Muhammadiyah Bantah Beri Rekomendasi Daftar 200 Mubalig

Sangpencerah.id – Muhammadiyah membantah memberikan rekomendasi daftar 200 nama mubalig yang dirilis pemerintah. Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil A. Simanjuntak menolak namanya masuk ke dalam daftar 200 nama mubalig yang disarankan Kementerian Agama. Penolakan tersebut telah disampaikan kepada Menteri Agama dikarenakan ia merasa tidak layak masuk ke dalam daftar tersebut.

Dahnil mengatakan adanya daftar tersebut justru akan memunculkan sangkaan fitnah dan berbagai macam dugaan yang pada akhirnya akan menimbulkan perpecahan di kalangan mubalig. Daftar mubalig itu juga dianggap akan menimbulkan stigma di masyarakat mengenai perbedaan tarif di antara mubalig yang tidak tertera dalam daftar.

“Kemudian dituduh kalau mubalig yang 200 ini tarifnya beda, padahal kami sama sekali yang namanya mubalig bagi kami di Muhammadiyah itu tugas kesukarelawanan,” katanya saat ditemui di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Rabu (23/5).

Menurut Dahnil, mubalig bukanlah sebuah profesi, melainkan tugas sebagai seorang muslim. Terkait pernyataan Kementerian Agama bahwa nama-nama tersebut merupakan masukan dari berbagai pihak, termasuk Ormas, ditanggapi Dahnil dengan pernyataan tidak adanya rekomendasi yang diberikan Muhammadiyah untuk nama-nama tersebut.

PP Muhammadiyah justru menyayangkan tidak adanya dialog yang dilakukan Kementerian Agama bersama Ormas sebelum mengeluarkan daftar nama-nama mubalig. Ia pun menyarankan agar Kementerian Agama melakukan dialog intens kepada pihak-pihak yang berkaitan.

“Jadi, saran saya Kemenag lakukanlah dialog intens, jadi jangan sampai ada polemik baru adakan dialog, ini kan sekarang modelnya begitu ada polemik baru sibuk dialog,“ tuturnya

Dahnil juga menyarankan agar Kementerian Agama membuat kriteria sebagai solusi menghindari dai-dai yang ditakutkan melakukan ujaran kebencian dan memiliki pemahaman keagamaan yang tidak kompetibel. Selain itu Kementerian Agama juga diharapkan melakukan pembinaan-pembinaan kepada dai-dai yang tidak menyelaraskan keislaman dan keindonesiaan.

“Misalnya dai harus tinggi ilmu islamnya, tinggi pemahaman kebangsaannya baik dan sebagainya. Ya itu tidak masalah, kriteria itu disebar baru disampaiakan kebanyak kelompok agama islam,” ucapnya.

Pemberlakuan sertifikasi kepada mubalig-mubalig yang masuk ke dalam daftar pun dirasa tidak perlu oleh Dahnil. Adanya sertifikasi justru semakin menegaskan bahwa mubalig adalah sebuah profesi dan akan menimbulkan degradasi nilai dakwah itu sendiri.(alinea)