Melacak Sejarah Muhammadiyah di Tanah Banjar

KALIMANTAN SELATAN dikenal sebagai salah satu
basis Nahdhiyyin terbesar di Indonesia. Dari daerah ini, lahir beberapa
tokoh tradisionalis yang cukup menasional seperti Idham Chalid (mantan Ketua
PBNU) atau Syekh Arsyad Al-Banjari (penulis Kitab Sabilal Muhtadin). Namun,
siapa sangka, Muhammadiyah juga memiliki akar yang kuat dan tak bisa
disepelekan peran-peran kesejarahannya.
Tulisan ini akan menceritakan sejarah
kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di Tanah Banjar, Kalimantan Selatan. Di
bumi ini, Muhammadiyah terkenal sebagai basis ‘kaum muda’ yang pertama kali
membawa paham modernis yang memperbarui pemahaman keagamaan masyarakat.
Alabio: Tanah Kelahiran
Berdasarkan penelitian Lemlit IAIN Antasari di tahun 2009, Muhammadiyah
di Kalimantan Selatan  berdiri di mulai
dari  Alabio  pada tahun 1925 yang dipelopori H. M. Japeri
dan  H. Usman Amin. Baru setelah itu
menyebar ke Rantau (1937), Kandangan (1931), Martapura dan Banjarmasin (1932),
Haruai (1934), dan Marabahan (1939).
Mungkin agak sulit membayangkan bahwa Muhammadiyah, sebuah organisasi
keagamaan yang disebut-sebut “modernis” -jika tipologi ini bisa
dipakai- bermula perkembangannya di Bumi Kalimantan Selatan pada sebuah ‘desa’
yang letaknya hampir 5 jam dari Kota Banjarmasin dan terletak di hulu sungai bagian
utara: Alabio.
Berbicara Muhammadiyah di Banjar memang takkan terlepas dari Alabio. Meskipun
berkembang pesat dan bermarkas di Banjarmasin, Muhammadiyah terlebih dulu maju
dan berkembang dari desa ini. Sampai-sampai, pada tahun 2010 silam calon Ketua
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah seakan-akan ‘dipilih’ pada latar primordial ini.
Begitu penting dalam latar sejarah persyarikatan di Banua.
Alabio berjarak sekitar 5 jam perjalanan dari Banjarmasin. Wilayah ini
sekarang masuk teritorial Hulu Sungai Utara. Warganya beternak itik 
(bebek) yang menjadi ciri khas daerah ini. Begitu masuk ke Jembatan
Alabio saja kita sudah disambut dengan patung itik.
Namun, selain beternak itik, jiwa dagang Urang Alabio juga kuat. Daerah
ini juga dikenal dengan kelakar humornya, “mahalabio”, yang
menjadikan sesuatu yang serius menjadi candaan -karena diungkapkan dengan
ambigu. Humor khas urang Banjar ini
mungkin menjadi salah satu sebab mengapa pergumulan kaum muda dan kaum tuha
tidak berlatar konflik social, sekaligus menandakan kepandaian ‘urang banjar’
dalam bersilat lidah.
Posisi Alabio ‘terkepung’ di antara wilayah basis kaum Nahdhiyyin,seperti, misalnya, Amuntai
(yang terkenal dengan KH Idham Chalid, mantan Ketua Umum PBNU), Pemangkih (Tuan
Guru H Muhammad Ramli, pondok pesantren Ibnul Amin), atau Danau Panggang (Tuan
Guru KH Asmuni/Guru Danau). Namun, dari daerah inilah bersemi benih
‘modernisme’ Muhammadiyah yang bergumul dengan tradisi ‘kaum tuha’ di Hulu
Sungai.
Latar Keagamaan Masyarakat Banjar
Sebagaimana jamak kita pahami, modernisme Islam biasanya berakar di
wilayah-wilayah perkotaan. Di Jawa Tengah, misalnya, Muhammadiyah tumbuh pesat
dari Yogyakarta, kota yang bersemai tradisi keraton yang cukup kuat. Wilayah
lain di mana Muhammadiyah tumbuh pesat adalah Pekalongan, kota batik yang
berada di pesisir utara pulau Jawa.
Di Jawa Timur, Muhammadiyah terkembang dari Tambak Beras, di mana KH Mas
Mansyur berdialektika dengan KH Wahab Chasbullah tentang modernitas, menjadikan
mereka berpisah menjadi pimpinan dua organisasi Islam yang saling berhadapan.
