MEMULAI PUASA TANGGAL 9 JULI 2013 ADALAH PILIHAN TEPAT DAN ILMIAH

#) Catatan dari Sarasehan Hisab Rukyat Majelis tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah 13 Juni 2013

Untuk Ramadlan 1434 ketinggian
hilal pada 8 Juli 2013 bisa
dikatakan relatif rendah hanya sekitar  0° 44’
59″ (di
Yogyakarta) Kondisi ini mungkin akan membuat umat Islam di Indonesia mengawali puasa
Ramadlan tahun ini kembali berbeda.
Sebagian akan berpuasa pada 9 Juli 2013, sebagian yang lain sangat mungkin berpuasa
mulai tanggal 10 Juli 2013. Menyikapi
hal itu Prof Tono Saksono, PhD (Profesor Madya, Faculty of Civil and Environmental
Engineering, University Tun Hussein
Onn Malaysia, Johor) dalam acara Sarasehan Hisab dan Rukyat yang diadakan Majelis
Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah 13
Juni 2013 menyatakan bahwa secara astronomis, keputusan Muhammadiyah untuk
mengawali puasa pada tanggal 9
Juli sudah pas dan tepat.  
Dalam
pertemuan itu Profesor Tono juga menunjukkan bahwa kriteria imkanu rukyat yang
dipakai Kemenag yang terkenal dengan
formula 2-3-8 (Ketinggian hilal minimum 2°, sudut elongasi minimum 3°, dan umur hilal minimum
8 jam setelah konjungsi) sebetulnya
bukan kriteria ilmiah karena tidak sesuai dengan kaidah-kaidah saintifik yang
sesuai dengan common sense dan merupakan
kriteria yang bias dan tidak adil. Bagi Prof Tono, persyaratan visibilitas hilal (dasar imkanu rukyat)
sebetulnya sangat lemah secara
saintifik. Hal itu terlihat pada penjelasan dua fase bulan yaitu ketika bulan pada kuartal pertama
dan bulan pada kuartal ketiga. Pada
hari ketujuh orbit Bulan, bagian bercahaya Bulan yang tampak dari Bumi akan membentuk setengah
lingkaran. Ini disebut bulan
kuartalpertama (first quarter moon). Orang yang berdiri di satu titik di permukaan bumi sebenarnya
bergerak seiring dengan rotasi
bumi, yang kecepatan sudutnya sekitar 15° per jam. Bulan kuartal pertama (BKP) terbit
di ufuk timur pada sekitar tengah
hari di titik bumi orang yang berdiri ini. Pada momen ini, matahari akan berada kira-kira di
atas kepala orang tersebut. Namun,
orang ini tidak akan mampu melihat Bulan setengah lingkaran (BKP) itu karena memang
matahari terlalu terang. Karena
orang ini bergerak akibat Bumi yang berotasi, baru pada sekitar pukul 18:00 (Matahari tenggelam),
pria ini sadar bahwa ada
BKP, yang kira-kira berada tepat di atas kepalanya. BKP ini akan tetap tampak sampai
Bulan tenggelam di ufuk
Barat. Meskipun BKP
sebenarnya berada di langit dari sekitar
tengah hari sampai dengan tengah malam, orang
ini tidak bisa melihatnya antara siang dan Matahari terbenam karena intensitas
cahaya matahari terlalu kuat (kecuali jika mendung tipis). BKP yang berupa
setengah lingkaran Bulan yang bercahaya terang pun tidak akan terlihat ketika
intensitas sinar matahari terlalu kuat. Namun, tidak ada yang akan berani
mengatakan bahwa tidak ada BKP di atas langit sana antara tengah hari dan Matahari
terbenam hanya karena kita tidak dapat melihatnya. Jadi, kehadiran Bulan yang
bercahaya itu tidak harus dapat dilihat. Bagaimana mungkin kita mengharapkan
dapat melihat hilal yang sangat tipis? Oleh karena itu, terlepas dari
ketidakjelasan karena awan, kabut, dan faktor atmosfer lainnya, masalah
terbesar dalam merukyat hilal sebenarnya adalah intensitas sinar matahari. Demikian
juga pada kasus Bulan kuartal ketiga. Pada minggu ketiga orbit Bulan, bulan
kuartal ketiga (BKK) hanya terlihat antara tengah malam sampai matahari terbit.
