Teologi Pluralisme Agama Dalam Timbangan Muhammadiyah ( Bagian 1)

H. Fathurrahman Kamal, Lc., MA
Dari sudut pandang ideologis dan keyakinan keagamaan, sebagai sebuah organisasi dakwah amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah sejatinya telah memiliki pijakan yang jelas dan terang benderang seputar permasalahan pluralitas sosial dan keagamaan. Tentunya dengan catatan, bahwa kita memiliki komitmen pada kebenaran serta tidak memaksakan kepentingan politik ataupun orientasi intelektual tertentu pada permasalahan ini. Karena jelas, isu-isu seputar kemajemukan sosial dan pluralitas keagamaan sesungguhnya telah selesai pada masa hidup Rasulullah SAW, baik pada periode Makkah maupun periode Madinah. Hal ini secara gamblang telah diakui oleh para sarjana baik muslim ataupun non muslim. Inilah ajaran Islam tentangtasamuh, toleransi dan hidup berdampingan secara koeksistensi dalam fakta masyarakat plural dan majemuk.
Berbeda sama sekali ketika diskursus pluralisme agama memaksakan kehendak untuk menembus batas-batas keimanan fundamental seseorang; apakah ia seorang pemeluk Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, apalagi seorang muslim. Dalam hemat penulis, justeru inilah titik yang sangat krusial, ketika pluralisme agama menetralisir wilayah keimanan seseorang yang paling dalam karena berorientasi kepada penyamaan iman, atau setidaknya mengambil sikap kompromis dalam urusan teologis. Di sinilah perlu kita sepakati apa yang dimaksud dengan pluralisme agama itu.
 Pada tanggal 6 Maret 2010 yang lalu, Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah DIY mengundang saya sebagai pembicara pada diskusi bedah buku yang ditulis oleh seorang tokoh pemikir muda produktif di Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Dalam tesis masternya di Australian National University Canberra, yang kemudian dibukukan dengan judul Para Pembela Islam Pertarungan Konservatif dan Progresif di Tubuh Muhammadiyah, ia menulis sebagai berikut :
“Kalangan progresif di Muhammadiyah meyakini bahwa di luar perbedaan yang terjadi di kalangan tradisi-tradisi agama dalam hal doktrin dan ritual keagamaan, semua agama pada dasarnya mengajarkan pesan yang sama kepada umat manusia. Al-Qur’an menggunakan istilah kalimah as-sawa’ untuk menggambarkan common flatforms yang mungkin ditemukan dalam berbagai tradisi agama yang berbeda-beda (Alu Imran:64). Pemikiran ini juga bisa ditemukan dalam konteks studi agama modern di mana agama seringkali dianalisis dalam terminologi general patterns dan particular patterns. Dalam teori Huston Smith, titik temu antara berbagai agama dunia ini disebut dengan “common vision” dan Fritchof Schoun menyebutnya sebagai “trancendent unity of religion.”[1]
Ketika berbicara di forum diskusi yang diadakan di aula Gedung PP Cikditiro tersebut, saya sampaikan kepada penulis buku, juga kepada audiens, bahwa jika pluralisme dimaknai sebagai sikap saling menghargai, koeksistensi antar pemeluk agama-agama dan ajaran toleransi, maka kita tidak perlu repot-repot membuang waktu untuk berdiskusi. Tapi, sejauh yang saya ikuti dan pelajari tentang diskursus pluralisme agama tidaklah sesederhana  itu. Pernyataan tertulis di atas,  sama sekali tidak berbeda dengan gagasan-gagasan pemikir pluralisme agama yang berorientasi pada penyamaan agama-agama dengan beragam ungkapan; kalimah as-sawa’ , common flatform, general patterns, common vision, dan lain-lain. Terlebih jika membaca kompilasi tulisan aktivis JIMM yang bertajuk “ Muhammadiyah Progresif; Manifesto Pemikiran Kaum Muda”, khususnya pada bagian V,  “Islam dan Pluralisme Agama : Membuka Tenda Besar Kaum Beriman”,(halaman 409-528), gagasan-gagasan yang dikemukakan umumnya berbasis pada teori-teori para pemikir dan teolog Kristen Liberal di Barat.
Meskipun beberapa sanggahan dan catatan kritis belum direspon dengan cukup memadai, saya tetap menyampaikan apresiasi setulusnya kepada penulis buku Para Pembela Islam, yang secara tulus telah menyatakan kepada audiens bahwa buku yang ditulisnya ini sebagai karya minor dan karenanya perlu disempurnakan lebih lanjut. Terlebih kritik yang disampaikan oleh panelis lainnya bahwa buku tersebut sangat tendensius membela pemikiran dan wacana liberalisasi Islam di tanah air yang telah dikembangkan terlebih dahulu oleh “senior” JIMM, Jaringan Islam Liberal.
Sampai saat ini, sejauh yang penulis ikuti melalui diskusi-diskusi di beberapa tempat, dan juga tulisan tokoh-tokoh kita, tampaknya batasan makna dan pengertian pluralisme agama masih simpang siur dan meninggalkan sejumlah masalah mendasar. Sebagai misal, dapat kita baca pernyataan dan tulisan dua tokoh besar Muhammadiyah. Dalam tulisannya bertajuk “Satu Iman 1001 Tafsir” (Republika, Selasa 23 Maret 2010, hal. 3) seorang tokoh menegaskan makna pluralisme sebagai doktrin yang berisi pengakuan terhadap kemajemukan sebagai sebuah fakta keras sejarah. Menurutnya, memaknai pluralisme sebagai ajaran menyatukan Agama-Agama dan semua agama sama saja adalah “tafsir liar” atas pluralisme Agama. Pada sisi lain, ternyata pendapat ini berbeda samasekali dengan pendapat seorang tokoh lain, yang tentunya sama-sama kita hormati. Dalam wawancaranya yang dimuat dalam Majalah Tabligh edisi no. 7/Th.VII/Maret 2010, halaman 39-43, secara tegas beliau menyatakan bahwa tafsir pluralisme agama yang berkembang saat ini telah “kebablasan” (karena mencampur adukkan dan menyamakan agama-agama), padahal pluralisme sejatiya indah dan anggun. Toleransi dan kemajemukan telah lama diajarkan dalam Al-Qur’an; koeksistensi, “wishfull co existent among religion.”
