Bisakah Puasa Arafah Menutup Dosa Setahun Yang Akan Datang ?

 
PUASA ARAFAH MENGAMPUNI DOSA YANG BELUM DILAKUKAN DAN NABI PERNAH PUASA DAN TIDAK PUASA DI HARI ARAFAH

Pertanyaan dari:
Sigit Bachtiar, NBM. 977029
Pertanyaan:
Membaca
SM edisi 4/2007 dalam rubrik Manhaj Tarjih “Perbedaan Pendapat dalam
Memahami Islam (3)” halaman 34-35, ada beberapa hal yang kami belum
paham, mohon penjelasan.
1.   Puasa Arafah
dapat menutup dosa 2 tahun, 1 tahun yang lampau dan 1 tahun yang akan
datang. Dosa yang akan datang kan belum dilakukan apa ini bisa dihapus?
(bagaimana dengan dosa besar dan dosa yang disengaja?), apakah mungkin
secara makna berarti dapat menjaga/lebih berhati-hati dalam melakukan
perbuatan di tahun yang akan datang, bukan dosa yang dihapus?
2.   Ada
dua hadis yang menerangkan puasa Arafah, yang satu menyebutkan Nabi
berpuasa tatkala wukuf dan yang lain Nabi tidak puasa tatkala wukuf.
Setahu saya Nabi melakukan haji hanya sekali (tentunya wukuf di Arafah 1
kali) dan umrah 3 kali (tidak ada wukuf), mengapa ada dua hadis yang
menerangkan demikian?
Jawaban:
Teks hadis yang saudara tanyakan selengkapnya adalah sebagai berikut:

عَنْ
أَبِي قَتَادَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ سَنَةٍ مَاضِيَةٍ
وَسَنَةٍ مُسْتَقْبَلَةٍ وَصَوْمُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ كَفَّارَةُ سَنَةٍ.
Artinya: Diriwayatkan
dari Abu Qatadah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Puasa
hari Arafah menutup dosa dua tahun, satu tahun yang lampau dan satu
tahun yang akan datang, dan puasa Asyura menutup dosa satu tahun.
[Hadis ini diriwayatkan oleh sejumlah ahli hadis dan teks di atas adalah riwayat Imam Ahmad].
Perlu
diketahui bahwa dalam hadis-hadis lain disebutkan beberapa jenis ibadah
dan perbuatan yang dapat menghapus dosa yang akan datang. Misalnya
hadis al-Bukhari yang menegaskan bahwa Rasulullah saw bersabda, Barang
siapa mandi pada hari Jumat, bertaharah sedemikian rupa, kemudian
memakai wangi-wangian, kemudian berangkat (ke Jumat), lalu tidak menyela
dua orang (yang sedang duduk di mesjid), kemudian salat semampunya
melakukan, kemudian bila mana imam berkhutbah ia diam mendengarkannya,
maka diampuni dosanya dari Jumat bersangkutan hingga Jumat berikutnya

[HR. al-Bukhari]. Dalam riwayat Muslim, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban
bahkan ditambahkan akan diampuni dosanya antara Jumat bersangkutan dan
Jumat berikutnya plus tiga hari sesudahnya.
Ada
pula hadis riwayat Ahmad yang menegaskan bahwa orang yang melakukan
puasa Ramadan dengan iman dan penuh harap terhadap rida Allah akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang. Di lain
pihak hadis Abu Dawud menyatakan bahwa barang siapa membaca alhamdulillah setelah makan atau memakai pakaian, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.
Mengenai
apa macam dosa yang diampuni, terdapat beberapa hadis yang menyatakan
bahwa yang bisa diampuni oleh beberapa jenis ibadah tersebut adalah
dosa-dosa kecil. Hadis dimaksud adalah sebagai berikut,

عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ الصَّلاَةُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إلى الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ
لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ. [رواه مسلم والترمذى وابن ماجه وابن حبان وابن خزيمة والبيهقي]  
Artinya: Diriwayatkan
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Shalat lima waktu dan
Jumat ke Jumat menutup dosa-dosa dari shalat ke shalat berikutnya selama
tidak dilakukan dosa besar.
