Pemimpin Indonesia Pandai Retorika

Alangkah sudah nasib bangsa ini memiliki pemimpin yang gemar sekali
melakukan korupsi. Sepertinya rasa malu hanyalah hal yang tidak begitu penting
dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, asalkan gaya hudup tetap mewah
tidak peduli sekalipun rakyat sengsara. urusan akhirat (dosa) pun
ibarat  tiupan angin sepoi belaka membuat sadar sebertar kemudian
lenyap ketika dihadapkan setumpuk rupiah. Jika dicermati lebih jauh seolah-olah
dalam kursi pemerintahan negeri ini bak panggung sandiwara yang tidak pernah selesai
alur ceritanya. Lihat saja sejak adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
praktik korupsi yang terungkap ibarat bola salju ( Snow Ball )
semakin lama bergulir semakin besar pula temuan kasus-kasus yang
menjerat  para pejabat memalukan ini. sungguh
ironis pebuatan tidak bermoral semacam ini, sedikitpun bukan mencerminkan
ideologi pancasila yang tertuang dalam sila ke-dua yakni “ kemanusiaan yang
adil dan beradab”. 
Mental pemimpin kebal malu yang hanya mengedepankan
kepentingan memperkaya diri seperti inilah yang  kemudian akan
mencedrai makna politik sebenarnya, yaitu terciptanya kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat dan tujuan Negara. bahawa Negara ialah menghendaki
kehidupan yang baik, bahagia, dan terhormat demi terciptanya kehidupan
bermartabat. (Aristoteles,  1280-1281). Bukan tanpa usaha lantas
diam saja. sebagai penduduk negeri mengatasnamakan rakyat yang telah
terdholimi, mulai dari kritikan pedas lewat tulisan, aksi demonstrasi
besar-besaran seringkali digelar di berbagai daerah bahkan dengan membawa
karikatur bentuk pelecehan dan teriakan-teriakan penghinaan terhadap pelaku
koruptor, kecaman dari berbagai pihak, liberalisasi media yang kerapkali dalam
pemberitaannya memberitakan terang-terangan pejabat yang dituding korupsi,
semuanya telah dilakukan. namun semua itu hanyalah isapan jempol belaka tidak
membuahkan hasil sedikitpun untuk membuat koruptor malu apalagi jera, seolah
mereka tuli dan skeptis akan hal itu. Seringkali pejabat yang terindikasi kasus
korupsi, mereka berucap lantang dan tegas tidak melakukan perbuatan memalukan
itu, ketika persoalan tersebut ditanyakan kepadanya. Bahkan menantang kenyataan
yang ditudingkan terhadapnya. Akan tetapi pada kenyataannya mereka benar-benar
melakukan, kemudian baru menyesali perbuatannya dengan berimbuh isak tangis
layaknya peran dalam sinetron. Bahkan beberapa diantara mereka masih bisa
tertawa lega menampilkan mimik muka tidak berdosa ketika sorot kamera media
menatap mukanya.
Kepercayaan Publik Terhadap Parlement Menurun 
Orang-orang
Biasa memanggil Mbak Zur, perempuan berusia 35 tahun hidup disebuah
perkampungan kecil dipinggiran kabupaten Lamongan – Jawa Timur. Rumahnya
sepetak kecil dari anyaman bambu ukuran 3×6 meter terbagi ruang tamu,kamar
tidur, dapur, dan kamar mandi. Tidak ada perabotan rumah tangga lengkap, hanya
televisi untuk hiburan sehari-hari. Sebagai seorang ibu beranak satu yang duduk
dibangku kelas empat Madrasah setara SD bebannya cukup berat. setiap hari ia
harus menegeluarkan uang 20.000 untuk tetap mempertahankan hidup dan cita-cita
anaknya yang ingin terus sekolah. 3.000 untuk uang saku sekolah pagi, sekolah
sore (mengaji), dan jajan sehari, 17.000 untuk mempertahankan tungku masaknya tetap
menyala. Suaminya Mas To, sudah dua tahun belakangan mengadu nasib ke
Kalimantan bekerja sebagai kuli bangunan. Jika mas to bernasib mujur dalam
artian pekerjaannya lancar, ia mampu mengirimkan uang kerumah dengan rutin
sebulan sekali, untuk keperluan sekolah anak dan kebutuhan istrinya
sehari-hari, Karena listrik boleh numpang tetangga hanya membayar 20.000
sebulan. Seringkali juga kiriman telat lantaran gaji yang tidak kunjung dibayar
mandor proyek, pemandangan familier yang kerapkali menimpa pekerja-pekerja
kasar (buruh) negeri ini. Jika Mbak Zur hanya mengandalkan kiriman mas to saja
untuk mempertahankan hidup dikampung, sepertinya itu sangat mustahil. 
