Ketum PP Muhammadiyah : Radikalisme Juga Ada di Politik

Sangpencerah.id – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr.Haedar Nashir meminta kepada elite politik untuk tidak memobilisasi emosi agama, golongan, suku dan ras. Sebab, menurut dia, radikalisme juga ada di dalam politik.

“Jangan mobilisasi emosi-emosi agama, golongan, suku, ras yang membuat para pemilih ini kemudian jadi radikal,” kata Haedar saat menghadiri Kajian Ramadhan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu (19/5/2018).

“Ingat, radikalisme itu juga ada di politik, yakni pilihan-pilihan politik yang serba berseteru keras. Bahkan, tokoh-tokoh politiknya menggunakan berbagai macam ujaran yang kemudian rakyatnya juga ikut, atau pendukungnya ikut. Nah, ini supaya politik tidak menjadi radikal,” terangnya. Haedar lantas menekankan pentingnya politik nilai. Menurut dia, politik nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia mulai luruh meski belum sampai pada tahap destruktif.

Luruhnya nilai-nilai politik dalam berbangsa dan bernegara itu bisa dilihat dari tiga hal, yakni nilai keagamaan, nilai Pancasila sebagai dasar negara dan jiwa kenegarawanan. “Satu, nilai-nilai agama yang hidup dalam kehidupan bangsa kita. Apapun, Indonesia itu tidak bisa lepas dari umat beragama dan agama. Apapun agamanya. Nah, kita berharap kehidupan kebangsaan itu meletakkan agama sebagai sumber nilai. Nilai jujur, nilai baik,” katanya. Berikutnya adalah nilai Pancasila, seperti nilai musyawarah.

Ia lantas menyinggung revisi UU Antiterorisme yang terbengkalai lantaran tidak menemui titik temu di antara elite politik dan pemerintah. “Yang kedua nilai Pancasila. Ini dasar yang resmi dalam kita berbangsa. Misalkan, nilai musyawarah. Biarkan kita sekarang sudah sistem politik yang bikameral liberal. Maka nilai musyawarah perwakilan itu harus tetap melekat,” katanya.

Selanjutnya adalah runtuhnya nilai kenegarawanan. Haedar melihat, sekarang mulai terjadi keretakan orientasi politik yang melebihi rasa kebersamaan. Hal ini jauh berbeda dari nilai kebangsaan dan kenegarawanan yang diletakkan oleh para pendiri bangsa. Ia mengatakan, meski terjadi beda pendapat di antara para pendiri bangsa, mereka tidak terbelah dan tetap bersama-sama menjadi tokoh bangsa.

“Ketiga tentu nilai-nilai dasar kebangsaan yang telah diletakkan oleh para pendiri. Dalam hal ini nilai kenegarawanan. Misalkan gini, para tokoh dulu Soekarno, Moh Hatta, Agus Salim, Ki Bagoes (Hadikoesoemo) itu kalau berdebat luar biasa. Tapi begitu selesai perdebatan mereka tetap sebagai tokoh yang bisa bersama,” katanya.

“(Mohammad) Natsir itu sering berbeda dengan (DN) Aidit. Tapi begitu keluar dari forum, diantar lah Aidit itu ke rumahnya pakai mobil dia. Tidak ada ini kan dalam sejarah sekarang. Tokoh politik saya harap belajar untuk lebih mengedepankan jiwa kenegarawanannya,” terangnya.(sp/kps)