Dari sinilah kemudian, penulis tertuntut dan berusaha mendudukkan diskursus pluralisme agama ini secara obyektif dan menyeluruh, tidak parsial, dalam perspektif Manhaj Muhammadiyah yang merupakan pandangan hidup Islami “al-tashawwur al-Islami” atau visi keIslaman yang tersistematisasi sebagai sebuah sistem keyakinan, pemikiran, tindakan dan cita-cita hidup Persyarikatan Muhammadiyah yang kita cintai ini. Penulis berharap tulisan ini dapat memberi pencerahan dan pemahaman yang baik, sehingga, baik pimpinan maupun warga Persyarikatan mengetahui duduk permasalahan seputar pluralisme agama dalam timbangan paham agama menurut Muhammadiyah.
Pengertian Pluralisme Agama
Dalam wacana dan kajian-kajian ilmiah tentang pluralisme agama terdapat dua kata yang seringkali diungkapkan oleh para ahli dan terkesan tumpang tindih; pluralitas dan pluralisme. Secara etimologis, kedua kata tersebut berasal dari kata dasar ‘plural’ dan masing-masing merupakan terjemahan dari dua kata dalam bahasa Inggris ‘plurality’ dan ‘pluralism’. Kata ‘plurality’ (pluralitas) dalam kamus berarti “kondisi majemuk atau berbilang”.  Sedangkan kata ‘pluralism’ (pluralisme) dalam Oxford Dictionary  bermakna ganda; (a) the existence in one society of a number of groups that belong to different races or have different political or religious beliefs (keberadaan kelompok-kelompok yang berbeda dari segi etnis, politik dan keyakinan agama dalam suatu masyarakat) dan (b) the principle that these different groups can live together in peace in one society (suatu prinsip atau pandangan yang manyatakan bahwa kelompok-kelompok yang berbeda tersebut dapat hidup dengan damai dalam suatu masyarakat).[2]
Jika dilihat dari makna asal (etimologis) kedua kata ‘pluralitas’ dan ‘pluralisme’ tampak tidak terdapat permasalahan perbedaan mendasar. Kedua kata ini merujuk kepada sesuatu yang menyatakan dan mengakui adanya realitas kemajemukan dan keragaman unsur  masyarakat yang hidup berdampingan dengan damai. Tidak berbeda dengan makna pluralisme yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (‘keadaan masyarakat yang majemuk dari sisi sistem sosial dan politiknya’).[3] Tetapi jika dihubungkan dengan kata ‘agama’, lalu menjadi ‘pluralitas agama’ dan ‘pluralisme agama’ maka kedua kata tersebut membentuk konsep yang masing-masing memiliki aksentuasi dan referensi makna yang berbeda.
Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat menjelaskan ‘pluralisme’ sebagai pandangan yang berupaya membenarkan keberagaman filsafat, dengan menegaskan bahwa semua kebenaran bersifat relatif, dan menganggap semua keyakinan filosofis dan religius dalam pengertian relativisme murni, sebagai pendapat-pendapat pribadi yang semuanya mempunyai nilai yang sama.[4]
Tim penulis Tafsir Tematik Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah mencatat bahwa pluralisme, dalam kajian teologi, sedikitnya mempunyai tiga makna terminologis; Pertama, kata ‘pluralisme’ dimaksudkan kenyataan bahwa umat beragama itu majemuk. Dalam hal ini pluralisme agama berarti actual plurality atau kebhinekaan seperti pluralisme masyarakat Indonesia, yang berarti di dalam masyarakat Indonesia dikenal banyak agama; Kedua, Pluralisme mengandung konotasi politik sehingga maknanya sinonim dengan sekularisme yang berarti: (a) memisahkan agama dari urusan publik dan sekaligus anti agama, dan (b) negara tidak mengindentifikasi diri kepada agama tertentu, tetapi negara menghormati dan memberikan kesempatan yang sama untuk berkembang; Ketiga, pluralisme merujuk kepada suatu teori agama yang, pada prinsipnya, menyatakan bahwa semua agama pada akhirnya menuju kepada satu kebenaran yang sama.[5]
Wacana pluralisme agama yang semarak dikembangkan di kalangan umat Islam Indonesia, umumnya merujuk kepada gagasan  common flatform (kalimatun sawa’) yang bermuara pada pemikiran seorang tokoh kuncinya Frithjof Schuon[6] dalam teorinya tentang The Transcendent Unity of Religions (kesatuan transendental Agama-agama). Schoun dikenal sebagai seorang tokoh terkemuka dalam filsafat abadi dan metafisika tradisional. Pemikirannya dipuja dan diikuti oleh para intelektual bertaraf internasional dan lintas agama. Dalam karyanya yang mencapai 20 buku lebih ia kembali menegaskan prinsip-prinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensi-dimensi esoteris agama, menembus bentuk-bentuk mitologis dan agama serta mengkritik modernitas. Schoun mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris  dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik semua agama-agama ortodoks. Ia mengungkap konsep Satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Ia menyeru manusia agar dekat kepada-Nya.[7]
Huston Smith[8], dalam “kata pengantar”nya pada buku yang ditulis oleh Schoun, “The Trancendent Unity of Religions” memvisualisasikan gagasan kesatuan transenden agama-agama sebagai berikut :
Gagasan inilah yang kemudaian dielaborasi lebih lanjut oleh tokoh pemikir muslim terkemuka di tanah air, Prof. Dr. Nurcholish Madjid dengan terma-terma yang tentunya lebih “qur’ani” karena banyak mencari pembenaran dengan ayat-ayat meskipun dilakukannya secara pragmentatif, diluar konteks bahkan sampai reduksi. Cak Nur merumuskan tesisnya tentang kesatuan agama-agama terdapat  pada tingkatan tertinggi yakni “sikap pasrah” (islam dalam maknanya yang generic). “Islam” (pasrah kepada Tuhan) menurutnya, menjadi titik pertemuan antara agama-agama, khususnya Islam, Yahudi dan Nasrani. Penulis ilustrasikan sebagai berikut :
Berdasarkan pada keyakinan bahwa agama-agama tersebut berasal dari sumber yang satu, dan semua Nabi dan Rasul membawa ajaran yang sama, yaitu Islam (pasrah kepada Tuhan) maka, semua umat pengikut mereka adalah umat yang satu, tunggal. Konsep kesatuan dasar ajaran, menurut Cak Nur membawa kepada kesatuan umat beriman. Jika diteliti dengan seksama gagasan Cak Nur persis sama dengan kesimpulan seorang teolog liberal Proffesor John Hick berikut ini:
            “…the term refers to a particular theory of the relation between these traditions, with their different and competeting claims. This is the theory that the great world religions constitute variant conceptions and perceptions of, and responses to the one ultimate, mysterious divine reality.”[9]
(…terminologi [Pluralisme Agama] ini mengacu kepada sebuah teori khusus tentang hubungan antara berbagai agama dengan klaim-klaim [kebenaran]nya yang berbeda-beda dan kompetitif. Teori ini mengatakan bahwa agama-agama besar dunia merupakan konsepsi dan persepsi yang berbeda tentang, dan respon yang bervariasi terhadap realitas Ketuhanan yang sama, yang Terakhir dan Misterius.”)
