Muhammadiyah Diperkenalkan Dari Gedung Bioskop

PEKALONGAN tahun duapuluhan adalah kota kecil yang cukup di namis. Kondisi sosio ekonominya sudah terhitung maju. Barangkali, ini lantaran letak Pekalongan berada di kawasan pantai utara Jawa, disamping sebagai ibukota karesidenan. Posisi itu menjadikan Pekalongan sebagai kota yang strategis tidak hanya bagi kaum pedagang, pun bagi orang-orang pergerakan Pekalongan menjadi salah satu peta yang harus diperhitungkan.
Suatu hari, tersiar kabar bahwa HOS Cokro Aminoto, tokoh pergerakan kebangsaan akan berpidato dalam rapat oemoem. Dan ‘konon rapat ‘umum itu juga akan menampilkan seorang kyai dari Kauman Yogyakarta. Tokoh yang kedua ini sedang santer dibicarakan orang (kalangan santri) karena pendapatnya yang dalam bahasa sekarang “Kontroversial”
Dalam catatan Muhammad Rum. Rapat Umum itu adalah peristiwa besar dan langka untuk sebuah kota Pekalongan. Di mata Rum yang waktu itu masih kelas 4 HIS mendengarkan pidato tokoh-tokoh dalam rapat umurn sungguh sangat istimewa. Bersama kakak iparnya, Ranuwiharjo , Muhammad Rum yang mulai remaja itu “nonton” rapat Omoem di gedung Bioskop Irama.
Apa yang ditunggu-tunggu banyak orang tampil. Cokro Aminoto berpidato berapi-api tentang politik, kesadaran berbangsa dan bernegara disemburkan dalam gedung bioskop yang padat dengan pengunjung. Isi pidatonya benar-benar membakar dan membangkitkan sentimen terhadap pemerintah kolonial belanda. Tak kecuali Rum remaja seperti membara darah mudanya. Tentu saja bagi kalangan pemerintah, pidato Cokro itu sangat menyentak dan menyengat sehingga kuping yang merah menjadi menyala dibuatnya. Lain lagi dengan pidato tokoh kedua. Kyai Ahmad Dahlan tampil dengan lugu dan tenang. Yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang adem dan menyejukkan. Beliau banyak berbicara tentang masyarakat dan kehidupan beragama. Ayat-ayat Al- Quran dan Hadist yang ia kemukakan bagai menyiram tanah yang lama kekeringan dengan hujan air salju. Suasana rapat umum menjadi hening, hati para pengunjurig basah tersentuh kalimat-kalimat Kyai Dahlan.
Dari rapat Oemoem digedung bioskop itulah orang Pekalongan mulai berkenalan dengan gerakan yang bernama Muhammadiyah. Sebuah gerakan Islam amar makruf nahi munkar. Adalah Ranuwirjo seorang aktivis PSII adalah satu dari sekian orang yang fertarik dengan usaha-usaha Muhamadiyah dengan gerakannya. Menurutnya, Muhammadiyah yang digelindingkan oleh Kyai Dahlan mengisyarakatkan bagaimana berislam. Kyai Dahlan dengan Muhammadiyahnya memberikan contoh konkrit bagaimana Islam diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Meski perhatiannya terhadap politik tidak berkurang, sejak saat itu Ranuwiharjo pegawai kantor pegadaian yang kemudian jualan batik mulai berpikir bagaimana ikut melebarkan sayap pergerakan Muhammadiyah yang berdiri di Yogya tahun 1912 diterapkan di Pekalongan. Untuk merealisasikan unek-uneknya beliau mulai kasak-kusuk dengan sahabatnya, Sutan Mansur, seorang mubaligh kondang asal tanah Minang.
Kasak-kusuk rnereka tampaknya tak mubadir. Tentu sebagai orang pergerakan mereka sudah mengantisipasi adanya kemungkinan-kemungkinan kendala yang menghadang ide-idenya. Terutama dan yang pasti adalah sinisnya kalangan pemerintah waktu itu. Hal lain adalah reaksi yang datang dari kalangan santri Pekalongan yang belum sepenuhnya menerima pemikiran keislaman Kyai Dahlan.
Ternyata, yang menggunjingkan hebatnya pidato Kyai Dahlan tidak hanya Ranu dan Sutan saja yang notabene adalah pendatang. Dikalangan putra-putra daerah asli juga sudah merebak perbincangan kemungkinan mendirikan cabang Muhammadiyah di Pekalongan. Mereka adalah Citro Suwarno, Mu’arif, Abdul Hadi dan lain-lain. Seperti gayung bersambut, putra-putra daerah itu keternu ide dengan Ranu dan Sutan Mansur. Mereka kerrudian sering mengadakan perternuan kecil. Lalu bersama istri-istri mereka mengadakan kelompok pengajian yang mereka namakan kelompok tabligh.
