Fenomena Gerakan Baru Islam

Memperbincangkan masalah negara dan pemerintahan dalam pandangan Islam merupakan sesuatu yang selalu menarik. Dikatakan menarik, karena setiap komunitas Islam mempunyai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan politik serta kemampuan menafsirkan teks yang berbeda. Perbedaan latar belakang telah melahirkan cara pandang atas teks yang juga berbeda. Meskipun teks yang dirujuk oleh masing-masing kelompok itu satu (Al-Qur’an dan Sunnah) cara untuk menafsirkan teks itu akan sangat tergantung pada orientasi sosial politik dari pihak yang melakukan penafsiran. Rujukan kepada Islam baik yang otentik maupun yang tercemar telah membawa kepada kompleksitas kehidupan sosial Islam (umat), akibatnya melahirkan semacam fragmentasi pemahaman keagamaan antar umat dengan pemimpin umat. Fragmentasi pada level penafsiran doktrin biasanya diikuti dengan fragmentasi orientasi sosial dan politik para pengikut suatu kelompok sosial dalam masyarakat muslim.
Dengan keragaman latar belakang dan perbedaan dalam menafsirkan teks itulah, yang dalam pandangan Syarifuddin Jurdi,  yang menyebabkan konsep-konsep umum tentang kehidupan politik juga beragam. Konsep suatu pemerintahan misalnya, tidak selalu sama antara kalangan Islam sendiri, ada pihak Islam yang justru mendukung sepenuhnya sistem pemerintahan yang bersifat demokratis dan menentang keras usaha-usaha yang menghendaki agar pemerintah terlibat dalam mengurus kehidupan keagamaan. Sebaliknya, ada juga kalangan Islam yang dengan gigih tetap memperjuangkan agar negara dan pemerintah dapat menerapkan sistem pemerintahan yang diatur dengan syari’at Islam.Bahkan tidak hanya memperjuangkan tegaknya syari’at Islam, ada kalangan Islam yang justru memperjuangkan agar tegaknya khilafah Islamiyah.
Beberapa kalangan Islam yang berorientasi “fundamentalis” menganggap bahwa sistem pemerintahan Islamlah yang unggul dan memberikan jaminan yang adil bagi warga negara. Hal ini mungkin dapat diperoleh, misalnya dari argumen Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri dan tokoh yang diidolakan oleh jamaah Hizbut Tahrir. Menurutnya, semua sistem pemerintahan yang ada saat ini tidak sama dengan sistem pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan Islam tidak mengenal warisan kekuasaan, tidak mengenal kedaulatan di tangan rakyat, tidak mengenal pemerintahan dibagi berdasarkan wilayah otonomi, juga tidak memberikan keistimewaan kepada wilayah atau hak-hak khusus kepada wilayah tertentu.
Wacana klasik Islam mengenai politik, seperti khilafah Islamiyah dan syura, kedua konsep ini memang bukan lagi merupakan bahan perbincangan di kalangan aktivis politik nasional, tetapi isu khilafah menjadi menarik mengingat kehadiran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang ikut menyuarakan pentingnya dibangun khilafah Islamiyah.
Isu-isu aktual yang disuarakan oleh gerakan-gerakan baru Islam yang muncul   setelah tumbangnya Orde Baru, seperti HTI, Front Pembela Islam (FPI), MMI, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), maupun Laskar Jihad (LJ), menjadi sangat menarik. Kehadiran mereka merupakan respons langsung atas perubahan iklim politik nasional, di mana ruang publik terbuka secara bebas dan luas, di mana rakyat bebas mengekspresikan keinginan-keinginannya. Kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat merespons ruang publik yang bebas ini dengan berbagai bentuk, seperti mendirikan partai politik (Parpol), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan menghadirkan pemikiran-pemikiran alternatif yang lebih baru dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat, muncul bak jamur di musim hujan.
Sesuatu yang sangat penting dari kalangan Islam adalah munculnya laskar-laskar dan front-front sebagai lembaga yang bergerak untuk “membantu” aparat keamanan menertibkan berbagai pelanggaran terhadap norma-norma sosial, agama dan umum dalam masyarakat. Kita bisa menyebut FPI sebagai lembaga yang menghimpun banyak Habib yang berkonsentrasi pada gerakan fisik untuk memberantas segala bentuk praktik maksiat yang dilakukan oleh berbagai pihak, dan oknum aparat keamanan dianggap bekerjasama dengan pemelihara tempat “maksiat”. FPI telah melakukan sejumlah tindakan yang dalam beberapa hal menimbulkan rekasi balik di kalangan Islam sendiri, karena dakwah mereka tidak menggunakan prinsip dakwah Islam, yaitu dengan cara al-hikmah dan wal mauidzatil hasanah. Langkah FPI disinyalir sebagai langkah dakwah yang termasuk dalam kategori “keras” dan terkesan tidak “manusiawi”, karena telah memakan korban dan merusak berbagai fasilitas umum.
Perhatian sebagian elit-elit Islam dan orang Islam yang eksis setelah Orde Baru melebihi manifestasi perhatian mereka pada aspek fundamental umat seperti pembinaan, pencerahan, pencerdasan dan pendidikan politik agar umat memahami situasi politik yang dihadapinya. Isu-isu yang diusung oleh sebagian kalangan itu dalam sistem politik demokratis memperoleh tempat yang layak, karena demokrasi sendiri memberi ruang bagi adanya wacana politik alternatif, soal wacana itu dikembangkan menjadi kebijakan politik negara atau tidak, itu adalah soal lain.
Perjuangan tegaknya syariat Islam menurut Syarifuddin Jurdi, hanya mungkin dapat dilakukan dengan adanya kesatuan dan persatuan dikalangan umat Islam. Letak kesulitan untuk menyatukan umat Islam terletak pada sulitnya elit-elit Islam menahan nafsu berkuasa. Rakyat sebetulnya dapat bersatu, tapi elit sebagai patron justru berjalan sendiri-sendiri, dan membentuk partai politik yang bermacam-macam. Beberapa elit Islam yang merasa dirinya sebagai tokoh dan punya basis massa, mendirikan partai dan ikut dalam Pemilu. Namun, klaim dukungan massa tidak menjamin, akan kesuksesan para elit itu dalam Pemilu. Jangankan mendapat kursi dilegislatif, memenuhi ambang batas saja tidak tercapai. Itulah sebabnya, usaha untuk memenangkan Pemilu jauh dari kenyataan.
Perjuangan untuk menegakkan syariat Islam baru dapat terapai apabila didukung kekuatan politik riil di parlemen. Bukan hanya sekedar ‘meneriakkan’ tentang syariat Islam melalui cara-cara yang ekstra parlementer. Kalaupun mungkin kekuatan Islam itu besar di parlemen, belum tentu gagasan syariat akan dengan mudah diwujudkan. Mengingat gagasan itu sendiri masih mengandung banyak pro-kontra di kalangan Islam sendiri.***
Imron Nasri