[HR. Muslim, at-Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, dan al-Baihaqi].   

Ibnu ‘Abdil-Barr (w. 463/1071), seorang ulama besar dari Cordova, Spanyol, menegaskan dalam kitabnya at-Tamhid
bahwa memang ada beberapa orang ahli ilmu pada zaman ini yang
berpendapat bahwa hikmah taharah dan shalat dapat menghapus dosa-dosa
besar. Akan tetapi ia mengomentari pendapat tersebut
dengan agak keras dengan menyatakannya sebagai pendapat jahil dan
menyetujui ajaran Murjiah. Dari uraiannya yang panjang dapat pula
dipahami bahwa dosa yang disengaja tidak dapat ditutupi oleh hikmah
ibadah-ibadah tersebut. Dosa-dosa besar dan disengaja
dapat diampuni apabila pelakunya bertobat nasuha dengan menyesalinya dan
memperbaiki diri serta bertekad untuk tidak mengulangi lagi (at-Tamhid, IV: 44-49).
Dalam Putusan Tarjih pada Munas XXVI tahun 2003 (yang belum ditanfidz oleh PP) tentang hikmah puasa tathawwu
diberi peringatan bahwa: Hendaknya jangan terjadi salah pengertian dan
jangan timbul anggapan yang mengarah kepada bermudah-mudah melakukan
perbuatan maksiat dan dosa semata karena anggapan bahwa dengan berpuasa
sunnat sehari saja dosa-dosa itu, bahkan dosa setahun yang lalu dan yang
akan datang, segera akan terhapus, dan orang tersebut akan dijauhkan
dari api neraka sejauh tujuh puluh tahun. Perlu dicamkan bahwa puasa
yang sungguh-sungguh bukan sekedar perbuatan fisik berupa tidak makan,
tidak minum dan tidak berhubungan badan (bagi pasangan suami-isteri)
belaka, melainkan puasa yang sesungguhnya adalah puasa yang didasarkan
kepada suatu komitmen otentik untuk meninggalkan segala perbuatan dosa
dan maksiat dan sekaligus terefleksikan dalam perbuatan dan tingkah laku
nyata.
Mengenai dosa yang akan datang yang belum dikerjakan, dapat dikutipkan pernyataan Imam asy-Syaukani (w. 1255/1839), dalam Nailul-Authar
ketika menerangkan puasa Arafah akan menghapus dosa yang akan datang,
bahwa dosa itu akan diampuni apabila seandainya terjadi, atau bisa juga
berarti bahwa orang itu, karena puasa Arafahnya, akan terbimbing
sehingga terhindar dan tidak akan melakukan dosa (Nailul-Authar, 2000 : 875). Alternatif kedua dari penjelasan asy-Syaukani ini lebih logis dan dapat diterima.
Mengenai
Nabi pernah puasa dan pernah tidak puasa pada waktu wukuf, yang
dimaksud oleh penulis artikel bersangkutan adalah hadis-hadis sebagai
berikut:

عَنْ
بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي
الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
[رواه أبو داود وأحمد والبيهقي].
Artinya: Diriwayatkan
dari salah seorang isteri Nabi saw, ia berkata: Rasululah pernah puasa
sembilan hari (pertama) bulan Zulhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap
bulan, yaitu Senin pertama dan hari Kamis
[HR Abu Dawud, Ahmad dan al-Baihaqi].
عَنْ
أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا
يَوْمَ عَرَفَةَ في صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ
فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ
فَشَرِبَهُ [رواه الجماعة واللفظ للبخاري].


Artinya: Diriwayatkan
dari Ummul-Fadll binti al-Harits bahwa beberapa orang bertikai di
dekatnya pada hari Arafah mengenai puasa Nabi saw.
Beberapa
menyatakan bahwa beliau puasa dan yang lain mengatakan beliau tidak
puasa. Maka Ummul-Fadll mengirim secawan susu kepada beliau ketika ia
berdiri di dekat untanya, lalu beliau minum.
