Untuk Apa Berpolitik Lur ?

Oleh: Roni Tabroni *)

Kabar inspiratif pagi ini (26/3/2018) datang dari reporter Voice of America (VOA) Karlina Amkas yang disiarkan melalui saluran PRFM. Karlina mengabarkan dua informasi yang salah satunya terkait demo yang dilakukan para pelajar di Amerika.

Remaja sudah demo? Yap betul. Katanya para remaja di Amerika sedang resah karena berulang-ulangnya penembakan yang terjadi di Amerika Serikat, dan beberapa kali dilakukan di lembaga pendidikan.

Keresahan yang memuncak ini disebabkan dibolehkannya warga Amerika untuk memiliki senjata api. Undang-undang tentang kepemilikan senjata api menjadi salah satu penyebab terjadinya pembunuhan brutal oleh orang-orang prustasi dan tidak bertanggungjawab.

Uniknya, anak-anak remaja di sana melakukan demonstrasi bukan pada perilaku di hilir (penembakan brutal) tetapi mampu menemukan aspek hulu (regulasi) yang menjadi pemicu. Maka yang menjadi sasaran demo adalah amandemen Undang-undang.

Demonstrasi ternyata bukan akhir dari perjuangan anak-anak seumur jagung itu. Mereka bahkan membidik Pemilu Sela agar menghasilkan para wakilnya yg berorientasi pada amandemen Undang-undang yang dimaksud.

Lebih serius, para remaja itu juga berniat untuk menjadi politisi karena ingin langsung mengubah keadaan dengan tangannya sendiri. Targetnya jelas, bagaimana agar kepemilikan senjata di negara tersebut tidak sebebas saat ini. Mereka membayangkan sebuah situasi yang jauh lebih aman tanpa perilaku brutal dengan senjata sebagai alat pembunuh.

Anak-anak di Amerika itu semakin meyakinkan kepada kita bahwa politik itu penting. Bahwa segala apa yang ada di bawah matahari merupakan produk politik. Dari bangun hingga tidur lagi kita diatur oleh politik. Bahkan cara kita tidur dan nyaman tidaknya tidur, sangat terkait dengan keputusan politik.

Untuk itu, mengubah sebuah fenomena sosial harus berawal dari akarnya, yaitu Undang-undangnya. Menjadi politisi artinya akan menjadi penentu terhadap hajat hidup orang banyak. Inilah alasannya mengapa jadi politisi harus cerdas, bermoral, dan bijak. Jika politisi mudah tergiur kue sekerat maka mereka akan mengorbankan kepentingan yang lebih besar.

Hal lain yang cukup menarik yaitu terkait dengan motif. Menjadi politisi bukan untuk gagah-gagahan. Bukan hanya untuk lebih mudah akses ke pusat-pusat kekuasaan, bisa pakai jas kebesaran partai yang necis, bukan untuk lebih sering bertengger di gedung-gedung mewah dan hotel berbintang, bukan untuk lebih bertaring karena status politisi, atau karena ikut-ikutan tanpa target yang jelas.

Anak-anak tadi, ketika berniat menjadi politisi, terlebih dahulu menetapkan target. Agenda strategis apa yang akan diperjuangkan. Sejak dini mereka sudah berfikir agenda apa yang akan diperjuangkan kelak di gedung parlemen.

Pararel dengan agenda ke depannya, politisi akan lebih mudah menyampaikan pesan kampanye. Dari pada kampanye menyampaikan hal-hal yang absurd, tidak jelas, bahkan cenderung berjanji hal-hal yang tidak rasional, mereka akan mengedukasi publik dengan pandangannya terhadap sistuasi sosial yang ada, dan apa yang akan diperjuangkannya nanti. Tawarannya menjadi riil karena berbasis pada hasil analisis dan kajian yang tidak sederhana.

Kita di sini, patut apresiasi terhadap orang-orang yang mau dan terjun ke dunia pokitik praktis. Tidak banyak orang yang mau berjuang di wilayah ini. Partisipasi pokitik memang mahal, makanya diperlukan kesabaran dan perjuangan yang cukup panjang.

Karena sulitnya membangun partisipasi, maka politik harus dibangun dari visi. Menjadi politisi memiliki kesempatan untuk melakukan edukasi (salah satu kewajiban Parpol melakukan pendidikan politik). Memberikan keteladanan mulai dari ucapan sampai perilaku. Politik dijadikan sarana untuk membangun optimisme. Politisi harus mengikis publik yang nyinyir terhadap politik — bukan sebaliknya.

Menjadi politisi memiliki kesempatan lebih untuk membangun tatanan yang lebih baik. Di sini kita perlu apresiasi, bahkan kalau perlu menitipkan aspirasi kepadanya. Namun jika menjadi politisi pekerjaannya hanya untuk menaikan gengsi dan saling caci satu sama lainnya, maka jauh sebelum Pemilu publik sudah sebel terhadap politik.

*) Penulis adalah Pemerhati Komunikasi Politik, Wakil Sekretaris Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah