PSI, Anak-anak Muda Berjiwa Tua

Oleh : Bosman Batubara (Pengamat dan Aktivis Reforma Agraria)

Saya melihat bahwa Partai Solidaritas Indonesia (PSI), adalah partai para anak-anak muda berpaham (berjiwa) tua. Saya sebut demikian karena dua alasan. Pertama, tidak ada kementerian kooperasi dalam disain kabinet yang mereka keluarkan. Kedua, mereka menggabungkan kementerian infrastruktur dan agraria.

Saat ini di Indonesia, banyak sekali orang mendiskusikan dan membentuk kooperasi. Di segala sektor, misalnya, kedai kopi, media, perusahaan air perkotaan, toko, perkebunan, lembaga riset, lembaga keuangan, kepemilikan tanah, sistem manajemen penyediaan perumahan perkotaan, dan sebagainya. Ada yang sudah berhasil dan memiliki aset triliunan rupiah. Ada yang masih merangkak. Ada yang masih wacana. Namun, poinnya adalah: kooperasi sekarang, diakui atau tidak, menjadi salah satu bentuk badan ekonomi zaman now Indonesia. Dan yang tak kalah menggembirakan adalah, banyak dari kelompok-kelompok ini adalah anak-anak muda berusia 20 dan 30-an.

Dugaan saya, salah satu penyebab munculnya kooperasi menjadi satu diskursus dan praksis yang sangat berkembang di Indonesia belakangan ini adalah ketimpangan yang sudah sangat tinggi. Saya tidak perlu membahas ketimpangan itu di status ini. Masalah itu sudah didiskusikan di banyak tempat, oleh berbagai kalangan.

Namun, pendapat saya, corak produksi kapitalisme dalam dirinya mengandung masalah yang menyebabkan ketimpangan. Ini terjadi lewat hukum konsentrasi, sentralisasi, dan akumulasi dalam kapitalisme.

Konsentrasi terjadi dalam bentuk konsentrasi spasial, dimana kapital secara spasial mengumpul di kota macam Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan sebagainya dan meninggalkan kawasan lain, misalnya di luar Jawa, dalam kondisi yang tidak seperti kota-kota itu.

Sentralisasi adalah bentuk pemusatan nilai-guna di tangan para kapitalis. Di satu sisi, angka statistik memperlihat kecenderungan meningkat petani tuna kisma (tanpa tanah) dari total rumah tangga petani (21% pada 1983, 30% pada 1993, dan 36% pada 2003) dan penggusuran-penggusuran kaum miskin kota yang marak. Di sisi lain, kelompok seperti Ciputra justru hidup bergelimang tanah. Di Jabodetabek, pada 2016, Ciputra menguasai 1.022,7 hektar tanah, yang terdiri dari apa yang mereka sebut sebagai “saleable/developed land” seluas 234,3 ha dan “raw/undeveloped land” seluas 788,4 hektar.

Konsentrasi dan sentralisasi pada dasarnya menubuh dalam—memasilitasi dan difasilitasi oleh—akumulasi. Karena adanya konsentrasi spasial, maka harga tanah di Jabodetabek semakin tinggi dalam fungsi waktu, dan ini membuat kapitalis properti macam Ciputra melakukan akumulasi kapital yang lebih cepat. Karena dia bermain di “bank tanah”, yaitu membeli tanah dan menunggu hingga harganya makin tinggi. Sebaliknya, akumulasi kapital di Jakarta, semakin mempercepat terjadinya konsentrasi spasial. Hal ini mudah dipahami. Untuk menekan ongkos produksi, maka diciptakanlah kawasan Jabodetabek dimana pabrik dan hunian-hunian (tempat produksi dan tempat re-produksi) diset berlapis-lapis. Sentralisasi juga memasilitasi dan difasilitasi oleh akumulasi kapital. Hubungan pertama terjadi ketika orang macam Ciputra berhasil melakukan sentralisasi dari aset tanah yang memiliki nilai-guna. Selanjutnya, akumulasi ini semakin memasilitasi sentralisasi kapital, karena penguasaan banyak aset akan membuat orang seperti Ciputra semakin mudah melakukan sentralisasi kapital pada putaran berikutnya. Ini adalah spiral tiada akhir dari akumulasi kapital. Dan ini adalah spiral tiada akhir dari produksi ketimpangan itu sendiri.