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa, klaim kebenaran pluralis ini ingin menegaskan bahwa semua agama, yang teistik maupun    yang non-teistik dapat dianggap sebagai “ruang-ruang” soteriologis (soteriological spaces) atau “jalan-jalan” soteriologis (soteriological ways) yang padanya manusia bisa mendapatkan keselamatan/ kebebasan dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam terhadap Hakekat ketuhanan (The Real) yang sama dan transenden.[10]
Pendek kata, secara akademik, “pluralitas agama” menunjuk kepada “pengakuan” terhadap realitas dan eksistensi kemajemukan keyakinan keagaman yang terdapat dalam suatu masyarakat ataupun negara tanpa harus memaksakan adanya sikap “membenarkan” semua sistem keyakinan tersebut. Dalam hal ini berlaku ajaran “toleransi” (tasâmuh) dan “tidak memaksakan agama” (‘adam al-ikrâh). Berbeda dengan konsep “pluralisme agama” yang berorientasi kepada sikap “membenarkan” dan “menyatukan” semua perbedaan dan kemajemukan agama-agama sampai pada wilayah yang sangat fundamental atau esoteris (konsep Tuhan) dalam keyakinan beragama.
Latar Belakang Sejarah Pluralisme Agama
Dari perspektif sejarah, pluralisme agama merupakan bagian tak terpisahkan dari spektrum sejarah lokal-geografis, politik, kultur serta sosio-religius termasuk dinamika pemikiran Eropa pada fase pencerahannya (enlightment period) di abad ke-18 M. Masa ini menjadi titik tolak perubahan fundamental dalam sejarah pemikiran manusia secara global. Ditandai dengan dominasi dan pemujaan terhadap akal pikiran manusia, serta berlepas diri dari berbagai belenggu dogma keagamaan (Gereja) kecuali yang selaras dengan akal dan pikiran tersebut ataupun yang dapat dibuktikan secara eksperimental (scientific). Fakta sejarah tersebut merupakan konsekuensi logis dan titik puncak kulminasi dari ‘perseteruan’ antara gereja Kristiani yang begitu otoriter dan absolut dengan tantangan-tantangan kehidupan faktual (terutama dalam perkembangan ilmu dan pengetahuan yang begitu pesat) yang sedang dihadapi bangsa Eropa, yang akhirnya melahirkan “liberalisme”, sebuah aliran baru dalam wacana sosial yang menyerukan kebebasan, toleransi, persamaan dan pluralisme.
Proses liberalisasi sosial politik di Barat telah melahirkan suatu tatanan yang pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”, maka liberalisasi agama yang dimaksudkan untuk mem-fasilitasinya harus bermuara pada suatu tatanan sosial yang menempatkan agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benar dan sama relatifnya, atau yang lebih dikenal sebagai ‘pluralisme agama’. Oleh karena itu tidaklah asing jika pluralisme agama muncul dalam kemasan pluralisme politik yang tidak lain adalah produk dari liberalisme politik itu sendiri.[11] Pada tataran ini tidaklah berlebihan jika wacana pluralisme agama yang diusung oleh para penganjurnya lebih bersifat sebagai gerakan politik daripada gerakan agama.
Tidak berbeda dengan penjelasan diatas, Legenhausen dalam bukunya Islam and Religious Pluralismmenegaskan bahwa, berkembangnya liberalisme politik pada abad ke-18 di Eropa umumnya disulut oleh penolakan terhadap intoleransi beragama yang ditunjukkan melalui perang-perang sektarian pada periode Reformasi. Dengan mengetahui historical background lahirnya “liberalisme” tersebut dapat dipahami bahwa “pluralisme agama” merupakan upaya pemberian suatu landasan bagi teologi Kristiani agar toleran terhadap agama non-Kristen.[12] Pada tataran ini pluralisme agama diidentifikasi sebagai gerakan internal Gereja  untuk melakukan reformasi dalam doktrin dan ajaran agama Kristen pada abad ke-19 yang kemudian populer sebagai “Protestanisme Liberal” yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834).[13] Meskipun ia sendiri membela superioritas Kristen di atas agama-agama lain, namun Schleiermacher menganggap bahwa agama itu secara esensi bersifat personal dan privat. Ia juga menyatakan bahwa esensi dari agama terletak pada jiwa manusia yang melebur dalam perasaan dekat dengan Yang Tak Terbatas, bukan pada system-sistem doktrin keagamaan, tidak juga pada penampakan-penampakan lahiriah semata. Pemikiran-pemikiran Schleiermacher tampak kemudian sangat berpengaruh pada penggagas pluralisme religius kontemporer, John Hick.[14]
Memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme telah semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi Barat. Beberapa tokoh terkemuka yang menyokong gagasan-gagasan ini secara lebih serius dan sistematis adalah;  Ernst Troelsch (1865-1923), seorang teolog Protestan Liberal, dalam makalah “The Place of Christianity among the World Religions” yang disampaikan dalam sebuah kuliah di Oxford University menjelang wafatnya tahun 1923 menyatakan bahwa, semua agama termasuk Kristen selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agamapun yang memiliki kebenaran mutlak dan konsep ketuhanan itu adalah beragam, tidak tunggal; William E. Hocking dalam bukunya “Re-thinking Mission” (1932) kemudian “Living Religions and a World Faith” memprediksi munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan aliran pemerintahan global; dan sejarawan Inggris ternama Arnold Toynbee (1889-1975) dalam bukunya yang dipublikasi pada tahun 1956 “ An Historian’s Approach to Religion” dan karya terakhirnya “Christianity and World Religions” (1957) juga dengan jelas mengusung gagasan-gagasan yang sama dengan Ernst Troelsch tentang pluralisme agama. Periode ini berikut seluruh karya dan gagasan yang telah dirumuskan oleh para pemikir pluralisme agama diatas dapat dikategorikan sebagai fase ‘permentasi’ dan pembentukan wacana.