Secara sosiologis, kita dapat memetakan pola konsentris masyarakat di
Kalimantan Selatan menjadi dua bagian besar (lihat, misalnya: Darliansyah
Hasdi, 2009).
Pertama,masyarakat pahuluan yang tinggal di hulu Sungai Barito. Masyarakat
Pahuluan ini tinggal di daerah yang kita kenal sebagai ‘banua lima’ (Rantau,
Kandangan, Barabai, Amuntai, Tanjung). Ciri khas masyarakat ini adalah,
kebanyakan, tidak bisa menyebut huruf ‘e’ dan ‘o’. (ciri khas urang pahuluan).
Kedua,masyarakat Banjar Kuala yang tinggal di muara Sungai Barito, dari
Marabahan, Banjarmasin, Banjarbaru, Martapura, Pelaihari. Entah mengapa, banyak
di antara urang Banjar Kuala ini (termasuk saya) yang tidak bisa menyebut huruf
R. Ini jadi ciri khas tersendiri.
Wilayah Banjar Pahuluan dulu pernah menjadi ibukota kerajaan Banjar
Hindu. Ibukota kerajaan pernah berpusat di Amuntai (Candi Agung) dan Margasari
Rantau. Namun, masuknya Islam di abad ke-16 dengan berdirinya Kerajaan Banjar
di Kuin mengubah peta konsentrasi penduduk. Wilayah perkotaan menjadi berpusat
di daerah Muara.
Sehingga, jika kita lihat kategori masyarakatnya secara sosiologis,
‘kelas menengah’ akan banyak berada di wilayah Muara Sungai, terutama
Banjarmasin. Mengapa? Sebab posisinya strategis, berada di Muara Sungai yang
berarti membuka hubungan dengan pihak luar. Ini sebabnya dari dulu Banjarmasin
terkenal sebagai kota perdagangan.
Sementara itu, pada abad ke-18, Kesultanan Banjar memindahkan pusat
pemerintahannya ke Martapura (dulu bernama Kayutangi). Di era inilah lahir
seorang ulama kenamaan, Syekh Arsyad Al-Banjari yang berdakwah dari Dalam Pagar
(tanah yang diberikan oleh Sultan Rahmatillah). Sehingga, secara sosiologis ini
menjelaskan mengapa wilayah Martapura sangat religius dan sangat fanatik dengan
ulamanya.
Pembentukan ‘style’ faham keagamaan masyarakat Banjar, menurut saya,
berakar dari tipologi ini. Jika kita simpulkan secara linear, seharusnya dengan
interaksinya yang mudah dengan pihak luar, Banjarmasin akan sangat ‘modernis’.
Sementara itu, wilayah Martapura akan sangat fanatik dengan “Tuan
Guru”-nya, terutama dengan ‘trah’ Palampayan (sebagai contoh, ada Mufti KH
Jamaluddin dari Surgi Mufti atau KH Zaini Ghani dari Sekumpul yang merupakan
keturunan Syekh Arsyad Al-Banjari). Ini bisa dilihat dari posisi Guru Sekumpul
yang sangat disegani dan ketika beliau meninggal, masyarakat merasa kehilangan
yang sangat besar.
Adapun Hulu Sungai, yang masyarakatnya banyak berhuma dan mencari nafkah
dengan menangguk ikan (terutama di wilayah HSU), akan bertipe tradisional
dengan solidaritas organik -meminjam bahasa Durkheim- yang sangat kuat.
Masyarakatnya hidup mengelompok, sehingga tidak terkonsentrasi oleh
figuritas ulama yang sangat dominan. Sebagai gantinya, menjamur pesantren
sebagai wadah kaderisasi ulama. Seorang rekan penulis pernah mengatakan bahwa
hal ini membedakan ‘tipe’ ulama di Hulu Sungai dan Martapura.
Jika kesimpulan tersebut kita ikuti secara linear, maka Muhammadiyah
seharusnya tumbuh pesat dari wilayah Muara. Hal ini memang benar dan
diafirmasi. Namun, pada faktanya, sebelum tumbuh di Banjarmasin dan wilayah
Muara, Muhammadiyah justru bergeliat dari Alabio. Bagaimana hal itu bisa
terjadi?