[HR. Jamaah ahli hadis, dan lafal di atas adalah lafal al-Bukhari].
Hadis pertama menerangkan bahwa Rasulullah saw pernah puasa sembilan hari bulan Zulhijjah. Sembilan
hari bulan Zulhijjah itu adalah tanggal 1 hingga tanggal 9, yakni
sampai hari Arafah. Salah seorang isteri Nabi saw yang dimaksud dalam
hadis itu menurut riwayat an-Nasa’i, Ahmad dan ath-Thabrani adalah
Hafsah (w. 41/661). Hadis Hafsah ini terjemahannya adalah, Diriwayatkan
dari Hafsah, ia berkata: Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh
Rasulullah saw, yaitu: puasa Asyura, puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah,
puasa tiga hari setiap bulan, dan shalat dua rakaat sebelum shalat
subuh
[HR. an-Nasa‘i]. Sepuluh hari bulan Zulhijjah dalam hadis
Hafsah ini dimaksudkan sembilan hari, karena pada hari kesepuluh, yaitu
hari Idul Adha dilarang puasa. Penyebutan sepuluh hari ini karena dalam
hadis-hadis lain diterangkan keutamaan beribadah pada sepuluh hari
tersebut, termasuk keutamaan berpuasa, hanya saja karena hari Idul Adha
dilarang puasa, maka secara otomatis menurut akal maksudnya adalah
sembilan hari. Dengan kata lain dalam hadis ini ada istisna aqli (pengecualian berdasarkan logika pikiran). Demikian Ali al-Qari (w. 1014/1605) dalam Mirqatul-Mashabih (IV: 495).
Hadis yang menerangkan keutamaan beribadah termasuk puasa pada sepuluh hari bulan Zulhijjah itu adalah,

عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَيَّام العَمَل الصَّالِح فِيْهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ
مِنْ هَذِهِ اْلأَيَامِ اْلعَشْرِ .
Artinya: Diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tiadalah hari
yang dilakukannya amal salih lebih disukai Allah pada hari itu daripada
sepuluh hari (dalam bulan Zulhijjah)…
[HR. Ibn Hibban, Ibn Khuzaimah, al-Baihaqi, ath-Thabrani dan ad-Darimi].
Abu ‘Awanah (w. 316/928) dalam Musnadnya dan Imam at-Turmudzi dan Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini dari Abu Hurairah yang menegaskan bahwa Nabi bersabda, Tiadalah
hari-hari dunia ini yang disukai oleh Allah agar padanya dilakukan
ibadah selain sepuluh hari bulan Zulhijjah; barang siapa berpuasa satu
hari saja padanya sebanding dengan puasa satu tahun dan beribadah satu
malam saja padanya sama dengan beribadah malam lailatul qadar
[Musnad Abu ‘Áwanah, II: 246].
Jadi
hadis pertama, yaitu hadis Abu Dawud, menunjukkan bahwa Rasulullah saw
pernah puasa pada hari Arafah. Sedangkan hadis kedua, yaitu hadis
Ummul-Fadll, memastikan bahwa Rasulullah saw tidak berpuasa pada waktu
di Arafah ketika melakukan haji wada‘ karena beliau minum susu. Dalam
hadis itu diterangkan bahwa beberapa Sahabat ketika di Arafah bertikai
apakah Nabi saw pada hari itu puasa atau tidak. Sebagian menyatakan
beliau puasa dan sebagian lain menyatakan tidak puasa. Hafsah kemudian mengetesnya dengan memberikan secawan susu dan ternyata beliau minum, yang berarti beliau tidak puasa. Ibnu Hajar (w. 852/1449), pensyarah Shahih al-Bukhari,
menegaskan bahwa pertikaian beberapa Sahabat itu menunjukkan bahwa
mereka ketika di Madinah bersama Rasulullah saw biasa melakukan puasa
Arafah. Orang yang memastikan bahwa Nabi saw puasa pada waktu wukuf
bersandar kepada kebiasaan beliau tersebut yang melakukan puasa Arafah.