Kooperasi adalah bentuk usaha yang secara teoretis potensial menjadi tandingan bagi corak produksi kapitalisme. Ini secara teoretis bisa dipahami karena dalam kooperasi ada prinsip satu orang satu suara dan pembagian sisa hasil usaha. Prinsip satu orang satu suara adalah manifestasi dari demokrasi politik. Sementara pembagian sisa hasil usaha adalah manifestasi dari demokrasi ekonomi. Jadi, alih-alih akumulasi seperti yang terjadi dalam corak produksi kapitalisme, kooperasi menawarkan distribusi kapital.

Dan, tidak ada kementerian kooperasi dalam disain PSI. Artinya, kemungkinan besar PSI tidak memiliki kritik dan alternatif pengelolaan ekonomi untuk memberantas ketimpangan yang dihasilkan melalui corak produksi kapitalisme.

Poin kedua adalah, PSI menggabungkan kementerian infrastruktur dan agraria dalam satu kementerian yang mereka sebut Kementerian “Infrastruktur, Agraria, Tata Ruang dan Kepala BPN”. Ini adalah ironi yang sangat mendasar bagi para kumpulan anak muda ini, karena dua hal. Pertama, proyek-proyek pembangunan infrastruktur adalah salah satu pemicu konsisten konflik-konflik agraria beberapa tahun terakhir. Kedua, banyak kalangan yang berjuang bersama rakyat yang menjadi korban-korban proyek pembangunan infrastruktur itu, justru, adalah para anak muda (yang seharusnya menjadi sasaran kampanye PSI, mengingat PSI mendaku sebagai partai anak muda).

Belakangan ini, setiap tahun pembangunan infrastruktur adalah salah satu akar dari konflik agraria yang terjadi di masyarakat karena tanah-tanah rakyat diambil untuk kepentingan pembangunan infrastruktur. Angka konflik agraria karena pembangunan infrastruktur dari total konflik agraria yang terjadi, terus tinggi; yaitu 45,55% (215 konflik) pada tahun 2014, 28% (70 konflik) pada tahun 2015, dan 22,22% (100 konflik) pada 2016. Persentasi konflik agraria karena proyek-proyek infrastruktur ini terekam dalam laporan-laporan tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria. Model yang menerus dalam konflik-konflik agraria itu adalah kondisi yang tidak imbang dimana negara memiliki kekuatan raksasa (uang, tentara, polisi, birokrasi, teknologi, para pakar berbagai disiplin) bertarung dengan rakyat yang tidak memiliki kekuatan secanggih itu. Kekuatan rakyat hanyalah rakyat itu sendiri, yang pada saat ini belum menemukan momen mobilisasi dan artikulasi politik yang baik.

Penggabungan permasalahan pembangunan infrastruktur dan agraria dalam satu kementerian seperti yang diusulkan PSI, dapat diprediksi, akan menjadi ekstensi dari pertarungan dengan pola yang sudah ada, dimana kekuatan raksasa (uang, tentara, polisi, birokrasi, teknologi, para pakar) dari sektor para pembangun infrastruktur akan duduk satu kementerian dengan agenda rakyat yang selama ini dibayangkan tertampung dalam kementerian agraria. Saya memprediksi bahwa disain semacam ini akan semakin mengunci gerakan-gerakan rakyat yang saat ini sudah kalah banyak hal dari pemerintah itulah. Dengan disain ini, secara metaforis saya bisa menyebutkan bahwa PSI sedang menyiapkan satu kondisi, semacam membuat tempat yang lebih tinggi darimana kelak rakyat akan jatuh.

Di sisi lain, harapan masih ada. Kalau kita mendalami kasus-kasus penggusuran rakyat karena pembangunan infrastruktur, misalnya pembangunan bandara di Yogyakarta, maka akan dengan sangat cepat kita menemukan anak-anak muda yang berjuang, bahu-membahu bersama rakyat. Mereka inilah yang lebih layak menjadi idola bagi kita sekarang. Daripada anak-anak muda PSI (yang sebenarnya juga sudah tidak terlalu muda-muda) itu, yang meskipun mengklaim muda, tapi ternyata memiliki jiwa yang tua, yang kali ini mereka tunjukkan dari dua poin yang dianalisis dalam tulisan ini dimana disain kementerian lengkap dengan nama-nama menteri seperti yang diajukan PSI, berseberangan dengan hal-hal yang justru menjadi perhatian banyak anak muda sekarang.