Lapang Dada, Luas Pandangan dengan Berpegang Teguh Ajaran Islam

Judul tulisan ini merupakan poin keempat dari Sifat Muhammadiyah sebagaimana termaktub dalam Kepribadian Muhammadiyah. Rumusan Kepribadian Muhammadiyah (KM) diputuskan pada Muktamar Muhammadiyah ke-35 (Muktamar ½ Abad) di Jakarta pada tahun 1962. Salah satu anggota tim perumus KM adalah Ust. Djindar Tamimy, guru Kemuhammadiyahan saya di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah (m3in) tahun 1990-an, beliau adalah salah satu Ideolog yang dimiliki Muhammadiyah, bahkan merupakan kamus berjalan ideologi Muhammadiyah.
Ada 10 sifat Muhammadiyah yang termaktub di KM yang harus dihapal, dipahami dan diamalkan serta menjadi pegangan bagi para anggotanya sebagaimana dulu diajarkan di m3in. Ketika dirasa kami telah mendapatkan “ilmu” kemuhammadiyahan yang cukup, baik hapalan dan pemahaman, sebelum ujian lisan kemuhammadiyahan kami diminta ust. Djindar untuk membuat Kartu Tanda Anggota Muhammadiyah (KTAM). KTAM tersebut menjadi tanda resmi bagi saya untuk mengamalkan ajaran Islam sebagaimana paham Muhammadiyah. Dan kesepuluh sifat tersebut, tentunya menjadi pegangan bagi anggota Muhammadiyah termasuk saya dalam bermuhammadiyah.
Mengamalkan judul tulisan ini, Ust. Djindar memberi contoh nyata ketika kami duduk di kelas 5 yaitu pada saat Majalah Tempo mengangkat polemik perihal “Muhammadiyah Bermazhab” sebagaimana dikemukakan Ust. Muh. Suprapto Ibnu Juraimi, – guru tafsir saya juga murid dari Ust. Djindar di m3in – , padahal ideologi Muhammadiyah jelas menerangkan bahwa Muhammadiyah “tidak bermazhab”. Menyikapi komentar “kontroversi” muridnya tersebut, Ust. Djindar tidak pernah menyampaikan pandangan Ust. Ibnu Juraimi tersebut sebagai “sesat” dan tidak sejalan dengan pandangan Muhammadiyah, beliau justru meminta kami (satu kelas) untuk meminta penjelasan langsung dari Ust. Ibnu Juraimi (sumber asli) apa makna “Muhammadiyah Bermazhab”, beliau tidak ingin kami mendapatkan dari sumber lain yang sudah mendapatkan “bumbu-bumbu”.
Ada 3 pelajaran yang dapat saya petik dari peristiwa tersebut. Kesatu, Ust. Djindar sedang mengajarkan kepada kami bahwa kader Muhammadiyah hendaknya LAPANG DADA terhadap berbagai pandangan meskipun terkesan pandangan tersebut “nyeleneh”. Kedua, Ust. Djindar juga mengajari kami agar kami LUAS PANDANGAN, artinya kami harus banyak belajar dan mencari ilmu jika perlu langsung dari sumbernya. Ust. Djindar mengajak kami, jika ada yang berbeda pandangan dengan ust. Ibnu Juraimi, hendaknya kemukakan argumentasinya melalui media yang sama (Majalah Tempo). Tidak perlu marah-marah apalagi menganggap Ust Ibnu Juraimi telah keluar dari Muhammadiyah. Meskipun kami dianjurkan LUAS PANDANGAN, Ust. Djindar mengajari kami untuk tetap kritis. Inilah pelajaran yang ketiga.
Dalam salah satu kesempatan diskusi singkat namun “padat” dengan Buya Syafi’i Ma’arif, Buya mengatakan agar kita hendaknya membuka cakrawala ilmu seluas-luasnya dari manapun. Mengomentari perihal Syi’ah, Buya berpandangan, banyak pemikiran-pemikiran Syiah yang baik dan bisa menjadi rujukan, namun kita tetap harus kritis, tanpa perlu menjadi orang Syi’i atau membenci dan menjelek-jelekkannya. Jadilah Islam yang rahmatan lil-‘alamien. Pandangan Buya tersebut senada dengan cara pandang ust. Djindar.