Kaum Tuha dan Kaum Muda
Sebagaimana dinyatakan Hairus Salim HS (2009), identitas suku dan agama
di Banjar memang punya ciri yang sangat khas, yaitu ada ‘ketumpang-tindihan’
dua identitas itu. Bagi urang Banjar, ada sebuah adagium ‘Banjar adalah Islam
dan Islam adalah Banjar’.
Menurut Hairus Salim, hal ini berimplikasi pada model keber-Islaman
orang Banjar yang sangat menjunjung tinggi tradisi agama, biarpun itu sudah
bercampur dengan sesuatu yang “di luar” agama (bahasa  kaum modernis: Bid’ah).
Hal ini terjadi di kalangan ‘Kaum Tuha’ menghadapi kelahiran kaum Muda
atau Muhammadiyah ini. Beragam perdebatan agama terjadi, dan itu akhirnya
menjadi sesuatu yang umum. Di Kandangan, Barabai, bahkan Banjarmasin,
perselisihan paham agama ini terjadi.
Muhammadiyah bahkan awal mulanya disangka ‘keluar dari agama’ karena amalannya
bertolak belakang dengan amalan Tuan Guru di pengajian. Misalnya, tidak pakai
qunut subuh atau tidak ber-ushalli dalam Shalat. Tetapi, karena keteguhan
prinsip agama dari para pendahulu, dialektika ini terjadi.
Ada sebuah istilah yang cukup sering digunakan melihat fragmentasi ini:
‘kaum muda’ dan ‘kaum tuha’. Kaum Muda merujuk pada kalangan Muhammadiyah dan
‘Islam Modernis’, sementara Kaum Tuha merujuk pada NU dan ‘Islam
Tradisionalis’.
Istilah ini mengemuka karena yang membawa Muhammadiyah ke Banjar adalah
orang-orang Muda. Nanti akan kita temukan pergumulan pedagang Usman Amin dan H.
Jaferi yang membawa Muhammadiyah ke Alabio.
‘Kaum Tuha’ kukuh dengan adat dan tradisinya. Mereka ditopang oleh
struktur pesantren dan jejaring pengajian (majelis Ta’lim) di desa-desa. Tuan
Guru biasa membacakan ‘kitab’ dan peserta pengajian membacakan. Relasinya
sangat kuat.
Guru menjadi figur yang sangat dihormati karena ke-alim-annya. Dalam
wilayah agama, tak ada yang bisa membantah kaum Tuha.
Belakangan, ada beberapa ‘kaum Muda’ yang kritis. Terlebih setelah akses
informasi atas kitab terbuka. H. Jaferi yang menuntut ilmu ke berbagai daerah
rupanya kurang puas. Ia berinteraksi dengan H. Usman Amin, seorang pedagang
Alabio di Surabaya yang sudah menerima Muhammadiyah.
Singkat kata, pergumulan dua orang ini melahirkan Muhammadiyah. Respons
kaum Tuha juga keras. Sebab, keberadaan Muhammadiyah akan merusak tradisi
keagamaan yang berpilar kuat di Kalimantan Selatan. Ini mungkin dampak dari
kultur masyarakat Banjar yang monolitik dalam keagamaan -meminjam bahasa Hairus
Salim.
Dan pertentangan ini terkadang menjalar juga pada relasi sosial. Kaum
Muda dan Kaum Tuha menjadi sebuah fenmena sosial tatkala faham keagamaan juga
meluber hingga pergaulan di warung-warung, di rumah-rumah, atau bahkan pada
soal sosial lain.
Di Alabio, rupanya hal ini terjadi. “sungai” seakan menjadi
pembatas, mana wilayah kaum muda dan mana daerah kaum Tuha. Yang di seberang
sungai terkadang ‘kada merawa’  (tidak bertegur sapa) dengan kaum muda, atau perdebatan berakhir agak panas.
Tetapi, kerukunan tetap terjaga, karena terkadang pula terjadi
pernikahan antara ‘kaum muda’ dan ‘kaum Tuha’. Sesuatu yang bagi saya agak
lucu, mengingat pada tingkat ‘mertua’ atau ‘keluarga’ perbedaan pendapat dalam
hal agama terkadang membawa pada kada
berawaan
(tidak bertegur
sapa),walaupun setelah di mesjid berjamaah
lagi.