BKK terbit pada sekitar tengah malam di ufuk timur, akan berada tepat di atas
kepala kita pada sekitar matahari terbit, dan akan tenggelam sekitar tengah
hari. Namun kita tidak akan dapat melihat BKK antara matahari terbit dan tengah
hari karena sinar matahari melemahkan visibilitas bagian Bulan yang bercahaya.
Serupa dengan penjelasan di atas, tidak akan ada orang yang berani mengatakan
bahwa tidak ada BKK antara Matahari terbit dan tengah hari hanya karena ia
tidak mampu melihat Bulan. Sekali lagi, apalagi untuk melihat hilal, bahkan BKK
yang berupa setengah lingkaran Bulan yang bercahayapun akan sulit terlihat. 
Selanjutnya,
Prof Tono juga menyatakan pada saat maghrib tanggal 8 Juli 2013, ketinggian
hilal sekitar 0.7° di Jakarta, sedangkan di Merauke, posisi hilal akan berada
di bawah ufuk sekitar 0.2°. Sementara data astronomis untuk tanggal 9 Juli 2013,
ketinggian hilal di Jakarta 11.6° dan di Merauke 10.8°. Penganut
imkanu-rukyat tentunya akan menetapkan maghrib tanggal 9 Juli 2013 sebagai awal
masuk Ramadlan 1434 karena karakteristik hilal pada maghrib 8 Juli 2013 tidak
memenuhi persyaratan formula 2-3-8 yang “katanya” merupakan kriteria saintifik
dapat dilihatnya hilal. Kita akan lihat bahwa persyaratan ini tenyata bukan
persyaratan saintifik.

Tabel:
Karakteristik astmomis hilal di Jakarta dan Merauke pada 8 dan 9 Juli 2013
Data
astronomis juga memberikan informasi ketebalan hilal (dalam menit busur) di Jakarta
dan Merauke pada 8 dan 9 Juli seperti terlihat pada kolom 4 dan 5. Dengan
interpolasi sederhana, rate perubahan posisi Bulan (akibat rotasi Bumi)dan
ketebalannya dapat dihitung dan diberikan di kolom 6 dan 7. Dengan data ini,
posisi dan ketebalan hilal pada 9 Juli 2013 dapat dihitung secara kasar (lihat
kolom 8 sl d 11). Dengan memperhitungkan rate perubahan posisi dan ketebalan
hilal pada tabel, maka pada 9 Juli 2013 jam 7:52 WIB, hilal akan berada di ufuk
timur Jakarta pada ketinggian 23.64° dan ketebalan 0.255′. Karena pada maghrib
8 Juli ketebalannya hanya 0.05′, maka ketebalan hilal pada jam 7:52 WIB 9 Juli
ini, hilal telah bertambah besar sekitar 450% nya. Namun, meskipun hilal telah
sangat besar, karena sinar matahari pada jam 7:52 pagi sudah sangat terang,
maka hilal tidak akan tampak.
Harus
diingat bahwa BKP (bulan kuartal pertama) dan BKK (bulan kuartal ketiga) yang
dijelaskan di atas pun tidak akan tampak ketika Matahari bersinar terang.
Adakah orang yang tidak percaya bahwa ada hilal di ufuk timur Jakarta pada jam 7:52
tanggal 9 Juli 2013? Orang yang tidak percaya keberadaan hilal pada saat ini
pasti tidak percaya juga bahwa ada BKP dan BKK di langit kalau tidak tampak.
