Penyelewengan Tafsir Pancasila

Judul        :  Pancasila, bukan
untuk menindas hak konstitusional umat Islam (Kesalahpahaman dan Penyalahpahaman
terhadap Pancasila 1945 – 2009)
Penulis     :  Dr. Adian Husaini
Pancasila diakui oleh bangsa Indonesia sebagai dasar negara. Sila-silanya
sempat dihafal mati oleh anak-anak sekolah. Bahkan ada hari yang dianggap dan
diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Seperti apakah Pancasila itu?
Lalu, bagaimana pemahaman dan tafsir yang valid atas sila-silanya?
Dr. Adian Husaini melakukan riset terbatas terhadap dokumen-dokumen sejarah
dan mengamati perkembangan perpolitikan di Indonesia, terkait isu Pancasila.
Riset yang diakuinya hanya 1 bulan ini dilakukan awalnya untuk merespon wacana
yang diangkat oleh media Kristen bernama Tabloid REFORMATA. [h.10]
Di tabloid tersebut beberapa kali diangkat tajuk tentang Syariat Islam vis a vis Pancasila. Seolah-olah mewakili pendapat umum kaum
Kristen, Tabloid itu menuding usaha penerapan Syariat Islam di beberapa lembaga
formal/legal adalah bertentangan dengan Pancasila dan akan memecah Persatuan
dan Kesatuan. Tentu saja pada akhirnya, para aktivis dan pejuang Syariat Islam
akan dilabeli sebagai Anti-Pancasila dan makar terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). [h.12-13]
Opini tersebut di atas ternyata terbukti bertentangan dengan pendapat para
pendiri bangsa. Dalam buku yang berjudul “Pancasila,
Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam” 
dipaparkan beberapa
kutipan pendapat BPUPKI dan Tim Sembilan yang menyusun rumusan Pancasila. Para
pejuang Islam pendiri NKRI bersepakat bahwa Pancasila adalah dasar dari negara
yang akan dibangun berdasarkan ajaran tauhid. Konsepsi ajaran ini 
tertuang dalam “tujuh kata” yang dikenal sebagai Piagam
Djakarta
.
Anehnya, seolah-olah kita lupa, kemudian umat Islam dianggap tidak
Pancasilais ketika hendak memperjuangan ‘hak konstitusional’ yang terbukti
secara historis. Selama beberapa dekade, Pancasila dijauhkan dari model
pemahaman para tokoh Islam perumus Pancasila. Melanjutkan upaya penjajah
Belanda untuk menyekularkan Indonesia, kaum Kristen dan Sekular berusaha
menyeret Pancasila ke kutubnativisme dan netral agama. Inilah yang disebut oleh penulis buku ini sebagai
“Kesalahpahaman dan Penyalahpahaman”.
Dr. Adian, dalam bukunya ini, menyuguhkan kepada pembaca tentang semangat
dan keteguhan para tokoh Islam dalam memperjuangkan Syari’at Islam. Sebut saja
Ki Bagoes Hadi Koesumo, tokoh Muhammadiyah yang dalam sidang BPUPK menentang
pemisahan dan penghilangan agama dari konstitusi. Ada juga Kyai Saifuddin Zuhri,
tokoh Nahdatul Ulama yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama. Lalu ada K.H.
Masjkoer yang menuntut agar Islam menjadi agama resmi (secara formal)
dituliskan dalam dokumen negara. Sungguh, malulah para generasi penerus karena
terlalu abai, jika mereka membaca dan menghayati perjalanan perjuangan para
tokoh tersebut.
Piagam Jakarta dan Tafsir Pancasila
Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno telah mengeluarkan Dekrit Presiden
yang sangat bersejarah. Di sana telah dikatakan secara resmi bahwa Piagam
Jakarta adalah ruh dan jiwa bagi UUD 1945. Keduanya tidak dapat dipisahkan, dan
sejarah telah mencatat peristiwa tersebut. Dengan demikian, Konstitusi negara
ini kembali harus menghayati Piagam Jakarta. Tujuh kata sakral–dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya–yang pada akhirnya
digantikan dengan sinonim “Yang Maha Esa” itu tidak dapat dinihilkan dalam
kehidupan bernegara.
Semua pendiri bangsa sepakat bahwa sila pertama adalah jiwa dan landasan
bagi seluruh sila lainnya. Sila ini pada awalnya berbunyi, “Ketuhanan dengan
Menjalankan Syariat Islam Bagi Para Pemeluknya.” Kemudian atas
desakan/ultimatum sebagian kalangan, kalimatnya diganti menjadi “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Inilah yang dimaksud sebagai sinonim. Bahkan, jika kita merenungi
perkataan-perkataan para tokoh bangsa ini pada sidang konstituante, tentulah
kita paham bahwa Syariat Islam adalah cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Sayangnya, saat ini banyak pihak yang berusaha menyeret Pancasila kepada
tafsir yang sekular dan anti-agama. Mereka berusaha melakukan berbagai ta’wil
atas Pancasila. Akan tetapi, mereka tidak bisa memanipulasi fakta sejarah,
bahwa para perumus Pancasila adalah para tokoh Islam.
Penerimaan dan kesepakatan bangsa ini terhadap Piagam Jakarta adalah
penerimaan sepenuhnya umat Islam bangsa Indonesia atas perjuangan kemerdekaan.
Berkaitan dengan itu, Alamsyah Ratuperwiranegara berkomentar, “Pancasila adalah
hadiah umat Islam bagi kemerdekaan dan persatuan Indonesia.” Jika Syariat Islam
tidak diterima sebagai hak konstitusional, maka tidak ada alasan bagi umat
Islam untuk ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Jadi, Pancasila tidak
bertentangan dengan Syariat Islam. Bahkan, Pancasila akan diperkaya dan
disuburkan oleh Islam.
Prof. Kasman Singodimejo, salah seorang anggota PPKI mengatakan hubungan
antara Syariat Islam dan Pancasila, “Bahwa Islam mempunyai kelebihan dari
Pancasila, maka hal itu adalah baik, pun baik sekali untuk Pancasila itu
sendiri. Dan pasti tidak dilarang oleh Pancasila. Bahkan menguntungkan Pancasila.
Karena Pancasila akan dapat diperkuat dan diperkaya oleh Islam.” [h.153]
Senada dengan hal itu, M. Natsir, mantan Perdana Menteri Indonesia
mengatakan dalam salah satu makalahnya yang ditulis pada tahun 1952, “Dalam
pangkuan Al Qur’an, Pancasila akan hidup subur.” [h.155]
Buku ini bukan hanya mengajak Anda untuk berdiskusi tentang siapa pewaris
sah negeri ini. Akan tetapi, bagaimana perjuangan penerapan Syariat Islam itu
adalah hak yang sah. Sungguh, Pancasila, bukan untuk menindas hak konstitusional
umat Islam! [Emri Dhoha]

#Majalah Tabligh Edisi Rajab – Sya`ban 1433