Problematika Penyelenggaraan Ibadah Haji

Setiap bulan Dzulhijah tiba maka perhatian dunia khususnya ummat islam di berbagai belahan bumi akan tertuju pada proses Ibadah Haji di Mekkah. Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang memenuhi syarat istita’ah, baik secara finansial, fisik, maupun mental dan ibadah haji merupakan puncak ritual dari rukun Islam yang mengintepretasikan seluruh tataran syariah di dalamnya. Bahkan ibadah haji merupakan investasi syiar dan kekuatan Islam yang dahsyat, hal ini terefleksi dalam prosesi Wukuf, Thawaf, Sa‟i dan Jamarat yang dilakukan oleh seluruh jamaah haji.
 Di Indonesia menunaikan ibadah haji merupakan dambaan jutaan masyarakat Indonesia, kita bisa melihat di daerah – daerah menunaikan ibadah haji tidak hanya sebagai pencapaian puncak spiritual seseorang dalam menjalankan agamanya namun juga sebagai salah satu bentuk simbol eksistensi seseorang di tengah lingkungan sosial dan masyarakat, hal inilah yang mendorong semangat atau ghiroh ummat islam di Indonesia sangatlah tinggi sehingga disetiap penyelenggaraaan ibadah haji tiap tahunnya kontingen jamaah haji Indonesia adalah yang terbesar dari seluruh Negara, hal ini cukup beralasan mengingat Indonesia termasuk urutan atas Negara dengan populasi jumlah ummat islam tertinggi di dunia.
Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan Ibadah Haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan Jemaah Haji , berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 tahun 2008 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 34 tahun 2009 bahwa yang menjadi penanggungjawab dan pelaksana penyelenggaran Ibadah Haji adalah Pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama dengan dibantu oleh instansi terkait. Penyelenggaran ibadah haji haruslah dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, profesionalitas dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba namun fakta yang terjadi penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya selalu menimbulkan masalah “laten” yang tak kunjung ditemukan solusi efektifna sejauh ini. Problematika yang selalu muncul adalah mulai dari pendaftaran haji, biaya haji, akomodasi dan transportasi jamaah haji, pengelolaan dana haji ( Dana Abadi Ummat ) hingga gagalnya sejumlah calon jamaah haji plus berangkat ke tanah suci, hal ini tentu menimbulkan pertanyaan dari masyarakat luas tentang standar pelayanan haji di Indonesia .
Ada beberapa indikator Penyelenggaran Ibadah Haji yang perlu dicermati, Pertama manajemen penyelengaraan ibadah haji bahwa selama ini aspek kelembagaaan, pengelolaaan keuangan, peningkatan sarana dan prasarana dalam memberikan pelayanan kepada jamaah haji masih belum efektif. Undang – Undang tentang Penyelengaraan Ibadah Haji belum tegas memisahkan antara fungsi regulator, operator dan evaluator, selama ini tiga fumgsi tersbut masih dimonopoli oleh Kementrian Agama sehingga ketika fungsi – fungsi tersebut terpusat di satu titik maka peluang abuse of power menjadi lebih besar bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  mengklasifikasi terdapat 48 titik lemah penyelengaraan ibadah haji antara lain regulasi, kelembagaan, tata laksana dan manajemen sumber daya manusia sehingga menempatkan Kementrian Agama sebagai salah satu kementerian dengan indeks integrasi terendah (versi KPK tahun 2011) oleh karena itu munculna gagasan untuk pemisahan antara regulator, operator, dan evaluator dalam revisi Undang – Undang tentang Penyelengaraan Ibadah Haji,  merupakan respons positif dan rasional bagi upaya perbaikan sistem penyelenggaraan haji yang lebih baik, professional dan akuntabel.