Pandangan kedua tokoh (Ust. Djindar dan Buya Syafi’i) tersebut menurut saya dapat mewakili pandangan, sikap atau sifat Muhammadiyah sebagaimana judul tulisan ini. Pandangan ini sudah menjadi “trade mark” atau “brand” perjuangan kader dan anggota Muhammadiyah sejak awal berdirinya. Hal ini juga dicontohkan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Misalnya, Kyai Dahlan prihatin terhadap penjajahan bangsa Barat atas umat Islam, namun Kyai Dahlan tidak menutup diri untuk mengadopsi sistem pendidikan Barat. Ini menunjukkan bahwa beliau memiliki sikap arif dan jernih dalam melihat dan memilah persoalan. Barat harus dimusuhi sebagai penjajah, namun harus dikawani sebagai peradaban. Agama Kristen yang dibawa para misionaris Barat harus dimusuhi sejauh ketika agama tersebut dipakai sebagai kedok imperialisme. Namun sebagai sebuah agama, Kyai Dahlan sangat menghormati para pemeluk agama Kristen.
Pendiri Muhammadiyah tersebut juga menganjurkan atau mendorong ”umat Islam untuk mengkaji semua agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang inheren dalam ajaran-ajarannya”, sehingga Kyai Dahlan pun misalnya beranggapan bahwa diskusi-diskusi tentang Kristen boleh dilakukan di masjid.
Kalau Kyai Dahlan saja menganjurkan atau mendorong umat Islam untuk mengkaji semua agama secara rasional, mengapa kita khawatir, ketakutan, curiga, skeptis, dan emosional mengkaji mazhab-mazhab lain, baik mazhab-mazhab yang ada di Sunnah maupun Syiah, yang seagama dengan kita?
Sikap Kyai Dahlan di atas, dilanjutkan oleh KH. Mas Mansur mantan Ketua PP. Muhammadiyah, penulis 12 Tafsir Langkah Muhammadiyah. Di dalam 12 Tafsir Langkah Muhammadiyah, pada Langkah Kedua disebutkan “Memperluas Paham Agama: Hendaklah Islam agama yang sesungguhya itu dibentangkan dengan arti yang seluas-luasnya, boleh diujikan dan diperbandingkan, sehingga kita sekutu-kutu Muhammadiyah mengerti perluasan Agama Islam, itulah yang paling benar, benar, ringan dan berguna, maka mendahulukanlah pekerjaan keagamaan itu”. (Masih menggunakan bahasa aslinya-penulis).
KH. Mas Mansur juga menjelaskan bahwa 1) Hukum-hukum Islam itu dapat berubah-ubah dengan mengingat keadaan orang, 2) Agama Islam tiada mengikat paham. Maka, hendaklah sama diingat, bahwa yang harus kita perluaskan itu “paham-paham agama”, bukan agama, karena agama itu sudah sempurna, tiada boleh diperluas dan tiada boleh dipersempitkan.
Sejalan dengan judul tulisan ini, pada Muktamar 1 Abad (Muktamar ke-46) di Yogyakarta tahun 2010 telah diputuskan tentang Revitalisasi Kader dan Anggota Muhammadiyah. Disebutkan bahwa salah satu kompetensi kader Muhammadiyah adalah Kompetensi akademis & intelektual yang dicirikan dengan nilai-nilai 1) fathonah (kecerdasan pikiran sebagai Ulul Albab) dalam berpikir, berwawasan, dan menghasilkan karya pemikiran; 2) Tajdid (pembaruan dan berpikiran maju) dalam mengembangkan kehidupan dan menggerakkan Persyarikatan sesuai jiwa ajaran Islam; 3) Istiqamah (konsisten) dalam lisan, pikiran, dan tindakan. 4) Etos belajar (semangat dan kemauan keras) untuk selalu mengembangkan diri, mencari dan memperkaya ilmu, serta mengamalkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan. 5) Moderat (arif dan mengambil posisi di tengah) dalam bersikap, berpikiran, dan bertindak.
Jadi, sesungguhnya “Lapang Dada, Luas Pandangan dengan Berpegang Teguh pada Ajaran Islam” sudah menjadi “basic principle” atau “basic character” perjuangan kader dan anggota Muhammadiyah sejak awal berdirinya.

Wallahu a’lam bi al-Shawab
@el-farach 3113