Fase berikutnya adalah ketika gagasan-gagasan tersebut mengalami perkembangan yang cukup sempurna dalam pemikiran seorang teolog dan sejarawan Kanada Wilfred Cantwell Smith. Dalam bukunya yang ditulis pada tahun 1981 dengan judul “Towards A World Theology”, ia menegaskan perlunya menciptakan sebuah konsep teologi universal/global yang bisa dijadikan pijakan bersama (common ground) bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis (al-ta’ayusy al-silmy). Tampak karyanya ini menjadi sebuah resume dan konklusi dari rentetan penelitian dan pergumulan pemikirannya tentang pluralisme agama dalam karya-karya intelektual sebelumnya yaitu “The Meaning and End of Religion” (1962) dan “Questions of Religious Truth” (1967).[15]
Pada dua dekade terakhir abad ke-20 pluralisme agama telah mencapai masa kematangannya dan menjadi sebuah diskursus pemikiran tersendiri pada tataran teologi dan filsafat agama modern. Kehidupan antar umat beragama dewasa ini, dan khususnya di tanah air, tampak sebagai penjabaran atau juga ‘dampak’ dari gagasan pluralisme agama. Pada fase ini pluralisme agama, dalam kerangka teoritis telah berhasil dimatangkan dengan konsepsi yang lebih sempurna oleh John Hick, seorang teolog Presbiterian dan filosuf agama modern. Ia tampil dengan ketekunan yang luar biasa untuk menulis gagasan-gagasannya dalam karya intelektual yang tak kurang dari 30 buah, baik yang berbentuk buku maupun karangan lainnya. John Hick telah berhasil merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan popular yang melekat dengan namanya sendiri. Bukunya yang berjudul “An Interpretation of Religion : Human Responses to the Trancendent”yang berasal dari serial kuliahnya yaitu Gifford Lecture di Edinburg University pada tahun 1986-1987 merupakan inti utama dari gagasan-gagasannya sebelumnya.[16]
Berbeda dengan dunia dan diskursus pemikiran Islam umumnya, pluralisme agama (bukan “pluralitas”(realitas kemajemukan) sebagai sesuatu yang baru dan tidak memiliki akar ideologis ataupun teologis yang kuat. Wacana pluralisme agama yang marak saat ini tak lebih dari perspektif baru yang muncul sebagai akibat dari penetrasi cultural dan intelektual Barat Modern terhadap dunia Islam. Pendapat ini diperkuat oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam muncul terutama pasca perang dunia ke-2, ketika generasi muda muslim mendapatkan  kesempatan untuk menimba ilmu di universitas-universitas terkemuka di Barat. Disanalah mereka berinteraksi dengan wacana pluralisme agama dalam perspektif Barat sekaligus mentranslokasikannya ke negeri asal mereka.[17]
Di sisi lain tampak karya-karya pemikir mistik Barat seperti Rene Guenon[18] (kemudian masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schoun (juga memeluk Islam dan bernama Isa Nuruddin Ahmad) memberikan pengaruh yang significant terhadap tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama di dunia Islam. Namun, lebih dari itu, patut dicatat pemikiran tokoh Syi’ah moderat Seyyed Hossein Nasr, yang memberikan pijakan epistemology Islam terhadap gagasan pluralisme agama dalam tesisnya “al-hikmah al-khalidah” (Sophia perennis/perennial philosophy). Nasr mencoba menggagas sebuah wacana menghidupkan kembali “kesatuan metafisikal” (metaphisycal unity) yang tersembunyi dibalik ajaran-ajaran dan tradisi-tradisi keagamaan yang pernah dikenal manusia sejak Nabi Adam ‘alaihissalam hingga masa kini. Dalam pandangannya bahwa, memeluk atau meyakini satu agama dan melaksanakan ajaran-ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sungguh, berarti juga telah memeluk seluruh agama karena semuanya berporos kepada ‘satu kebenaran hakiki’. Perbedaan hanya pada tataran eksoterik (dhahir), sementara dimensi esoterisnya (bathin) sama.[19] Ide ini kemudian dielaborasi oleh Nurcholish Madjid dengan mereduksi penjelasan Ibu Taymiyah tentang ”Islam umum” dan ”Islam khusus”.[20]
Teori Hubungan Agama-Agama Dalam Kemajemukan
Paparan historical background terbaca di atas menggambarkan secara jelas bahwa wacana pluralisme agama (pluralitas sebagai “isme”) memiliki pijakan yang sangat kuat dan tak dapat dipisahkan dari problema teologi Kristen di Barat.[21] Dari sinilah kemudian lahirnya berbagai rumusan dan teori dikemukakan oleh para ahli dalam bidang ini untuk memetakan dan menjelaskan secara argumentatif aneka ragam sikap umat beragama -khususnya umat Kristiani terhadap realitas kemajemukan dan pluralitas Agama-Agama di dunia.
John Hick, seorang tokoh terpenting religious pluralism merumuskan lima model pluralisme agama; (1) Pluralisme Religius Normatif (Normative Religious Pluralism) yaitu, terdapat imbauan dan kewajiban moral dan etis untuk menghargai para pemeluk agama yang berbeda-beda, terutama ditujukan untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan sikap umat kristiani terhadap kalangan pemeluk agama non-Kristen; (2) Pluralisme Religius Soteriologis[22] (Soteriological Religious Pluralism) yaitu, ajaran umat non-Kristen juga bisa memperolah keselamatan Kristiani. Model ini diketengahkan oleh Hick untuk mengefektifkan pluralisme-normatif secara psikologis; (3) Pluralisme Religius Epistemologis (Epistemological Religiuos Pluralism) yaitu, klaim bahwa umat Kristen tidak memiliki pembenaran (justification) yang lebih mantap atas keimanan mereka dibandingkan dengan penganut agama lain. Atau dapat pula didefinisikan sebagai klaim bahwa para pengikut agama-agama besar di dunia memiliki kedudukan yang sama dalam kontek justifikasi keyakinan religius yang menurut Hick dapat ditemukan pada religious experience.