Kedua sistem pendaftaran calon jamaah haji bahwa besarnya kuota jamaah haji yang diberikan oleh Kerajaan Saudi Arabia kepada Indonesia ternyata tidak mampu mengakomodir jumlah calon jamaah haji yang ingin berangkat ke tanah suci, hal ini berimbas semakin membengkaknya daftar tunggu (waiting list) calon jamaah haji Indonesia yang kini mencapai sekitar 1,9 juta orang sementara kuota haji Indonesia setiap tahunnya hanya berkisar 210.000 orang. Selain disebabkan animo tinggi ummat islam untuk menunaikan ibadah haji Kementerian Agama mensinyalir praktik Dana Talangan Haji yang diberikan oleh pihak perbankan baik itu Bank Konvensional maupun Bank Syariah  menjadi pemicu panjangnya daftar antrean tunggu calon jamaah haji, dengan Dana Talangan Haji yang diberikan oleh Bank maka seseorang dapat mendaftar untuk mendapatkan nomor porsi atau seat calon jamaah haji melalui bantuan pinjaman dana dari Bank yang kemudian diangsur dalam kurun waktu tertentu. Selain itu Dana Talangan Haji tersebut dianggap mereduksi syarat istita’ah atau kemampuan secara finansial sebagai salah satu syarat seseorang menunaikan ibadah haji sehingga Kementrian Agama berencana mempertimbangkan aturan yang melarang penggunaan Dana Talangan Haji. Rencana larangan tersebut sebagai solusi untuk mengurai daftar tunggu calon jamaah haji mendapat reaksi dari Majelis Ulama Indonesia, melalui komisi fatwa MUI berpendapat Dana Talangan Haji itu dibenarkan sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No.29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah dan fatwa (DSN) No.19/DSN-MUI/MUI/IV/2001 tentang Al Qardh Dana Talangan Haji sehingga tidak melanggar dari persfektif hukum syariah karena Dana Talangan Haji juga diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan dan memilki aset tidak dalam bentuk tunai serta dinilai memiliki sumber pelunasan Dana Talangan Haji yang jelas. Silang pendapat antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Kementerian Agama tentang Dana Talangan Haji sesungguhnya tidak akan berdampak signifikan untuk mencari solusi terhadap keluhan calon jamaah haji yang ingun mendaftar haji,  seharusnya Kementerian Agama lebih fokus membenahi sistem pelayanan pendaftaran Haji karena selama ini calon jamaah haji harus melewati berbagai pintu atau instansi dalam pengurusan dokumen pendaftaran haji sehingga kedepan diharapkan bisa diterapkan “one roof system” untuk lebih mengefisensikan prosedur pendaftaran haji;
Ketiga sistem pengelolaan keuangan Haji, setiap tahun Pemerintah menentukan Biaya Penyelengaraan Ibadah Haji (BPIH) yang meliputi biaya penerbangan, biaya pemondokan di Makkah dan Madinah serta living cost jamaah haji, sebelumnya setiap calon jamaah haji harus menyetor awal dana tabungan haji ke Bank untuk mendapatkan porsi atau seat kemudian melunasi sesuai besaran BPIH ketika jamaah haji tersebut berangkat. Tabungan Haji dari setoran awal calon jamaah haji ini yang kini mencapai 40 triliun rupiah dengan bunga rata – rata 1 triliun rupiah yang dikelola oleh Kementrian Agama dipergunakan untuk mensubsidi kebutuhan jamaah haji yang berangkat lebih dahulu namun praktek ini minim sandaran hukumnya karena penggunaan bunga dari tabungan jamaah haji juga tanpa persetujuan calon jamaah haji yang belum berangkat serta besarnya bunga tabungan haji berpotensi rawan penyimpangan dan penyelewengan seperti yang disinyalir oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain bunga tabungan haji hal yang paling disoroti adalah tentang pengelolaan Dana Abadi Ummat (DAU) yaitu sejumlah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan Dana Abadi Ummat dan/atau sisa biaya operasional penyelenggaraan Ibadah Haji serta sumber halal yang tidak mengikat. Ide ini digagas ketika Menteri Agama dijabat oleh Tarmizi Taher dan saat ini diperkirakan Dana Abadi Ummat tersebut mencapai 2,5 triliun rupiah, sesuai amanat pasal 47 ayat 1 UU no 13 Tahun 2008 Dana Abadi Ummat haruslah dikelola dan dikembangkan untuk kemaslahatan ummat namun prakteknnya pemerintah lebih memilih menempatkan DAU ini dalam bentuk sukuk (Surat Berharga Syariah Negara/SBSN) berupa Suku Dana Haji (SHDI) hal ini diperburuk dengan pencatatan dan pelaporan DAU yang belum transparan dan akuntabel apalagi Badan Pengelola Dana Abadi Ummat secara ex officio masih dijabat oleh pejabat Kementrian Agama yang seharusnya sesuai dengan amanah Undang – Undang disyaratkan melibatkan unsur masyarakat didalam pengelolaan DAU.
Keempat Penertiban terhadap Biro/Travel Penyelenggara Haji Plus bahwa setiap penyelenggaraan haji selalu diwarnai kisah pilu sejumlah calon jamaah haji yang gagal berangkat ke tanah suci baik yang karena tertipu oknum atau Travel Haji maupun yang terkendala permasalahan administrasi, selama ini Pemerintah hanya berjanji akan memberikan sanksi administratif terhadap Biro/Travel Haji yang menyalahi prosedur padahal sesuai ketentuan pasal 46 UU No 13 Tahun 2008 hal tersebut dapat dikenakan pidana dengan ancaman 6 tahun penjara dan denda 1 miliar rupiah, Penegakan hukum terhadap kasus penyalahgunaan Ibadah Haji Plus ini perlu dilakukan untuk memberikan efek jera agar mampu melindungi calon jamaah haji dari praktek penipuan berkedok Haji Plus.
Penyelenggaraan Ibadah Haji sesungguhnya sangat multidimensi banyak pihak yang terlibat dan banyak hal yang terkait didalamnya, untuk itu profesionalisme pelayanan ibadah haji menjadi sebuah keniscayaan bagi pemerintah sebagai otoritas tunggal penyelenggara ibadah haji, kita semua berharap carut marut penyelengaraan ibdah haji dan kisah pilu calon jamaah haji yang gagal berangkat tidak menjadi sebuah ritual dan lagu wajib yang kita dengar setiap bulan haji tiba 
 *) Arief Rahman, SH
     ( Admin www.sangpencerah.id )