Pilpres 2019, Diamnya Muhammadiyah: Teringat AR Fachruddin

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr.Haedar Nashir

Persyarikatan Muhammadiyah hingga kini berposisi unik dalam hiruk-pikuk pencalonan capres dan cawapres yang sekarang tengah heboh ini. Langgamnya tetap apolitis yang hanya diam dan menunggu hasil apa yang akan terjadi. Tidak terlihat nafsu yang menggebu dari para tokohnya untuk ikut-ikutan. Tak ada sosok anggota yang ada di jajaran elite Muhammadiyah (anggota PP Muhamadiyah) yang sibuk berkomentar, apalagi nekat ikut mencalonkan diri.

Seruan Ketua Umum PP Muhammadiyah soal calon capres dan cawapres datar saja. “Kalau boleh Muhammadiyah mengajak bahwa pada seluruh institusi agama dan keulamaan tetap menjadi basis bagi kekuatan moral yang mengharapkan bangsa ini lebih luhur,” kata Haedar Nashir seusai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Senin, 6 Agustus 2018.

Haedar dalam kesempatan itu juga menyampaikan bila pada pihak lain, pilihan berpolitik tetap merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Namun, dia juga meminta agar institusi politik menghormati institusi keagamaan serta tidak memanfaatkannya untuk sekadar meraih kekuasaan.

Bagi yang kenal pada langgam Muhammadiyah pasti paham akan gaya ini. Tidak ikut sibuk menjadi “pendorong mobil mogok” institusi politik. Persyarikatan ini lebih memilih minggir dalam area politik praktis. Mereka terus meneguhkan hati tetap berkhidmat pada umat dalam memberikan pelayanan sosial kemasyarakatan.

Apakah Muhammadiyah tidak paham politik? Jawabannya jelas tidak. Di sana banyak doktor politik yang paham akan soal siasyah (politik) dalam Islam dan juga paham yang ada di luarnya. Jumlah massanya sangat signifikan. Muhammadiyah adalah ormas Islam dengan jumlah massa kedua terbesar setelah NU. Bahkan, mereka relatif lebih solid dibandingkan ormas keagamaan lainnya. Semua terjalin rapi, termanajemen yang bagus, dengan sebaran di seluruh pelosok Indonesia.

Namun, Muhammadiyah memilih diam dalam soal poitik kekuasaan. Bahkan, dalam banyak perbincangan pemimpin, Muhammadiyah dari dahulu siap menanggung konsekuensi bila politik kekuasaan melupakannya.

”Tidak dibantu oleh yang berkuasa juga tak apa-apa. Sebab, bantuan penguasa tak boleh malah merepotkan kami,’’ begitu pernyataan yang sering terdengar di banyak kesempatan. Dari sebelum merdeka hingga kini seratus tahun setelah kemerdekaannya, Muhammadiyah memang mandiri. Baik secara sikap, bahkan hingga soal keuangan yang kadang bagi ormas dianggap sebuah hal yang musykil.

Selain itu, Muhammadiyah di masa lalu pun telah cukup kenyang dengan soal politik. Pelajaran pada masa Orde Lama, Orde Baru, bahkan Orde Reformasi telah mengajarkan bahwa pilihan untuk tegak lurus pada soal sosial kemasyarakatan adalah hal terbaik. Politik bukan hal yang begitu mutlak serta harga mati.
Salah satu pelajaran berharga diajarkan oleh sosok pendahulu dari KH Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusimo, hingga AR Fachruddin. Bahkan, Amien Rais sangat perlu dihargai jasanya dengan memilih berhenti menjadi ketua PP Muhammadiyah saat mendirikan partai politik. Salah konsepnya kala itu yang terkenal adalah politik garam (high politic).

Maka, jabatan yang didapat Amien Rais sebagai ketua PP Muhammadiyah pada awal dekade 90-an ditinggalkannya dengan sadar dan ringan hati. Padahal, dalam arena Muktamar Muhammadiyah kala itu, Amien mendapat dukungan suara yang hampir mutlak. Hingga kini, belum ada ketua umum PP Muhammadiyah yang terpilih di muktamar semutlak dukungan suara kepada Amien Rais saat itu.

Tapi, itulah Muhammadiyah. Namun, untuk makin mengenal seperti apa kiprah Muhammadiyah ketika terserempret soal masalah jabatan kekuasaan politik, sebaiknya mengacu pada sosok salah satu legeda Muhammadiyah: KH AR Fachruddin. Kisah ini dicuplik dari tulisan Saefudin Simon, mantan jurnalis Republika yang pernah tinggal serumah dua tahun lamanya dengan AR Fachruddin.

Kala itu Simon pada awal 80-an indekos di rumah Pak AR (kini kantor PP Muhammadiyah di Jogja) selama dua tahun lamanya untuk kuliah di Fakiltas Teknik Nuklir UGM. Dia menuliskan kesaksian tentang sosok dan gaya Pak AR dalam mengemudikan Muhammadiah dengan jenaka.
Hebatnya, berkah kisah ini buku tentang Pak AR yang ditulis Saefudin Simon laris manis. Dia kewalahan ‘ngurus’ pesanan karena bukunya tidak dijual lewat toko buku biasa. Meski begitu, dia sukses besar. Kisahnya tentang Pak AR Fachruddin pun kian melegenda. Di bukunya Simon (Pak AR memanggilnya dengan ‘Mas Udin’) menulis begini:

Namanya Abdul Rozak Fachruddin. Orang Yogya memanggilnya Pak AR. Tubuhnya gemuk, mukanya agak bundar. Suaranya berat, tapi enak didengar. Saya pernah kos di “rumah”-nya di Jl Cik Ditiro 19 A, selama hampir dua tahun.