Berikutnya, (4) Pluralisme Religius Aletis (Alethic Religious Pluralism) yaitu, kebenaran religius harus ditemukan dalam agama-agama selain Kristen dengan derajat yang sama. Meskipun ada fakta dan konsep yang kontradiktif diantara agama-agama tersebut mengenai Relitas, halal dan haram, jalan keselamatan, sejarah dan sifat manusia. Dalam pandangan pluralisme aletis, semua itu menjadi benar jika ditinjau dari dunianya masing-masing; (5) Pluralisme Religius Deontis[23] (Deontic Religious Pluralism) yaitu, pelaksanaan dan dipenuhinya kehendak Tuhan atau perintah-perintah Ilahiyah tidak harus dengan mengimani keimanan Kristen. Karena memang, dalam pandangan pluralisme ini, pada beberapa daur sejarah tertentu (diachronic), Tuhan memberikan wahyu untuk umat manusia melalui seorang nabi dan Rasul. Namun menurut Legenhausen, seorang peneliti tentang pemikiran pluralisme agama ala John Hick, ia tidak menjelaskan rumusan terakhir ini secara terperinci.[24]
Merujuk kepada pendapat-pendapat ahli dalam bidang ini semacam Hendrik Kraemer (“Christian Attiude toward Non-Christian Religions”), Karl  Rahner (“Christianity and the Non-Christian Religions”) dan John Hick (God and the Universe of Faith), Budhy Munawar-Rachman – seorang pluralis muslim Indonesia- mencatat tiga sikap dalam teologi agama-agama; (1) Sikap eksklusif. Pandangan ini menyatakan Yesus adalah satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan. “Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak seorangpun yang datang ke Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6). Juga ada ungkapan,” Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab dibawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” [Kisah Para Rasul 4, 12]. Sehingga istilah No Other Name, menjadi symbol tentang tidak ada jalan keselamatan di luar Yesus Kristus. Pandangan ini telah popular sejak abad pertama dalam lintasan sejarah Gereja, yang kemudian mendapat perumusan seperti extra ecclessiam nulla salus dan extra ecclessiam nullus propheta; (2) Sikap inklusif.  Paradigma ini membedakan antara kehadiran penyelamatan (the salvific presence) dan aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan penyelamatan dan aktivitas Tuhan sepenuhnya dalam Yesus Kristus. Atau dalam ungkapan yang lbih teknis “menjadi inklusif berarti percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani mengacu kepada kristus”. Pandangan ini kemudian mendapatkan justifikasinya pada dokumen Konsili Vatikan II tahun 1965. Dokumen ini terdapat pada “Deklarasi tentang Hubungan Gereja dan Agama-agama Non-Kristiani” (Nostra Aetate). Teolog terkemuka dalam gagasan ini adalah Karl Rahner[25] yang kemudian memunculkan wacana dan istilah the Anonymous Christian (Kristen anonim) artinya bahwa, orang-orang Kristen anonim (non-Kristiani) akan mendapatkn keselamatan sejauh mereka hidup dalam ketulusan terhadap Tuhan, karena karya tuhanpun ada pada mereka; dan (3) Sikap paralelisme. Paradigma ini percaya bahwa setiap agama (agama-agama di luar Kristen) mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim bahwa Kristianitas adalah satu-satunya jalan (eksklusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain (inklusif) haruslah ditolak, demi alas an-alasan teologis dan fenomenologis. Tokoh terkemuka wacana ini adalah John Harwood Hick dalam karyanya God and Universe of Faith (1973).[26]
Raimundo Panikkar[27] seorang ahli dalam bidang ini merumuskan empat model respon komunitas beragama terhadap agama-agama lain; pertama eksklusifisme yaitu, pandangan dan sikap yang mengklaim kebenaran dan keselamatan hanya ada pada agama yang dianutnya dan tidak pada agama orang lain. Tuntutan kebenaran yang dipeluknya mempunyai ikatan langsung dengan tuntutan ekslusivitas. Artinya, kalau suatu pernyataan dinayatakan benar, maka pernyataan lain yang bertentangan tidak bisa benar. Panikkar memberikan catatan bahwa, sikap dan pandangan model ini memang memiliki dan mengandung unsur kepahlawanan tertentu, dimana seorang ekslusif (sedang) mensucikan hidupnya dan membaktikan seluruh eksistensinya untuk sebuah kebenaran universal, bahkan absolut. Pada sisi lain sikap ini menimbulkan beberapa kesukaran, diantaranya; (a) adanya sikap intolerasni, kesombongan dan penghinaan terhadap kelompok dan agama lain; (b) sikap ini mengandung kelemahan intrinsik karena, mengandaikan konsepsi kebenaran yang seolah logis secara murni dan sikap yang tidak kritis terhadap kenaifan epistemologis.
Kedua, inklusifisme yaitu, pandangan dan sikap yang mengklaim bahwa agama yang dianutnya memiliki kebenaran dan keselamatan yang lebih sempurna dibanding dengan agama lain; artinya bahwa terdapat pengakuan akan adanya kebenaran dan keselamatan pada agama orang lain. Sikap inklusif cenderung melakukan re-interpretasi terhadap sisitem ajaran yang telah mapan, sehingga menjadi relevan dan dapat diterima. Teologi ini menyatakan bahwa  suatu kebenaran doktrinal tidak dapat diterima sebagai sesuatu yang universal jika ia tetap mempertahankan isinya yang spesifik. Sikap ini memuat kualitas keluhuran budi dan kemuliaan tertentu. Namun demikian, terdapat beberapa kekurangan yang patut dicatat; (a) dapat menimbulkan kesombongan karena seorang yang inklusif-lah yang mempunyai privelese (hak istimewa) atas penglihatan yang mencakup dan sikap toleransi; (b) sikap ini mengandung kesulitan-kesulitan intrinsik dari konsepsi kebenaran yang hampir-hampir tidak logis dan suatu kontradiksi yang melekat padanya ketika diuraikan dalam teori dan praksis
 Ketiga, paralelisme yaitu pandangan dan sikap yang menganggap bahwa semua kepercayaan yangberbeda-beda, meskipun berliku-liku dan bersimpangan, sesungguhnya mempunyai kesejajaran untuk bertemu pada masa akhir penziarahan manusia (eschaton). Beberapa implikasi positif dari pandangan ini adalah, menghormati orang lain dan lebih toleran, tidak menghakimi serta terhindar dari sinkretisme dan ekletisisme yang membuat agama mengikuti selera pribadi serta menjaga batas-batas setiap agama dan tradisi. Namun demikian ia tidak lepas dari beberapa problem dan kesulitan, diantaranya; (a) sikap ini berlawanan dengan pengalaman historis bahwa tradisi-tradisi keagamaan tidak bebas dari intervensi; (b) menimbulkan sikap merasa telah sempurna dengan berbagai unsur yang dibutuhkan dan menyangkal keterbukaan untuk saling belajar. Ada kesan bahwa pengalaman seluruh manusia telah terkristalkan pada diri masing-masing pihak; Ketiga, sikap ini memecah keluarga manusia dalam sekat-sekat yang rapat terpisah dan memandang setiap bentuk setiap pertobatan atau mutasi agama sebagai sebuah pengkhianatan.