Friksi dan Pergumulan yang lebih bersifat intelektual ini jelas
dipengaruhi oleh soal-soal sosial. Maka, yang jadi pertanyaan, mengapa justru
Muhammadiyah bertumbuh dan berkembang dari sebuah desa yang ‘terkepung’ oleh
tradisionalisme seperti Alabio?
Bermula dari ‘Surat-Menyurat’
Berbicara tentang Muhammadiyah di Alabio takkan lepas dari dua nama: H.
Jaferi dan H. Usman Amin. Menurut sejarah singkat Muhammadiyah di Alabio
yang tertera dalam situs resmi PW Muhammadiyah Kalimantan Selatan, Usman Amin adalah seorang pedagang asal Alabio yang bermukim di Surabaya.
Beliaulah yang pada mulanya berkenalan dengan Muhammadiyah.
Kemudian, datanglah seorang anak muda bernama H. M. Japeri. Ia sering mengadakan hubungan surat menyurat dengan beliau. Dari
sini, H. M.
Japeri mulai mendapat keterangan tentang adanya sebuah gerakan Islam di
Yogyakarta, yang bermaksud menyiarkan agama Islam yang murni, bersumber Alquran
dan Sunnah Rasul, dengan jalan mendirikan fasilitas pelayanan sosial.
H. M. Japeri adalah seorang ‘santri’ yang
cukup giat belajar agama. Ia mulai mengaji di Mekkah yang, dengan membaca majalah-majalah
yang berkaitan dengan gerakan kebangkitan Islam, memang sudah selalu mengikuti
perkembangan mulainya kebangkitan umat Islam. Semuanya itu klop dengan gerakan Muhammadiyah yang diterangkan oleh H. Usman Amin.
Pulang ke Alabio, pergumulan itu kian intens.
Beliau mulai mendakwahkan agama di masyarakat dengan cara baru. Sejak itu sudah mulai beliau dapati tantangan
dan reaksi dari ulama lainnya dan juga dari masyarakat yang tidak dapat
menerima perubahan-perubahan itu.
Pada bulan Maret 1923, beliau berangkat ke Yogyakarta untuk  mengantar puteranya untuk sekolah memasuki HIS
met de Quran yang didirikan oleh Muhammadiyah. Inilah awal mula persentuhan
HM Japeri dengan Muhammadiyah. Dengan ditemani oleh H. Usman Amin dari Surabaya, kunjungan beliau ini
dimaksudkan untuk menelisik lebih dalam pergerakan Muhammadiyah di Yogyakarta.
Disampaikan oleh PW Muhammadiyah Kalsel, beliau tidak sempat bersua dengan KH. Ahmad
Dahlan, karena sudah meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1923.  Sekembalinya dari Yogyakarta dan setibanya di
Alabio dalam bulan April 1923, H. M. Japeri langsung mengadakan musyawarah
dengan tokoh masyarakat secara resmi mendirikan organisasi
Muhammadiyah di Alabio.
Assabiqunal awwalun Muhammadiyah
di Alabio, ialah alm. H. Djantera, H. Arsyad, H. Abulhasan, H. Sahari, H. Hanafiah,
H. Bastami, H. Achmad (penghulu), H. Ahmad Hudari, H. Mansur, H. Hasbullah, H.
Japeri Hambuku, Abdullah Maseri, H. Tahir (penghulu), Bastami Jantera , H. Nasri, dan lain-lain. H. M. Japeri kemudian menjadi anggota Muhammadiyah pertama untuk Kalimantan. Kartu anggota (bewys van
Jidmaatschap)
Muhammadiyah beliau bernomor I/12.541.  
Laman Informasi Bubuhan
Banjar
mencatat bahwa pada tahun, 1929 Muhammadiyah
Alabio mengadakan Konperensi I yang dihadiri salah satu Pengurus Besar Muhammadiyah: Buya A.R. Sutan Mansyur.
Sementara di
Banjarmasin, perkembangan Muhammadiyah beriringan dengan masuknya Sarekat
Islam. Salah satu tokoh penting dari perkembangan Muhammadiyah di Banjarmasin
ini adalah Kyai Hasan Corong, seorang ambtenaar di pemerintahan yang
juga bersimpati dengan dakwah pembaharuan. Menyusul beberapa tokoh seperti
Abdul Karim Corong (pendiri RK Family
Bond)
dan tokoh-tokoh lain.
Mengingat
perkembangan yang pesat ini, Kalimantan Selatan kemudian mendapatkan
kepercayaan dari Pengurus Besar  untuk menggelar
Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin yang berlangsung dari tanggal 15 s.d.
22 Juli 1935. Kongres yang kemudian memilih KH. Hadjid ini dihadiri oleh sekitar 400 orang peserta, dari seluruh perwakilan
Muhammadiyah dan Aisyiyyah di Hindia Belanda.
Itulah Muhammadiyah, menyebar dari sebuah desa bernama Alabio. Memang
tidak bisa dikatakan bahwa semua orang Alabio adalah ‘kaum muda’. Ada juga
‘kaum tuha’ di sini, tapi dialektika itu bermula dari sini, dan juga berjalan
dengan harmonis di desa kecil ini.
Di Alabio pula berdiri salah satu Mesjid Muhammadiyah tertua di
Kalimantan Selatan, Mesjid Al-Amin. Mesjid ini diberi nama dari pendiri
Muhammadiyah, H. Usman Amin. Mesjid ini awalnya bernama mesjid Kajang, tidak
jauh dari Muara Tapus.
Di samping Mesjid, ada Madrasah Muallimin Alabio yang kini dikembangkan
menjadi Pesantren yang langsung dikelola oleh PW Muhammadiyah Kalsel. Salah
satu pesantren Muhammadiyah di antara pesantren kaum tradisionalis. Amal usaha
yang mula-mula berdiri, selain sekolah, adalah panti asuhan di pertengahan
dekade 1930-an.
Muhammadiyah  dengan megah berdiri
dari sebuah desa yang tak begitu besar: Alabio. Itulah sebabnya, beberapa tokoh
Muhammadiyah Kalimantan Selatan adalah Urang
Alabio.
Sebut saja, misalnya, Syarwani Nunci, Adijani Al-Alabij, Umransyah
Alie, Riza Rahman, Khairullah, sampai Abdul Chalik Dahlan.
Sudah berulang kali Ketua Muhammadiyah dijabat Urang Alabio. Mungkin H. Hasan
Tjorong atau Gt Abdul Muis jadi pengecualian, karena beliau berdua berasal dari Banjarmasin dan Martapura. Tapi tetap saja banyak Urang Alabio-nya.
Mesjid dan Pengajian
Salah satu variable yang tak bisa dipisahkan dari Muhammadiyah di tanah
Banjar adalah ‘Mesjid’ dan ‘pengajian’. Hal ini sudah menjadi ‘menu utama’
Muhammadiyah di Kalimantan Selatan. Jika anda rutin mengikuti pengajian di Mesjid-Mesjid
di Kota Banjarmasin, jadwal anda pasti akan penuh; sebab setiap selesai Maghrib
dan Subuh, ada saja mesjid yang mengadakan pengajian.
Salah satu ciri khas pengajian Muhammadiyah di Banjarmasin adalah
tradisi ‘bertanya’ (batakun). Ini
yang membedakan pengajian Muhammadiyah dengan kaum Nahdhiyyin. Setiap selepas pengajian, Ustadz tidak langsung menutup
materi. Pasti ada sesi Tanya jawab yang diberikan.
Menariknya, sesi Tanya jawab ini selalu penuh dan terkadang para Ustadz tidak bisa menjawab langsung.
Sebab, jama’ah banyak yang kritis. Apalagi yang menyangkut soal ibadah mahdhah, harus mempersiapkan diri
dengan dalil bahkan terkadang harus dijawab dengan mengulas kaidah ushul fiqh yang jelas.
Itulah sebabnya, pembicaraan keagamaan selalu menarik. Bahkan ada Mesjid
yang membatasi Ustadz hanya bicara selama 10-15 menit dalam pengajian. Sisanya,
tanya jawab.
Bicara soal Mesjid Muhammadiyah, ada keunikan masing-masing. Beberapa Mesjid
yang bisa disebut karena menyimpan cerita sendiri adalah Mesjid Al-Jihad di
Cempaka Besar, Mesjid Ar-Rahman di Kampung Melayu, dan tentu saja Mesjid
Al-Amin di Alabio.