Sedangkan yang menyatakan beliau pada hari itu tidak berpuasa alasannya
adalah karena beliau musafir dan biasanya beliau menyuruh orang musafir
untuk tidak melakukan puasa wajib sekalipun, apalagi puasa sunnat.
Dengan demikian yang dimaksud dengan Nabi saw pernah puasa hari wukuf Arafah
adalah ketika di Madinah beliau berpuasa pada saat di Arafah dilakukan
wukuf. Sedangkan pada saat haji wada‘ beliau tidak puasa Arafah. Oleh
karena itu kemudian dalam fikih ditentukan hukum bahwa orang yang tidak
sedang berada di Padang Arafah disunnatkan puasa, sedangkan orang yang
sedang melakukan wukuf dilarang puasa. Namun larangan tersebut, seperti
ditegaskan pada artikel dalam SM edisi 4/2007 itu, bukanlah larangan
yang mengharamkan, melainkan larangan makruh dengan illat agar orang
yang bersangkutan tidak kehabisan tenaga untuk melakukan rangkaian
kegiatan ibadah haji yang berpuncak di Arafah.
KEHUJJAHAN HADIS-HADIS PUASA SEMBILAN/SEPULUH HARI ZULHIJJAH

Terdahulu
telah disebutkan hadis salah seorang isteri Nabi saw riwayat Abu Dawud,
Ahmad dan al-Baihaqi tentang Nabi saw melakukan puasa sembilan hari
Zulhijjah dan juga hadis Hafsah tentang empat hal yang tidak pernah
ditinggalkan Nabi saw antara lain puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah.
Teks hadis terakhir ini adalah,
عَنْ
حَفْصَةَ قَالَتْ أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلاَثَةَ
أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَالرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ .
Artinya: Diriwayatkan
dari Hafsah, ia berkata: Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh
Rasulullah saw, yaitu: puasa Asyura, puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah,
puasa tiga hari setiap bulan, dan shalat dua rakaat sebelum shalat
subuh
.
Dalam
Putusan Munas Tarjih XXVI di Padang tahun 2003 (yang belum ditanfiz
oleh PP) tentang puasa tathawwu‘ ditegaskan bahwa puasa tathawwu‘ ke-8
adalah puasa tanggal 1 s/d 8 Zulhijjah. Disebut puasa tanggal 1 s/d 8
Zulhijjah adalah karena puasa tanggal 9 (hari Arafah) sudah disebutkan
tersendiri. Dalil yang digunakan dalam Putusan tersebut adalah hadis
Hafsah tentang empat hal yang tidak pernah ditinggalkan Nabi saw di mana
salah satunya adalah puasa sepuluh hari bulan Zulhijjah itu.
Pertanyaannya, apakah hadis-hadis ini dapat dijadikan hujjah? Pertanyaan
ini muncul karena adanya hadis dari ‘Aisyah yang menyanggah puasa
tersebut sebagai berkut:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطُّ.
[رواه مسلم].
Artinya: Diriwayatkan
dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Saya tidak pernah melihat Rasulullah
saw puasa pada sepuluh hari (pertama bulan Zulhijjah).
[HR. Muslim].
Untuk
itu kita perlu menyelidiki sanad hadis Hafsah tentang empat hal yang
tidak pernah ditinggalkan Nabi saw seperti tersebut di atas dan sanad
hadis beliau puasa sembilan hari Zulhijjah. Selain dari an-Nasa’i, hadis
Hafsah ini diriwayatkan juga oleh Ahmad, Ibn Hibban, Abu Ya‘la, dan
ath-Thabrani. Yang paling pendek dari sanad kelima rawi (mukharrij)
ini adalah sanad Ahmad sebagai berikut: Hafsah – Hunaidah – al-Hurr –
‘Amr Ibn Qais – Abu Ishaq – Hasyim Ibn al-Qasim – Imam Ahmad. Jalur
sanad dari semua ahli hadis untuk hadis ini sama sampai kepada Hasyim
Ibn al-Qasim (Abu an-Nadlr). Dari beliau baru terjadi percabangan menuju
kepada para ahli hadis tersebut. Semua rawi ini, kecuali Abu Ishak,
adalah terpercaya.