Panikkar tampaknya tidak cukup puas dengan ketiga teori relasi antar-umat beragama tersebut diatas. Ia memandang perlunya pluralisme. Pluralisme yang ia maksud adalah yang mencitakan terciptanya dialog dan komunikasi intra-agama untuk menjembatani jurang ketidaktahuan dan kesalahpahaman timbal balik antara budaya dunia yang berbeda-beda dan masing-masing memberikan pandangannya dalam bahasanya sendiri. Pluralisme ini tidak bertujuan untuk saling mengalahkan dan tidak pula untuk memaksakan suatu kesepakatan akan adanya suatu agama universal.[28]
Rumusan lainnya tentang respon umat beragama didalam merespon realitas kemajemukan agama-agama disampaikan oleh Terrence W. Tilley.[29] Ia merumuskan empat model teori. Dari hasil penelitianya, Tilley menyatakan bahwa, semula teori-teori dasar ini dilontarkan oleh para sarjana agama untuk menjelaskan sikap dan pandangan umat Kristiani tentang keselamatan dan kebenaran terhadap No Other Name:pertama, eksklusifisme (tidak berbeda dengan rumusan Panikkar.); kedua, inklusifisme (tidak berbeda dengan rumusan Panikkar); dan ketiga, Pluralisme, menurut Tilley merupakan pandangan dan sikap yang mengklaim bahwa terdapat banyak jalan menuju Yang Satu, yang menunjukkan diri-Nya dengan sangat banyak cara, sehingga setiap orang hendaknya menuruti jalannya masing-masing sebaik mungkin agar selamat; tidak ada yang tahu pasti jalan mana yang terbaik menuju Dia, meskipun juga tidak salah mengatakan bahwa jalan yang telah dipilih adalah yang terbaik yang bisa dan semestinya diikutinya. Tilley mengidentifikasi pluralisme menjadi dua bentuk; (1) Pluralisme Reduktif (redukctive pluralism) yaitu, klaim bahwa seluruh agama pada akhirnya sesungguhnya mengatakan hal yang sama; disebut kebenaran dasar dan tersembunyi, dan (2) Pluralisme Fenomena (phenomenal pluralism) yaitu, klaim bahwa agama-agama pada akhirnya menuju kepada realitas transenden dan ghaib (the noumenal and transcendent reality) namun mewujudkan dirinya melalui cara-cara yang berbeda-beda; dan keempat, Partikularisme yaitu pandangan dan sikap yang menganggap setiap agama memiliki substansi yang berbeda-beda dan cenderung mendukung klaim-klaim teologis yang santun. Kaum partikularis memandang bahwa memastikan siapakah yang benar dan selamat merupakan tindakan lancang karena mengklaim mengetahui bagaimana Tuhan pada akhirnya mengatur segala sesuatu.
Ninian Smart[30] memetakan sikap dan respon umat beragama terhadap relitas kemajemukan agama-agama menjadi lima kategori; pertama, Eksklusifisme Absolut, merupakan pandangan umum yang terdapat dalam banyak agama, yang secara sederhana melihat kebenaran hanya dalam tradisi agama sendiri dan agama lain dianggap salah; kedua, Relativisme Absolut berpandangan bahwa berbagai system kepercayaan agama tidak dapat dibandingkan satu sama lainnya karena, seseorang harus menjadi in-sider jika ingin memahami kebenaran masing-masing agama; ketiga, Inklusifisme Hegemonikadalah, mencoba melihat ada kebenaran yang terdapat dalam agama lain, namun menyatakan prioritas terhadap agama sendiri; keempat, Pluralisme Realistik yaitu pandangan bahwa semua agama merupakan jalan yang berbeda-beda, atau merupakan berbagai versi dari satu kebenaran yang sama (John Hick); kelima, Pluralisme Regulatif, merupakan paham bahwa sementara berbagai agama memiliki nilai-nilai dan kepercayaan masing-masing, mereka mengalami suatu evolusi historis dan perkembangan ke arah suatu kebenaran bersama, hanya saja kebenaran tersebut belum terdefinisikan.
Merujuk kepada Kosuke Koyama[31], Biyanto, dalam disertasinya Pluralisme Agama Dalam Perdebatan; Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah, mengutarakan dua tipologi dalam pluralisme agama; pertama, pluralisme ekstrem (hard pluralism) yang berpaandangan bahwa hakekat kebenaran tidak hanya satu, melainkan banyak; dan kedua, pluralisme moderat (soft pluralism) yang berpandangan hanya satu hakekat kebenaran yang muncul dalam banyak bentuk. Pandangan ini sepadan dengan gagasan Allah yarhamuh Prof. Kuntowijoyo tentang pluralisme negatif dan pluralisme positif.[32]
A Mukti Ali[33], seorang ahli perbandingan agama terkemuka, meskipun secara tidak tegas menyatakan gagasannya sebagai teori pluralisme agama, namun ia menjelaskan lima ‘jalan’ yang dapat ditempuh oleh umat beragama untuk mewujudkan kedamaian dan kerukunan dalam realitas yang majemuk dan pluralistik. Pandangan ini lebih mengesankan sikap intern umat Islam dalam mebangun kehidupan koeksisten dengan pemeluk agama-agama lain. Beliau menjelaskan sebagai berikut; pertama,Sinkretisme. Paham ini berkeyakinan bahwa pada dasarnya semua agama itu adalah sama. Sinkretisme berpendapat bahwa semua tindak laku harus dilihat sebagai wujud dan manifestasi  dari Keberadaan Asli (zat), sebagai pancaran dari Terang Asli yang Satu dan sebagai ombak dari samudera yang Satu. Aliran ini disebut pula Pantheisme, Pan-komisme, Universalisme atau Theo-panisme. Tokoh terkenlnya adalah S. Radhakrishnan, seorang ahli pikir India. Jalan ini tidak dapat diterima sebab dalam ajaran Islam, misalnya, Khaliq (sang Pencipta) adalah samasekali berbeda dengan makhluq (yang diciptakan). Dengan demikian menjadi jelas siapa yang disembah dan untuk siapa seseorang berbakti dan mengabdi.