Mesjid Ar-Rahman terkenal dengan Gusti Abdul Mu’is, salah satu pemikir
terkemuka di tanah Banjar. Gusti Abdul Muis adalah mantan Ketua PW Muhammadiyah
Kalsel di era 1970an hingga akhir hayat beliau. Dikenal sebagai figur
intelektual, beliau sangat mumpuni di bidang keagamaan, terutama Tasawuf. Selain itu, dikenal pula
sebagai tokoh Masyumi yang berkawan dekat dengan M. Natsir dan sempat menjadi
anggota DPR dari tahun 1950-1960
Beliau mengembangkan kajian-kajian Tasawuf dari Mesjid Ar-Rahman di
Kampung Melayu. Dari sana, muncul beberapa buku yang beliau tulis bertema
Tasawuf. Tasawuf yang beliau kembangkan sangat bercorak Muhammadiyah, dengan
titik tekan pada Akhlaq (hal yang akan kita temui juga pada pemikiran Buya
Hamka). Beliau juga mengasuh pusat perkaderan ulama di Banjarmasin, yaitu Kulliyatul Muballighin.
Selain Ar-Rahman, salah satu Mesjid yang terkenal adalah Mesjid
Al-Jihad. Kini, mesjid tersebut telah menjadi salah satu Mesjid terbesar di
Kalimantan Selatan. Al-Jihad dirintis oleh tokoh Muhammadiyah Alabio yang
bermukim di Banjarmasin dan tinggal di sekitaran Cempaka Besar.
Berdasarkan catatan sejarah, Mesjid ini lahir dari perjuangan
Muhammadiyah untuk tumbuh. Ketika itu, di lingkungan Muhammadiyah Cempaka,
tidak ada Mesjid. Ada beberapa tanah warga Tionghoa yang beragama non-Islam.
Suatu saat, ada warga Tionghoa yang ingin menjual tanahnya ke warga
Muhammadiyah, namun harganya cukup mahal untuk ukuran waktu itu. Jika tidak
diambil, maka sudah ada pemuka agama lain yang siap membeli tanah itu dan
menjadikannya gereja.
Singkat kata, berundinglah tokoh-tokoh Muhammadiyah di SD Muhammadiyah
8. Akhirnya, diputuskan untuk membentuk panitia yang harus bekerja dalam waktu
singkat mengumpulkan dana untuk membeli tanah. Segala upaya dilakukan. Ada
ibu-ibu warga Muhammadiyah yang menyerahkan perhiasannya. Ada pula Bapak yang
bahkan sampai ingin merelakan sepedanya buat disumbangkan ke panitia, namun
akhirnya dicegah karena itu adalah sepeda beliau satu-satunya dan digunakan
untuk mencari nafkah.
Akhirnya, terkumpullah dana itu dan berdirilah Mesjid Al-Jihad. Mesjid
tersebut kini menjadi salah satu pusat dakwah Muhammadiyah di lingkungan
Banjarmasin. Selain menjadi pusat pengembangan dakwah, kawasan ini juga menjadi
pusat pengembangan ekonomi dan pendidikan, yang sangat aktif amal usahanya dan
dikelola secara professional.
Maka, susah jika kita memisahkan Muhammadiyah di Tanah Banjar dari
mesjid dan pengajian. Inilah yang membuat Muhammadiyah hingga kini tumbuh
sebagai salah satu organisasi masyarakat yang sangat produktif di Banjarmasin.
Tradisi Pengetahuan dan Ekonomi
Jika anda berjalan ke Mesjid Al-Jihad di Cempaka Besar, jangan terkejut
jika di sana banyak Urang Alabio. Di sana, kebanyakan masyarakat memang
berprofesi sebagai pedagang atau guru. Ini yang menjadi ciri khas Muhammadiyah
di tanah Banjar: kelas menengah yang kuat secara ekonomi dan intelektual.
Harus diakui, kebanyakan Urang
Alabio
yang menjadi anggota Muhammadiyah adalah pedagang dan guru. Di
Banjarmasin, urang Alabio banyak yang jadi jamaah Mesjid Al-Jihad, dan
rata-rata punya mobilitas sosial ekonomi cukup kuat dengan berdagang. Bahkan
seorang ustadz pun berdagang (Ustadz Riza Rahman). Beberapa menjadi pengusaha
top di Banjarmasin. Selebihnya, menjadi guru atau dosen seperti Prof. Ahmad
Khairuddin (Ketua PWM Kalsel sekarang).