Sikap seperti ini sungguh sangat naif bahkan absurd. Menurut Prof Tono,
keabsurdan logika imanu rukyat ini dapat dilihat dengan lebih jelas dengan
analisis animasi stellarium khususnya pada tanggal 9 juli 2013. “Menurut
penganut imkanu-rukyat, (bulan) sabit sampai dengan jam 17:51 (satu menit
sebelum maghrib) pada 9 Juli 2013 adalah BUKAN HILAL. Dengan demikian kita bisa
bertanya, Apakah mereka mengira hilal itu “mecotot” dari langit? Ini Sungguh tidak
masuk akal, ini akibat melihat alam itu diskrit (descrete). Padahal alam tidak
diskrit. Pendukung imkanu-rukyat juga mengatakan bahwa hilal itu harus kelihatan
mata, kalau sudah tenggelam, bukan hilal lagi. Kalau tidak kelihatan karena intensitasnya
kalah oleh sinar Matahari juga bukan hilal. Dalam kasus awal Ramadlan 1434,
hilal itu adalah yang terbentuk saat Matahari telah tenggelam jam 17:52 pada
9-Juli-2013 Padahal, jam 18:42 (50 menit kemudian), Bulan (hilal) juga
tenggelam,” tegas Prof Tono. Hal ini menurut Prof Tono sama saja dengan
menganulir kesadaran dan logika umum. Logika umum tentang kehadiran hilal
(baca: wujudul hilal) selama sekitar 24 jam yang telah sangat jelas pada 9 Juli
2013, justru dianulir hanya karena pada maghrib 8 Juli 2013, hilal tidak
kelihatan (kita tidak bisa melihat). Padahal momen yang sangat menentukan pada
maghrib 8 Juli 2013 itu hanya berlangsung sekitar 2 menit, karena Bulan segera
tenggelam pada jam 17:54. Selanjutnya, Prof Tono juga mengatakan bahwa pada 5
Mei 2008, Martin Elsasser, seorang astronom profesional Jerman memecahkan rekor
dunia dalam memotret hilal tertipis yang pernah ada. Meskipun kehadiran awan
tebal setelah konjungsi geosentris (ijtimak) telah menyebabkan diskontinuitas
rangkaian foto-fotonya, hasil pemotretan yang dilakukan di sekitar Observatorium
Umum Munich, betul-betul hampir sempurna. Elsasser menggunakan instrumentasi
fotografi digital yang cukup berat dan kompleks. Dengan kameranya itu, Martin
Elsasser berhasil memotret hilal hanya sekitar 45 menit setelah konjungsi
geosentris pada tanggal 15 Mei 2008. Jadi Elsasser mengambil foto ini pada saatMatahari
masih terang benderang (sekitar jam 3 sore). Melalui komunikasi pribadi dengan
Prof Tono, Elsasser mengatakan syaratnya adalah sudut elongasinya minimum 4.5°.
Pada Ramadlan tahun ini garis wujudul hilal tampak membelah Indonesia. Hilal di
wilayah Indonesia bagian barat akan berada di atas ufuk saat maghrib. Sedangkan
hilal di wilayah timur Indonesia akan berada di bawah ufuk sekitar 0.2°.
Menurut
Prof Tono, para ulama mendefinisikan pergantian tanggal itu terjadi pada saat
maghrib. Namun anehnya, pendefinisian pergantian harinya masih mengikuti
kalender Gregorian, yaitu pada tengah malam. Jadi, seharusnya, para ahli syar’i
konsisten dalam pendefinisian pergantian tanggal dan hari. Jika tanggal sudah
berganti, maka haripun seharusnya berganti. Jadi, batas untuk mulai berpuasa
itu sebetulnya bukan maghrib. Tapi, saat kesadaran kognitif kita mengatakan
bahwa pada saat harus dimulainya puasa (subuh) hilal sudah wujud, maka hari
itulah harus dimulai berpuasa. Meskipun pada saat maghrib 8 Juli hilal di bawah
ufuk, namun ternyata hilal telah wujud sangat besar menjelang subuh 9 Juli di
Merauke (270% lebih besar). Sudah sangat jelas bahwa umat Islam di Merauke pun
sudah wajib mulai berpuasa sejak subuh tanggal 9 Juli 2013 yang akan datang. Sedangkan
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar menyikapi
kasus garis wujudul hilal ini dengan memakai pendekatan transfer rukyah. Pada
zaman Nabi, daerah yang hilalnya tidak kelihatan mengikuti daerah lain yang
hilalnya sudah kelihatan. Jadi daerah yang hilalnya sudah wujud (positif) ditransfer
ke daerah yang masih negatif. Prof Syamsul Anwar juga menyatakan kalau
berdasarkan penelitiannya terhadap Hadits-Hadits tentang “faqdurulah” cenderung
memberi ruang pada penggunaan ilmu hisab daripada menggenapkan Sya’ban 30 hari.
Hadits Penggenapan Sya’ban menjadi 30 hari banyak bertentangan dengan Hadits
lain yang juga diriwayatakan Ibnu Umar bahkan bertentangan dengan pandangan
praktik Ibnu Umar (periwayat Hadits) itu sendiri yang memilih memendekkan
Sya’ban menjadi 29 hari ketika cuaca berkabut. Oleh karena itu menurut Prof
Syamsul Anwar hisab sama sekali tidak bertentangan dengan Sunnah Nabi karena
perubahan penentuan awal bulan dari rukyah ke hisab ini sudah memenuhi dasar
syar’i yang jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw 
sumber : Majalah Suara Muhammadiyah edisi 14/2013