Kedua, Rekonsepsi (reconception). Pandangan ini menawarkan pemikiran bahwa orang harus menyelami secara mendalam dan meninjau kembali ajaran-ajaran agamanya sendiri dalam rangka konfrontasinya dengan agama-agama lain. Tokohnya yang terkenal adalah W.E Hocking, yang berpendapat bahwa semua agama sama saja. Obsesinya adalah bagaimana sebenarnya hubungan antara agama-aama yang terdapat di dunia ini, dan bagaimana dengan cara rekonsepsi tersebut dapat terpenuhi  rasa kebutuhan akan satu agama dunia. Cara kedua ini tidak dapat diterima karena jalan rekonsepsi ini memposisikan agama sebagai produk pemikiran manusia. Padahal agama secara fundamental diyakini sebagai wahyu Tuhan; ketiga, Sintesis. Yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari agama lain. Dengan cara ini, tiap-tiap pemeluk dari suatu agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah diambil dan dimasukkan ke dalam agama sintesis tersebut. Pendekatan ini tidak dapat diterima karena, setiap agama memiliki latar belakang histories masing-masing yang tidak mudah untuk diputuskan begitu saja. Dengan kata lain masing-masing agama telah terikat secara kental kepada nilai-nilai dan hukum-hukum sejarahnya sendiri.
Selanjutnya keempat, Penggantian. Pandangan ini menyatakan bahwa agama sendirilah yang benar sedang agama orang lain salah, seraya berupaya keras agar penmgikut agama-agama lain itu memeluk agamanya. Ia tidak rela melihat orang lain yang memeluk agama dan keyakinan selain dari agamanya sendiri. Pendekatan dan pandangan ini tidak dapat diterima karena sosok kehidupan masyarakat itu menurut kodratnya adalah bersifat pluralistik dan majemuk dalam kehidupan agama, etnis, tradisi, seni budaya dan cara hidup; dan terakhir, ‘Pendekatan ‘setuju dalam perbedaan’ (agree in disagree). Gagasan ini menekankan bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik. Meskipun demikian ia mengakui, diantara agama yang satu dengan agama-agama lainnya selain terdapat perbedaan juga terdapat persamaan. Pendekatan ini cukup ideal karena akan melahirkan sikap toleransi dan saling menghormati.
Demikianlah beberapa teori dan gagasan tentang pluralisme agama dan hubungan antar umat beragama yang disampaikan oleh para ahli. Terlepas dari setting dan akar sejarah diskursus pluralisme yang sarat dengan nuansa dan muatan problematika kosepsi teologi Kristen-Barat yang telah penulis paparkan pada bagian terdahulu, penulis menyimpulkan bahwa berbagai rumusan tipologi respon umat beragama terhadap realitas kemajemukan agama-agama tersebut di atas, secara substansial dapat disederhanakan menjadi tiga kategori, yaitu; ‘eksklusifisme’ yang mengklaim kebenaran mutlak pada agama sendiri, ‘inklusifisme’ yang mengklaim kebenaran permanen ada pada agama sendiri dan pada saat bersamaan menyatakan pengakuan adanya kebenaran parsial pada agama lain, dan ‘pluralisme’ yang mencoba merumuskan adanya kebenaran pada semua agama karena masing-masing merupakan jalan-jalan yang berbeda menuju kepada kebenaran atau Tuhan yang sama. Berbeda dengan gagasan A. Mukti Ali yang lebih mencerminkan pemikiran solutif terhadap keberagaman dan kemajemukan agama-agama yang sangat elegan, rasional dan sekaligus proporsional karena menuntut adanya “kebesaran hati” setiap pemeluk agama.
Pluralisme Agama : Propaganda Intelektual Menyamakan Agama-Agama
Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda yaitu; paham yang dikenal dengan program Teologi Global (Global Theology) dan paham Kesatuan Transenden Agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kadua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik dan cenderung saling menyalahkan.[34]
Meskipun kedua model pemikiran tersebut muncul di Barat dan menjadi pusat perhatian mereka, namun kedua-duanya memiliki motif dan tawaran solusi yang berbeda. Aliran pertama (Global Theology) yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah tuntutan modernisasi dan globalisasi. Berangkat dari asumsi pentingnya agama di era globalisasi maka, hubungan agama dan globalisasi menjadi tema yang sangat penting dan sentral dalam kajian Sosiologi Agama. Dalam paham ini tampak agama diposisikan sebagai “ancaman” bagi program globalisasi. Dengan mind-sett seperti ini tidaklah asing jika kajian-kajian ilmiah, seminar tentang dialog antar-agama, global ethic, religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lainnya marak diseluruh dunia, termasuk di Indonesia.[35]
Aliran ini (Global Theology) menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis, kultur, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Pendekatan yang digunakan oleh aliran teologi ni terhadap agama-agama lain lebih bersifat sosiologis, kultural dan ideologis.[36] Kelompok ini meyakini bahwa semua agama sedang ber-evolusi, saling mendekat dan pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan-perbedaan antar yang satu dengan lainnya, dan kemudian melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi ini maka John Hick, salahsatu tokoh terpentingnya, memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang disebut global theology. Selain Hick, tokoh terpenting lainnya adalah  Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies[37]
Adapun aliran kedua yaitu, paham Kesatuan Transenden Agama-agama (Transcendent Unity of Religions) didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat. Berbeda dengan aliran pertama, para filosof dan teolog dalam aliran ini menolak modernisasi dan globalisasi yang cenderung menepikan agama dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama.