Profesi berdagang, baik sekadar di pasar maupun di wilayah yang lebih
luas, mempengaruhi cara berpikir Urang Alabio. Bacaan kitab tidak lagi melulu
terpaku pada Tuan Guru karena pergaulan yang luas mengakibatkan bacaan
bertambah. Alhasil, daya kritis meningkat. Apalagi yang berprofesi sebagai guru
atau dosen, jelas akan bergumul dengan yang namanya bacaan.
Hal ini menyebabkan lahirnya semacam ‘kritisisme terhadap Tuan Guru dan
tatanan Tradisi menguat. Lahirlah ‘pemberontakan kultural’, semisal dengan
pendeklarasian Muhammadiyah. Posisi ini semakin kuat dengan masuknya beberapa ambtenaardi pemerintahan seperti Kyai
Hasan Corong ke Muhammadiyah di Banjarmasin. Masyarakat semakin teredukasi
dengan keberadaan Muhammadiyah.
Dalam corak berpikir semacam ini, kritisisme terhadap Tuan Guru menjadi
ciri khas pemikiran keagamaan kaum Muda atas kaum Tuha. Dan penjelasan seperti
ini bisa dibaca pada munculnya ‘kelas menengah’ Urang Alabiodi Kalimantan Selatan.
Lemlita IAIN Antasari pernah merilis penelitian tentang korelasi antara
profesi pedagang Urang Alabio dengan pemikiran keagamaan Muhammadiyah untuk
mengupas hal ini. Tesis Kuntowijoyo bahwa agama dipengaruhi oleh struktur
ekonomi bisa kita baca kebenarannya di sini.
Dan dengan hal ini, kemunculan Muhammadiyah di Hulu Sungai bisa terbaca
dengan lebih mudah. Alabio, dengan segenap ciri khasnya, menjadi salah satu
khazanah Islam di Kalimantan Selatan.
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa kelahiran Muhammadiyah di
Tanah Banjar sangat erat kaitannya dengan kemunculan kelas menengah. Mereka
adalah para pedagang yang banyak mencari pengetahuan dan berinteraksi dengan
lingkungan luarnya.
Dari sinilah kita akan mendapatkan penjelasan mengapa H Japeri bisa
bertemu dengan H Usman Amin, mendapatkan informasi mengenai persyarikatan,
bahkan menyekolahkan anak beliau di Mu’allimat Yogyakarta. Semua bisa terjadi
karena Muhammadiyah lahir dan besar dari pengetahuan.
Kini, Muhammadiyah di Kalimantan Selatan telah menjelma menjadi sebuah
organisasi yang cukup disegani. Dengan jaringan 13 cabang di Banjarmasin dan cabang-cabang
lain di seluruh Kalimantan Selatan, lengkap dengan panti asuhan, sekolah, Rumah
Sakit, Mesjid, hingga BMT, Muhammadiyah mengoperasikan aktivitas dakwahnya di
masyarakat yang mayoritas Nahdhiyyin.
Muhammadiyah lahir di Alabio dengan bermula dari ‘bacaan’. Dari
pengetahuan, berkembang menjadi pengabdian sosial. Tantangan ke depan adalah melestarikan tradisi ini. Kini, sudah seabad usia Muhammadiyah, semoga
semangat Muhammadiyah tetap tak luntur: mencerahkan bangsa, menuju masyarakat
utama.
Referensi
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar. Pergerakan
Muhammadiyah di Tanah Banjar.
Tasyakkur No. 1 Tahun 2012.
Hairus Salim. “Djohan Effendy: Kosmopolitanisme
se-Urang Banjar” dalam Ahmad Gaus AF. Sang Pelintas Batas: Biografi Djohan
Effendi.
PW Muhammadiyah Kalimantan Selatan. Sejarah
Awal Muhammadiyah di Kalimantan Selatan.
Diakses dari http://kalsel.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah.html
_________________________________. Gusti
H. Abdul Muis.
Diakses dari http://kalsel.muhammadiyah.or.id/content-19-sdet-kh-gusti-abdul-muis.html
Penulis: Ahmad Rizky
Mardhatillah Umar , PC Muhammadiyah Banjarmasin 4, Jamaah Mesjid Al-Jihad,
Banjarmasin, sekarang studi Hubungan Internasional di UGM, Yogyakarta.