Sebagai
ibu yang akas (etos kerja tinggi) ia sering mencari sampingan menjadi
pekerja serabutan untuk menutup ketelatan kiriman mas to, ikut menjadi buruh
petani dengan upan 20.000. bekerja sejak jam brangkat sekolah anaknya
sampai  adzan dhuhur berkumandang, itupun masih harus membawa bekal
makanan sendiri dari rumah. Ketika matahari tepat berada diatas kepalanya dan
badan sudah terasa sangat lelah kulit tampak hitam memerah akibat panas yang
menerpa, mbak zur bergegas pulang. sampai dirumah pemandangan yang kerapkali
menyambut karena anaknya sedang menonton Tv diruang tamu, yakni liputan siang
yang memberitakan para pejabat negeri ini tersandung kasus korupsi. Tentu
perasaan yang berkecamuk akibat kesulitan ekonomi karena susahnya mendapatkan
pekerjaan, seketika pecah akibat pemberitaan tersebut. yang terlintas dalam
benak sebagai wong cilik hanyalah ungkapan mengeluh kalau
pemerintah hanya berebut uang dan menghiraukan nasib orang-orang seperti mbak
zur ini yang seharusnya diperhatikan. Dalam suasana santai mbak zur sering
mengisi waktu luangnya berkumpul dengan ibu-ibu yang berprofesi sesama buruh tani,
ngerumpi di pos kamling sebelah rumah.  Sebagai masyarakat awam yang
mengenyam pendidikan rendah mereka tidak mampu berfikir panjang, yang ada
hanyalah perasaan benci dan tidak percaya lagi terhadap pemerintah karena
merasa telah dibohongi. Ini hanyalah protret kecil kehidupan mbak zur dan
ibu-ibu dipinggiran kota lamongan, belum lagi mbak zur – mbak
zur  lain dan ibu-ibu di daerah-daerah lain. Jika dalam hal ini
pemerintah atau elit politik tidak segera mengatsinya dengan serius melalui
pencintraan atau perubahan sikap yang dibangun untuk mengembalikan kepercayaan
public, maka tidak menutup kemungkinan akan menghambat kelangsungan proses
demokrasi negeri ini. yakni terwujudnya kehidupan seperti tertuang dalam
pancasila yang hingga sekarang masih sebatas cita-cita bangsa. 
Berkaca Dari
Jepang  
Di Jepang para pemimpin berusaha memberi contoh, dan
rakyat pun patuh terhadap pemimpin. Pengabdian bukan lagi menjadi selogan,
namun diterjemahkan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Sudah banyak
pula dibicarakan tentang harakiri atau sepupuku, yakni memotong perut sebagai
ekspresi tanggung jawab jika lalai atau gagal mengemban tugas dengan baik.
tidak jarang pula para pemimpin jepang mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai bentuk tanggung jawab terhadap tugas dan kepercayaan yang telah
diberikan kepadanya. Bangsa Indonesia sebagaimana kita ketahui banyak memiliki
kearifan lokal dan slogan-slogan yang sangat baik, yang bisa lebih merekatkan
dan mempertebal semangat kebangsaan. Namun sepertinya belum dimanfaatkan secara
maksimal, dan hanya berhenti sebagai slogan semata. Hal tersebut belum
dimasukkan kedalam program yang lebih sistematis dan dilaksanakan secara
berkelanjutan seperti yang sudah jelas tertera dalam sila satu sampai sila
kelima pancasila. Dengan tulisan ini, maka penulis berharap dapat dijadikan
sebagai bahan renungan kembali akan kearifan lokal yang bersifat Universal dari
bangsa Indonesia. Sehingga dapat dijadikan pegangan dalam berfikir dan
berperilaku dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.          
  Oleh :  Miftahul Firdaus. ,
                Mahasiswa
Universitas Trunojoyo Madura, Jurusan Ilmu Komunikasi Politik.
                Pimpinan
Ranting Pemuda Muhammadiyah Gempolpading-Pucuk