Di awal-awal kos, sungguh aku tidak tahu siapa itu Pak AR. Saya nglamar kos di situ karena diberi tahu oleh sobat Ikhsan Haryono, mahasiswa matematika UGM, teman sekelasku.

Saya baru “ngeh” siapa itu Pak AR ketika Supodo–saat mahasiswa Fak Teknik Kimia UGM–memberi tahu siapa gerangan beliau.

Waktu itu saya tanya, kok banyak sekali kartu Lebaran dari orang besar sih Pak Podo, siapa sebenarnya Pak AR? Aku lihat di meja depan kamarku kartu Lebaran dari Pak Harto, Pak Wapres Umar Wirahadikusuma, Menteri Agama Alamsjah, Menteri Sosial, dan banyak lagi.

“Simon, Pak AR itu orang besar. Pak Harto saja sangat hormat kepada Pak AR,” kata Pak Podo. Pak AR itu ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah–tambah Pak Podo.
Oh, saya baru tahu siapa Pak AR setelah pemberitahuan Pak Podo tersebut. Kenapa demikian? Karena keseharian hidup Pak AR sangat sederhana. Seperti orang biasa lainnya dan sama sekali tak memoles citra atau ingin memberi tahu kepada orang lain bahwa dirinya ‘orang penting’.
(Pak AR) Ke mana-mana dia naik sepeda motor Yamaha mungil warna oranye engkel tahun 70-an. Suaranya sudah keretek-keretek karena terlalu tua. Apalagi kalau boncengan sama Bu AR, joknya gak cukup sampai bokong Bu AR nyaris menduduki lampu belakang motor.

Ya, hanya motor Yamaha butut itulah kendaraan miliknya. Makanan keluarga Pak AR juga sama dengan anak-anak kos seperti saya. Tahu, tempe, sayur lodeh, sesekali ada telur dan ikan. Anak-anak kos yang orang tuanya kaya, seperti Bang Udin (mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM) jarang makan di rumah. Ia memilih lebih banyak makan di warung Padang yang ada di kawasan Terban.

Selain itu, di depan rumah Pak AR yang kini menjadi Gedung PP Muhammadiyah, berdiri sebuah kios bensin eceran. Kalau saat itu ketika hendak melintas ujung jalan Cik Di Tiro (sebelum sampai di bundaran UGM), motor Anda kehabisan bensin dan ingin beli di kios itu, maka jangan heran bila dilayani Pak AR.

Suatu ketika, saat kultum usai shalat Maghrib, Pak AR bercerita bila ada orang dari PT Astra datang mau memberi hadiah mobil Toyota Corolla DX tahun terbaru (1980) untuk Pak AR. “Piye iki (bagaimana ini–Red), nyopir mobil saja nggak bisa. Parkirnya sulit. Repot kalau bawa mobil apalagi kalau harus masuk ke kampung-kampung di pinggir Kali Code untuk ceramah. Jalannya sempit gak bisa untuk mobil,” kata Pak AR. Saya terpaksa menolaknya, ungkapnya enteng.

Di lain waktu, Pak AR juga pernah bercerita ditawari jabatan Menteri Agama berkali-kali oleh Pak Harto. Pak AR tetap menolaknya. “Saya sudah cukup ngurusi Muhammadiyah saja Pak Harto, terima kasih,” katanya.

Meski demikian, bukan berarti Pak AR tidak pernah minta bantuan kepada Pak Harto. Sehabis kultum Subuh, Pak AR bercerita. Beberapa hari lalu saya kirim surat ke Pak Harto. Isi suratnya sedikit atau pendek sekali.

“Pak Harto, Muhammadiyah akan bangun universitas di Yogya. Menawi Bapak kerso monggo (Kalau bapak berkenan menyumbang, ya silakan–Red),” itulah surat Pak AR kepada Pak Harto.

Tak lama kemudian, Pak AR ditelepon ajudan presiden. Ada titipan dari Pak Harto untuk Pak AR. Benar, ada titipan cek yang cukup besar. Cek itu semua diserahkan ke kepada Panitia Pembangunan UMY.

Pak AR juga bercerita sering mendamaikan konflik antara militer dan tokoh-tokoh Islam. “Mendamaikannya cukup memakai tata krama Jawa yang halus,” kata Pak AR.
Kalau mentok, lanjutnya, ya ngomong ke Pak Harto. “Kalau sudah ke Pak Harto, semuanya selesai,” tuturnya.

Hubungan Pak AR dan Pak Harto memang sangat dekat. Komunikasinya pakai bahasa Jawa (Jawa krama/halus–Red). Pak Harto sangat menyukai Pak AR karena beliau tak pernah meminta apa pun untuk kepentingan pribadinya.

Tawaran menteri, jabatan, komisaris, mobil, rumah dari Pak Harto selalu ditolaknya. Kecuali untuk Muhammadiyah. Pak AR selalu ingat pesan KH Ahmad Dahlan: Hidup-hidupkan Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.

Pak AR tak pernah mau dikasih amplop kalau ceramah di manapun. Beliau paling suka kalau diundang orang-orang kecil di lembah Kali Code. “Kalau bukan saya yang ke Kali Code, siapa lagi,” ungkapnya.

Selain itu, aku juga selalu ingat pesan Pak AR. “Belajarlah untuk tidak mencintai dunia. Allah itu sangat pencemburu,” ujar Pak AR.

Pesan lain dari Pak AR yang juga terngiang sampai sekarang: “Kalau hatimu dipenuhi cinta dunia, lalu di mana tempat Allah di hatimu?”

sumber :republika