Amal Usaha Muhammadiyah Pertama
Dari kelompok tabligh tersebut kemudian pada tahun 1923 Pengurus Besar Muhammadiyah mernberi lampu hijau untuk berdirinya Muhamrnadiyah di Pekalongan dan baru pada tanggal 1 Juli 1928 mendapat surat pengesahan dengan nomor 12/P.K Nama-narna di atas yang dinobatkan menjadi Pimpinan Cabang Muhammadiyah periode awal dengan ketuanya Sutan Mansur. Bukan orang Muhammadiyah kalau hanya banyak among tanpa berbuat sesuatu. Meski sederhana, dengan bangunan dari bambu, cabang Muhammadiyah baru itu mendirikan HIS Muhammadiyah, menempati sebagian tanah di sebelah rumah Ranuwiharjo. Siswanya adalah anak-anak mereka sendiri. Iskandar Ranuwiharjo dan Dahlan Ranuwiharjo adalah dua diantara siswa pertama HIS Muhammadiyah Pekalongan.
HIS Muhammadiyah Pekalongan ini bagi sejarah Muhammadiyah patut dikenang. Tercatat pada tahun 1927 HIS Muhammadiyah pernah dijadikan ajang Kongres (Muktamar) Muhammadiyah. Salah satu hasilnya adalah keputusan tentang terbentuknya Majlis Tarjih. HIS Muhammadiyah yang terletak di Kelurahan Poncol (Jl. Wahidin) itu merupakan peninggalan Ranuwiharjo yang wafat pada tahun 1926. Setelah HIS pindah, gedung yang semula bambu itu dipakai untuk TK Aisyiah. Oleh ibu-ibu Aisyiah yang dimotori oleh istri Ranuwiharjo (Muti’ ah) gedung itu dijadikan tempat pertemuan Aisyiah dengan diberi nama Wisma Ranuwiharjo. Kini gedung itu menjadi Rumah Bersalin Siti Aisyiah.
Periode pendiri Muhammadiyah Pekalongan berjalan dengan pasang surut, namun ruh perjuangan dengan segal keikhlasannya tak pernah lekang karena panas tak juga lapuk karena hujan. Perjuangan mereka disamping menegakkan Islam juga dituntut mernperjuangkan kemerdekaan bangsa. Gelombang patriotik di kalangan pemimpin-pemimpin Muhammadiyah pada tahun tigapuluhan hingga awal limapuluhan tak pernah mandeg. Bahkan hingga para pemimpin itu uzur dan akhirnya wafat.
Satu hilang dua terbilang. Kader-kader mereka sudah siap menerima estafet kepernimpinan. Muncul pemimpin baru pada tahun limapuluhan seperti R. . Mohammad Toyeb, A. Salim, Dahlan Cholil, Adnan Martawirdja, A. Muhajir Bakri, dll. Beliau-beliau itulah generasi kedua dalam kepemimpinan Cabang Muhammadiyah hingga tahun 1965, yang kemudian melahirkan angkatan berikutnya; Mufidi Abbas, Sutji Mardiko, Zein Daud, Muhammad Buchori, M. Thojib, Edi Sukaryo dan lain-lain. (Maaf yang masih hidup tidak kami sebut).
Berawal dari pidato Kyai Dahlan sekitar tahun 1921 di bioskop Irama itu Muhammadiyah Pekalongan yang kemudian berbias kedaerah-daerah lain se eks karesidenan Pekalongan. Bahkan sekarang Pirnpinan Daerah Muhammadiyah kodya Pekalongan baik anggota maupun jumlah amal usahanya dibanding daerah-daerah lain seperti Kab.Pekalongan, Kab. Pemalang dan Tegal dapat dikatakan tertinggal. Kini Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kodya Pekalongan atau amal usaha di lingkungan Muhammadiyah memiliki sebelas TK Aisyiah, 3 Sekolah Dasar, 2 SLTP dan satu SLTA. 166 tenaga pengajar dan karyawan dengan 3150 anak didik. 2 Panti asuhan dengan 80 anak asuh, 7 masjid dan sebuah Koperasi “Koperasi Keluarga Sakinah”. Seluruh amal usaha tersebut berada berpencar di 23 tanah wakaf dengan jumlah luas kurang lebih 34.000m2.
(Masyhudi Sa’an dari berbagai sumber- PDM 1994 / 1415 H)