Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA : Ini Muhammadiyah, Bukan Dahlaniyah

Yogyakarta- Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang, termasuk dalam hal keputusan Tarjih. Hal ini karena dalam penentuan sebuah keputusan Tarjih diambil dengan cara mencari yang paling kuat dasarnya, bahkan bisa terjadi tidak sejalan dengan praktik yang dilakukan pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan. Demikian dikatakan Dr. Yunahar Ilyas ditengah Pengajian Mahasiswa, kamis (7/02/2008) di Kantor PP Muhammadiyah, Jl Cik Di Tiro Yogyakarta.

Menurut Ketua PP Muhammadiyah , Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan Kyai Haji Mas Mansyur, terjadilah revisi –revisi setelah melakukan kajian mendalam, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya do’a qunut di dalam shalat subuh dan jumlah rakaat shalat tarawih yag sebelas rakat. “ Ini wujud keterbukaan Muhammadiyah yang tidak fanatik” tegas Yunahar. “Karena ini Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” ungkapnya setengah berkelakar.

Ustad Yunahar lebih lanjut berkisah bahwa dahulu ketika Ahmad Dahlan muda bermukin di Makkah, sempat belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib yang saat itu juga bersama Hasyim Asyari yang kemudian menjadi salah satu pendiri Nadhatul Ulama. Karena Kyai Ahmad Khatib adalah seorang ulama bermahzab Syafii, maka praktik ibadah Kyai Dahlan banyak yang mengikuti fiqh Mahzab Syafii. Hanya saja, karena Kyai Dahlan mendapat tugas dari Syaikh Ahmad Khatib untuk mempelajari Al Mannar, karya Rasyid Ridha, maka Kyai Dahlan terpengaruh juga dengan pemikiran Rasyid Ridha yang menekankan tidak bermahdzab. “Contohnya, bila ada satu masalah yang kuat dasarnya Mahzab Syafii yang dianut Mahzab Syafii, kalau suatu masalah kuat Mahzab Hanafi, yang dianut Mahzab Hanafi” terang Yunahar. Hal inilah yang kemudian dianut Muhammadiyah, termasuk dalam pengambilan Putusan Tarjih.

Tradisi fiqh di Muhammadiyah sebelum 1929 memang tak berbeda jauh dari tradisi di NU. Jadi, buku itu tak terlalu mengejutkan (justru mengokohkan pandangan yg selama ini beredar). Perubahan di muhammadiyah itu terjadi, diantaranya, karena pengaruh Haji Rasul (dan Muhammadiyah Sumatra Barat) yang cukup menentukan corak pemahaman fiqh Muhammadiyah. Adagium yg cukup dikenal: Muhammadiyah lahir di Yogya, tapi secara ideologi dibentuk di Sumatra Barat. Peacock sudah pernah membahas persoalan ini. Pembentukan Majlis Tarjih di sekitar tahun 1928 juga mengokohkan pergeseran ini. Pendeknya, fiqh bukan menjadi concern utama Muhammadiyah awal, mereka lebih sibuk pada feeding (panti asuhan), healing (rumah sakit), dan schooling (sekolah).