Solusi yang ditawarkan oleh aliran ini adalah pendekatan religious filosofis dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini, agama tidak dapat diubah begitu saja lalu mengikuti globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu sendiri. Agama tidak dapat dilihat hanya dari perspektif sosiologis ataupun histories dan tidak pula bisa dihilangkan identitasnya. Berikutnya kelompok ini memperkenalkan pendekatan tradisional  dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salahsatu konsep utamanya adalah Sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut oleh Seyyed Hossein Nasr sebagai al-Hikmah al-Khalidah. Diantara tokoh-tokoh terpentingnya; René Guénon (w. 1951), Titus Burkhardt (w. 1984), Martin Ling, Fritjhof Schoun (w. 1998), Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Henry Corbin, E.F. Schumacher, William C. Chittick dan lain-lain.[38]
Meskipun kedua aliran tersebut diatas tampak bertentangan namun catatan terpenting bagi penulis adalah kedua-duanya ‘mengalir’ ke muara yang sama yaitu, menyamakan agama sampai pada level yang paling fundamental (konsep tawhid). Dan inilah masalah yang sangat krusial dalam diskursus dan wacana pluralisme agama dalam perspektif Islam dan Agama-agama lainnya. Demikian pula dengan berbagai  trend pemikiran pluralisme agama yang bervariasi, namun para penganjur paluralisme agama secara umum sampai pada kesimpulan bahwa semua agama adalah sama. Tidak ada yang lebih baik atau benar antara yang satu dengan yang lainnya. Kesimpulan ini diungkapkan secara oleh Proffesor John Hick, yang dikenal sebagai sosok teolog modern yang memberikan perhatian sangat mendalam terhadap masalah pluralisme agama.[39] Ia menyatakan demikian:
            “…the term refers to a particular theory of the relation between these traditions, with their different and competeting claims. This is the theory that the great world religions constitute variant conceptions and perceptions of, and responses to the one ultimate, mysterious divine reality.”[40]
(…terminologi [Pluralisme Agama] ini mengacu kepada sebuah teori khusus tentang hubungan antara berbagai agama dengan klaim-klaim [kebenaran]nya yang berbeda-beda dan kompetitif. Teori ini mengatakan bahwa agama-agama besar dunia merupakan konsepsi dan persepsi yang berbeda tentang, dan respon yang bervariasi terhadap realitas Ketuhanan yang sama, yang Terakhir dan Misterius.”)
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa, klaim kebenaran pluralis ini ingin menegaskan bahwa semua agama, yang teistik maupun    yang non-teistik dapat dianggap sebagai “ruang-ruang” soteriologis (soteriological spaces) atau “jalan-jalan” soteriologis (soteriological ways) yang padanya manusia bisa mendapatkan keselamatan/ kebebasan dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam terhadap Hakekat ketuhanan (The Real) yang sama dan transenden.[41]
Tidak berbeda dengan doktrin pluralisme agama yang mengarah kepada ‘penyamaan’ agama-agama dan sistem keyakinan yang beragam terbaca pada gagasan dan pemikiran beberapa intelektual pluralis Indonesia. Budhy Munawar-Rachman (BMR), staf pegajar bidang filsafat dan ilmu agama-agama di Universitas Paramadina Mulya mengatakan;
“Sementara tafsir Islam pluralis adalah pengembangan secara lebih liberal dari islam inklusif. Banyak upaya dilakukan untuk mengembangkan paham islam pluralis ini. Misalnya perbedaan antara Islam dan Kristen (dan antaragama secara umum) diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman.” Menurut para Islam pluralis (misalnya Frithjof Schuon dan Sayyed  Hossein Nasr), setiap agama pada dasarnya distruktur oleh dua hal tersebut: perumusan iman dan pengalaman iman. Hanya saja setiap agama selalu menganggap yang satu mendahului yang kedua. Persis dalam pembedaan ini, sikap pluralis bisa diterima, karena misalnya antara agama Islam dan Kristen perbedaannya terletak dalam menaruh mana yang lebih penting antar kedua hal tersebut. Islam mendahulukan “perumusan iman” (dalam hal ini tawhid) dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sebaliknya agama Kristiani, mendahulukan “pengalaman iman” (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dalam sakranmen misa dan ekaristi), dan perumusan iman mengikuti pengalaman ini, dengan rumusan dogmatis mengenai trinitas. Perbedaan dalam struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama.”[42]
Pada bagian lain dari bukunya “Islam Pluralis”, BMR menegaskan bahwa pluralisme theology atau teologi pluralis adalah melihat agama-agama lain dibanding dengan agama sendiri dalam rumusan: “Other religions are equally valid ways to the same truth” [Agama-Agama lain adalah merupakan jalan yang sama benar menuju Kebenaran Yang Sama] (John Hick), “Other religions speak of different but equally valid truth” (John B. Cobb Jr.) atau “Each religion expresses an important part of the truth [Setiap agama mengekspresikan bagian penting dari kebenaran] (Raimundo Panikkar).[43] Lebih lanjut, BMR menjustifikasi pandangan-pandangannya dengan ayat Al-Qur’an;
“Ide toleransi dan pluralisme antaragama, sebenarnya akan membawa kita kepada paham ‘kesetaraan kaum beriman dihadapan Allah. Walaupun kita berbeda agama, tetapi iman dihadapan Allah adalah sama. Karena iman menyangkut penghayatan kita kepada Allah, yang jauh lebih mendalam dari segi-segi formal agama, yang menyangkut relgiusitas atau bahasa keilmuan sekarang spiritual intelligence. Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah pluralisme antaragama, adalah pandangan bahwa siapapun yang beriman –tanpa harus melihat agamanya apa- adalah sma dihadapan Allah. Karena Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu. Dari segi teologi Islam, harusnya ini tidak menjadi masalah. Al-Qur’an menegaskan bahwa keselamatan di hari akherat hanya tergantung kepada apakah seseorang itu percaya kepada Allah, percaya kepada hari akherat dan berbuat baik. Dan rupanya inti ajaran agama adalah mengenai ketiga hal tersebut. Ini dikemukakan Al-Qur’an dalam surah al-Baqarah dan surah Ma’idah (Q.S. 2:62[44] dan 5:69[45]).”[46]
Ulil Abshar Abdalla, aktivis NU dan mantan coordinator JIL, dalam tulisannya bertajuk “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam” yang dimuat pada koran Kompas, Senin, 18 Nopember 2002 menulis :
“…Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina ‘idal Lahil Islam (QS. 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai,”Sesungguhya jalan religiusitas yang benar ialah proses yang tak pernah selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).”
Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Maha Benar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, denga variasi tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam meghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pecinta jalan meuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya. Maka, fastabiqul khairat, kata Qur’an (QS. 2:148); berlomba-lombalah dalam menghayati jalan religiusitas itu.”[47]
Mengekspresikan kerisauannya tentang arah dan orientasi pendidikan Islam :”Apakah kesadaran atau penerimaan pada pluralisme keagamaan menjadi orientasi pendidikan tauhid, dan apakah pendidikan tauhid bersifat ekslusif atau inklusif?”, dalam bukunya Kesalehan Multikultural, Ber-Islam Secara Autentik-Kontekstual di Aras Peradaban Global yang diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah, Munir Mulkhan menuangkan gagasan pluralisnya sebagai berikut :