Informasi biografis tentang Abu Ishaq ini tidak banyak terungkap dalam kitab-kitab rijal hadis. Hanya
disebutkan bahwa namanya adalah Abu Ishaq al-Asyja‘i berasal dari
Kufah. Ia meriwayatkan hadis dari ‘Amr Ibn Qais, dan murid yang
meriwayatkan hadisnya adalah Hasyim Ibn al-Qasim yang sering dipanggil
Abu an-Nadlr, seorang ahli hadis terpercaya. Hadis-hadis Abu Ishaq hanya
diriwayatkan oleh Hasyim ini. Ibn Hajar (w. 852/1449) menilainya maqbul, sebuah kategori ta’dil paling rendah. Tetapi
tidak begitu jelas apa alasannya ia dinilai karena keterangan biografis
Ibn Hajar sendiri tentangnya tidak memadai. Adz-Dzahabi (w. 748/1347)
memasukkannya ke dalam bukunya al-Mughni fi adl-Dlu‘afa’, akan
tetapi kurang jelas kategorinya. Dalam buku ini adz-Dzahabi memasukkan
berbagai kategori rawi termasuk rawi terpercaya yang sedikit longgar
dalam seleksi hadis. Mungkin atas dasar ini kemudian al-Albani menyatakan hadis ini daif. Ibn Hibban meriwayatkan hadis Abu Ishaq ini dalam Shahihnya, yang berarti menurutnya Abu Ishak adalah rawi yang hadisnya sahih. Begitu pula al-Arnauth menyatakan bahwa sanad hadis ini sahih memenuhi kriteria al-Bukhari dan Muslim.
Hadis
ini mempunyai kesamaan makna dengan hadis salah seorang isteri Nabi saw
yang menerangkan beliau melakukan puasa sembilan hari bulan Zulhijjah.
Sanad terpendek hadis salah seorang isteri Nabi saw ini seorang isteri
Nabi saw – isteri Hunaidah – Hunaidah – al-Hurr – Abu ‘Awanah. Hingga
Abu ‘Awanah ini jalur periwayatan hadis ini semuanya sama. Dari Abu
‘Awanah kemudian baru terjadi percabangan menuju masing-masing ahli
hadis. Pada dasarnya semua rawi dalam sanad hadis ini adalah terpercaya.
Hanya saja ada rawi yang mubham dan majhul. Rawi mubham itu adalah
salah seorang isteri Nabi saw. Siapa yang dimaksud dengan isteri Nabi
ini. Bila dihubungkan dengan hadis terdahulu, kiranya dapat diduga bahwa
salah seorang isteri Nabi saw ini adalah Hafsah (w. 41/661), putri Umar
Ibn al-Khattab.
Adapun isteri Hunaidah memang majhul, yaitu tidak dikenal sama sekali identitas dirinya. Tidak
ada satupun sumber biografis yang dilacak sejauh ini menyebutkan
identitasnya. Namun penjelasan lain dapat diberikan. Hunaidah sendiri
dinilai oleh para biografer ahli hadis sebagai rawi terpercaya. Nama
lengkapnya adalah Hunaidah Ibn Khalid al-Khuza‘i, terbilang ke dalam
kelompok tabiin. Tetapi ada beberapa biografer yang menyatakannya
sebagai Sahabat. Ia banyak bergaul dengan Sahabat dan meriwayatkan hadis
dari beberapa di antara mereka. Ia pernah bertemu Ali Ibn Abi Talib dan
ikut bersamanya melaksanakan suatu hukuman hadd (dengan cambuk)
terhadap seseorang pelaku kejahatan. Ia mula-mula di Madinah kemudian
pindah ke Kufah. Ibunya adalah bekas budak Umar Ibn al-Khattab. Oleh
karena itu Hunaidah tentulah dekat dengan keluarga Umar, termasuk
anaknya Hafsah. Dengan begitu, meskipun isterinya majhul, namun antara
Hunaidah dan Hafsah tidak ada keterputusan karena keduanya muasir
(sezaman) dan mengingat hubungan keluarga mereka yang dekat tentu
Hunaidah banyak mengetahui riwayat yang bersumber kepada Hafsah. Oleh
karena itu ada alasan untuk menerima hadis ini.
Mengenai
sanggahan ‘Aisyah, seperti disebutkan dalam riwayat Muslim yang dikutip
di atas, para komentator (pensyarah) hadis menjelaskan sebagai beikut. An-Nawawi (w. 676/1278) dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan,
“Hadis ‘Aisyah ‘Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw melakukan
puasa sepuluh” takwilnya adalah puasa sembilan hari sejak hari pertama
bulan Zulhijjah. Hadis ini tidak menunjukkan bahwa puasa sembilan itu
makruh, melainkan sangat disunatkan terutama pada hari yang ke-9, yaitu
hari Arafah. Terdahulu telah diterangkan hadis-hadis yang menunjukkan
keutamaannya, dan dalam Shahih al-Bukhari  diriwayatkan bahwa
Rasulullah saw bersabda: Tiadalah hari yang amal salih padanya lebih
utama dari hari-hari ini, maksudnya sepuluh hari pertama bulan
Zulhijjah. Pernyataan ‘Aisyah bahwa ia tidak pernah melihat Rasulullah
puasa sepuluh hari takwilnya adalah bahwa ia tidak melihatnya
melakukannya pada waktu sakit atau waktu dalam perjalanan atau lainnya.
Atau bisa juga ditakwil bahwa tidak melihatnya itu tidak berarti bahwa
beliau dalam kenyataannya tidak melakukannya. Takwil ini ditunjukkan
oleh hadis Hunaidah dari salah seorang isteri Nabi saw [VIII: 71-72].
Dalam al-Majmu‘ an-Nawawi
menegaskan bahwa ‘Aisyah ia tidak melihat Nabi saw melakukan puasa
sepuluh itu tidak berarti bahwa beliau tidak melakukannya dalam
kenyataan. Beliau kadang-kadang berada bersama ‘Aisyah pada salah satu
dari sembilan hari Zulhijjah dan pada isterinya yang lain pada hari-hari
sisanya. Atau dapat juga ditakwil bahwa beliau melakukan puasa sepuluh
itu pada tahun tertentu dan tidak melakukannya pada tahun yang lain
karena sakit atau dalam perjalanan atau karena alasan lain. Demikianlah jamak (kompromi) dilakukan terhadap hadis-hadis ini [VI: 414].
Ibnu Hajar (w. 852/1449), pensyarah terbesar Shahih al-Bukhari,
menegaskan bahwa hadis ini [maksudnya hadis al-Bukhari tentang tiada
hari yang amal salih lebih afdal untuk dikerjakan pada hari itu dari
pada hari yang sepuluh ini] menjadi dalil atas keutamaan puasa sepuluh
hari bulan Zulhijjah karena puasa itu termasuk dalam amal salih. Tidak
ada pertentangan dengan hadis ‘Aisyah karena ada kemungkinan beliau pada
waktu tertentu tidak melakukannya karena khawatir dianggap wajib oleh
umatnya [II: 460].
Imam
az-Zarkasyi (w. 794/1392) menyatakan bahwa hadis ‘Aisyah itu bisa
diartikan bahwa ‘Aisyah tidak tahu bahwa beliau melakukan puasa sepuluh
karena beliau membagi hari-harinya di antara isteri-isteri beliau. Ada kemungkinan beliau puasa tidak pada hari-hari bersama ‘Aisyah [Al-Ijabah, 173]. Ibnu Qudamah (w. 620/1223), dalam al-Kafi,
menegaskan, “Disunatkan puasa sepuluh [sembilan] hari bulan Zulhijjah
berdasarkan hadis dari Ibnu ‘Abbas yang menerangkan bahwa Rasulullah
bersabda: Tiadalah hari yang amal salih padanya lebih disukai oleh Allah
dari hari-hari sepuluh ini” [I: 362].
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa hadis tentang puasa sepuluh/sembilan
Zulhijjah dapat diterima dan puasa sepuluh [sembilan] hari bulan
Zulhijjah tersebut masyru’ (disyariatkan). *sy)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah