Ibid, hal. 33-34
[29] Lihat Terrence W. Tilley, Postmodern Theologies and Religious Diversity (Maryknoll, New York: Orbis Book, 1996) hal. 158-159, sebagaimana dikutip oleh Mukhlis, Iinklusifisme Tafsir al-Azhar  (Mataram: IAIN Mataram Press, 2004), Cet. I, hal. 21-22
[30] Ninian Smart, “Pluralism”, dalam Donald W. Musser dan Joseph L. Price, A Handbook of Christian Theology (Nashville; Abingdon Press, 1992), hal. 362-364 sebagaimana dikutip oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik… hal. 20-23
[31] Kosuke Koyama (10 Desember 1929 – 25 Maret 2009) adalah seorang teolog Kristen Protestan berkebangsaan Jepang. Koyama lahir di Tokyo pada tahun 1929, dari orangtua Kristen (Cohn-Sherbok, 1998). Dia kemudian pindah ke New Jersey di Amerika Serikat, di mana ia menyelesaikan B.D. (bachelor’s degree) di Drew Theological Seminary dan gelar Ph.D., (1959) di Princeton Theological Seminary, menyelesaikan Ph.D. Setelah mengajar di Seminari Teologi di Thailand, ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif Asosiasi Sekolah-Sekolah Teologi di Asia Tenggara yang berkantor di Singapura 1968-1974, disamping sebagai editor pada Southeast Asia Journal of Theology dan Dekan Southeast Asia Graduate School of Theology. Setelah itu ia bekerja sebagai Dosen Senior studi agama-agama diUniversitys of Otago di Dunedin di Selandia Baru pada tahun 1974-1979. Kemudian bekerja di Union Theological Seminary di New York, di mana dia tinggal sampai dia pensiun pada tahun 1996. Ia dianggap salah seorang teolog terkemuka Jepang abad kedua puluh. (http://en.wikipedia.org/wiki/Kosuke_Koyama)
[32] Biyanto, Pluralisme Agama Dalam Perdebatan; Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah (Malang :UMMPRESS, 2009), hal. 44-45
[33] A. Mukti Ali, Kuliah Agama Islam di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara Lembang(Yogyakarta: Yayasan Nida, 1973), hal. 17-24 sebagaimana dikutip oleh Faisal Islmail dalam, “Islam, Pluralisme dan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia” dalam jurnal Unisia,  No. 33/XVIII/I/1997, hal. 61-63
[34] Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn. I, No. 3, hal. 6
[35] Majalah Islam Sabili, edisi No. 20 TH. XII 21 April 2005/12 Rabi’ul Awal 1426 umpamanya, dengan data yang dapat dipertanggungjawaban melaporkan tentang kucuran pendanaan asing yang sangatsignificant dalam kaitannya dengan berbagai kampanye liberalisme untuk menyiapkan umat dengan suatuteologi (baca: baru) memasuki peradaban modern. Laporan dan pemberitaan sejenisnya dapat ditemukan dalam berbagai majalah, Koran dll.
[36] Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang ada di dunia harus disesuaikn dengan kondisi social budaya masyarakat modern yang plural. Ideologis, sebab ia telah menjadi bagian dari program globalisasi yang jelas-jelas ‘memasarkan’ ideology Barat. Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya.Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideology baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideology dan nilai-nilai kebudayaan Barat seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme/gender, liberalisme dan sekulerisme. (Lihat, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn. I, No. 4, hal. 5-6)
[37] Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn. I, No. 3, hal. 6-7
[38] Ibid., hal. 7
[39] Anis Malik Thoha, Ph.D, Pluralisme Agama Ditilik dari Nalar Kritis, dalam Media Indonesia, Jum’at 29 Juni 2002.
[40] Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif, 2005), hal. 15
[41] Syamsul Hidayat (Ed), Pemikiran Muhammadiyah : Respon Terhadap Liberalisasi Islam (Surkarta: Muhammadiyah University Press, 2005), hal. 322
[42] Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet. I, hal. 48-49
[43] Ibid., hal. 51, lihat juga, Adian Husaini, Pluralisme, Kafir dan Toleransi Catatan Untuk Budhy Munawar-Rachman, http://www.insistnet.com/currentdiscourse4-3.htm
[44]  إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ  وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
[45] إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاهُمْ يَحْزَنُونَ
[46] Lihat Budhy Munawar-Rachman, Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama,http://islamlib.com/KOLOM/budhy.html, 19 Agustus 2001
[47] Ulil Abshar Abdalla, Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam, dalam Kompas, edisi Senin, 18 Nopember 2002
[48] Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural, Ber-Islam Secara Autentik-Kontekstual di Aras Peradaban Global (Jakarta : PSAP, 2005), hal. 182-183
[49] Ibid.hal. 188-189
[50] Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (Yogyakarta : Kreasi Wacaa, 2002), hal. 44
[51] Zuly Qadir, Agama Dalam Bayang-Bayang Kekuasaan (Yogyakarta : Interfidei,  2001), Cetakan 1, hal. 12-13
[52] Zuly Qadir, Syariat Demokratik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal.  252-287
[53] Zuly Qadir “Problem Dialog Antariman : Membangun Keberagamaan Inklusif” dalam Jurnal Studi Agama “Millah” Vol. IV, No. 1, Agstus 2004, hal. 18
[54] Ibid. hal. 20
[55] Jawa Pos, edisi 11 Januari 2004. Lihat, Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia, hal. 16-17
[56] Sukidi, “Menjadi Muslim Pluralis: Pergulatan Mencari Kebenaran Dan Tuhan”, dalam Muhammadiyah Progressif : Manifesto Pemikiran Kaum Muda (Jaringan Intelektuak Muda Muhammadiyah dan Lembaga Studi Filsafat Islam : 2007), Cetakan I, hal. 421-422
[57] Ibid. Hal. 422-427
[58] Pradana Boy, Para Pembela…118-119. Lihat juga, M Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas, hal. 24-25
[59] Prof. Dr. Said Aqiel Siradj, “Laa Ilaha Ilallah Juga”, dalam Bambang Noorsena, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2001), hal. 165-166
[60] Lihat, Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia, hal. 17-18
[61] Sumanto Al-Qurtuby, Lubang Hitam Agama (Yogyakarta: Rumah Kata, 2005), hal. 45
[62] Khamami Zada “Membebaskan Pedidikan Islam : Dari Eksklusifisme menuju Inklusivisme dan Pluralisme” dalam Jural Tashwirul Afkar, edisi No. 11 tahun 2001.
[63]“Nilai-nilai Pluralisme Dalam Islam”  (Jakarta: Fatayat Nahdlatul Umalam dan Ford Foundation), hal. 59
[64] Huston Smith, “Pengantar”, dalam Mencari Titik Temu Agama-Agama, Terj. Saafroeddin Bahar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003)
[65] Lihat Budhy Munawar-Rachman, Menguak Batas-batas Dialog Antar Agama dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan ‘Ulumul Qur’an, Nomor 4, Vol. IV Th. 1993, hal. 8-15
[66] Reduksi terjadi pada Islam, dan juga agama-agama yang lain, ketika kaum pluralis menyubordinasikan agama-agama ini secara total pada sebuah paham ‘sekulerisme’. Dengan begitu, agama-agama ini telah direduksi sedemikian rupa, sehingga hanya berfungsi dan berperan di wilayah kehidupan manusia yang paling sempit, yakni kehidupan spiritual yang sangat pribadi. Sementara wilayah sosialnya diserahkan kepada system atau institusi lain ‘non-agama’ atau ‘netral-agama’/sekuler (negara). [Lihat Anis Malik Thoha, Ph.D, Pluralisme Agama…(Media Indonesia, Jum’at 29 Juni 2002.). Bandingkan dengan Muhammad Legenhausen, Satu Agama atau Banyak Agama Kajian Tentang Liberalisme dan Pluralisme Agama, Terj. Arif Mulyadi (Jakarta: Lentera, 2002), Cet. I, hal. 92-96]
[67] Anis Malik Thoha, Wacana Kebenaran agama… hal. 10
[68] Muhammad Legenhausen, Satu Agama… hal. 95
[69] Terdapat catatan menarik bahwa, terminology pluralisme di Barat dewasa ini telah mengalami perubahan yang sangat fundamental sehingga menjadi sama dan sebangun dengan demokrasi yaitu sebuah penegasan tentang kebebasan, toleransi, persamaan (equality) dan koeksistensi. Namun fakta menyatakan bahwa wacana yang ‘indah’ sedemikian rupa telah menjelma dalam dunia praksis menjadi sesuatu yang antagonis; intoleransi, memberangus karakter dan HAM/kelompok lain. Sebab menurut Prof. Muhammad ‘Imarah, Barat telah memaksa kelompok lain untuk mengikutinya secara kultur maupun pemikiran…dan untuk melepaskan sejarah, kultur dan referensi keagamaan serta intelektual mereka masing-masing. Dengan ungakapan lain bahwa, Barat tidak ingin to let the other to be really other.Ketimpangan semacam ini kemudian menggugah sebagian intelektual Barat sendiri untuk mengkritisi agarpluralisme tidak tunduk terhadap interpretasi tunggal yang dirancang-bangun oleh Barat sendiri. (Lihat Anis Malik Thoha, Wacana Kebenaran agama… hal. 14)
[70] Anis Malik Thoha, Ittijâhât al-Ta’addudiyat al-Diniyah… hal. 123-124
[71]Adnan Aslan, seorang peneliti Pluralisme Agama, menjelaskan demikian:”Pandangan Hick tentang teologi global berakar mendalam pada persepsinya tentang perkembangan histories agama Kristen. Hick percaya bahwa agama Kristen selalu merespon tuntutan zaman secara positif, yang berkembang sejalan dengan budaya tempat agama itu tumbuh; agama bukanlah suatu entitas tunggal yang statis dan pasti, tetapi suatu proses dinamis pengalaman keagamaan yang difokuskan dalam satu system doctrinal. Asumsi seperti itu, yang merupakan hasil dari pengalaman Hick akan agama Kristen, telah mendorongnya percaya bahwa setiap agama dapat merespon globalisasi kurang lebih seperti Kristen. Karena itu, Hick percaya bahwa respon Islam terhadap globalisasi pada dasarnya harus sama dengan respon Kristen. Akan tetapi, tanda-tanda yang dapat kita kumpulkan dari perkembangan cultural dalam Islam kontemporer menunjukkan kebalikannya. Jika teori pluralisme agama menjadi salah satu hasil dari proses globalisasi, Islam akan merespon dengan caranya sendiri dengan menciptakan bentuk ‘pluralisme yang dapat diadaptasinya.” (Adnan Aslan, Menyingkap Kebenaran: Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen, Seyyed Hossein Nasr-John Hick [Bandung: Alifya, 2004], Cet. I, hal. 150-151).
[72] Muhammad Legenhausen, Satu Agama… hal. 19
[73] Majelis Pendidikan Kader, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah (Yogyakarta : SM, 2010), Cet. II, hal. 17-18
[74] Majelis Pendidikan Kader, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah: Ideologi, Khittah, dan Langkah (Yogyakarta : SM, 2010), Cet. II, hal. 17-18
[75] Manhaj Gerakan Muhammadiyah: ..hal. 18. Lihat pula, Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah,Himpunan Putusan Tarjih (Yogyakarta : PP Muhammadiyah, tt), hal. 276
[76] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2001), hal. 9-11
[77]  Manhaj Gerakan Muhammadiyah…hal. 51-53
[78] Haedar Nashir, Ideologi Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2001), Cet. Pertama, hal. 104
[79] Lihat, Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Munas VII Majelis Ulama Indonesia (Jakarta : MUI, 2005), hal. 58-66