Meneladani Perjuangan dan Kesetiaan Nyai Ahmad Dahlan

Siti Walidah, Nyai Ahmad Dahlan

Dalam kiprah hidupnya, perjuangan Nyai Ahmad Dahlan adalah melawan kebodohan dan diskriminasi. Bersama suaminya, K.H. Ahmad Dahlan, ia mendirikan ‘Aisyiyah, organisasi yang memiliki perhatian khusus dalam agama, pendidikan, layanan kesehatan, dan sosial.

“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”

Petikan Surat An-Nahl ayat 93 itu menjadi semangat pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan istrinya dalam mendirikan ‘Aisyiyah. Ayat itu mengingatkan bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki tugas yang sama dalam menyebarkan agama, dan yang terpenting, baik laki-laki maupun perempuan, akan ditanya apa saja yang telah dilakoninya di dunia.

Kesadaran inilah yang memunculkan pemikiran untuk menghimpun para perempuan dalam satu wadah organisasi, sehingga mereka bisa melakukan sesuatu untuk masyarakat. (Widiyastuti, Kenangan Keluarga Terhadap KHA Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan, 2010: 4).

Perempuan yang lahir dengan nama Siti Walidah ini meresmikan ‘Aisyiyah bersama suaminya pada 19 Mei 1917, bertepatan dengan tanggal 27 Rajab 1335 tahun Hijriah.

Nyai Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Muhammad Fadhil Kamaludiningrat, kiai penghulu di Keraton Yogyakarta, yang kemudian menekuni profesi sebagai saudagar batik.

Layaknya perempuan di masa itu, Walidah kecil tak sempat mengenyam pendidikan formal. Namun, ia tak tinggal diam. Walidah memiliki kemauan besar untuk belajar dan mengajar yang terjembatani lewat pernikahannya dengan Muhammad Darwis, nama kecil Ahmad Dahlan, pada 1889.

Meski sebenarnya pernikahan itu adalah pernikahan keluarga—Ahmad Dahlan adalah saudara sepupu Walidah—pertemuan keduanya bagaikan peribahasa tumbu oleh tutup, cocok dan saling melengkapi. Pasangan muda ini saling mendukung untuk mewujudkan mimpi masing-masing.

Siti Walidah mendukung suaminya untuk mendirikan dan mengembangkan Muhammadiyah. Kepedulian Dahlan terhadap perempuan dan kesetaraan jender pun mendukung Walidah dalam berkiprah lewat ‘Aisyiyah.

Sejak suaminya mendirikan Muhammadiyah pada 1912, Walidah berperan menggerakkan pengajian, mengorganisasi kaum perempuan di Kauman, Karangkajen, dan Pakualaman, dari remaja putri, ibu-ibu, hingga para buruh batik. (Baca artikel dalam Suara Muhammadiyah: “Siti Walidah, Perintis tapi Bukan Ketua Pertama ‘Aisyiyah“.)

Dalam sejarah ‘Aisyiyah yang dimuat Suara Aisyiyah, Siti Walidah merintis gerakan ini dengan mengajar kaum perempuan Kauman untuk membaca Alquran, terutama sekali mengamalkan pesan dalam Surat Al-Ma’un, yang mengajarkan kepekaan muridnya atas kemiskinan di kalangan umat Islam.

Kelompok pengajian ini terbagi dua: kelompok remaja putri bernama Wal Ashri atau pengajian setelah Asar, dan kelompok Maghribi School yang digelar selepas waktu kerja untuk para buruh batik. Pada 1914, perkumpulan ini diberi nama Sopo Tresno, embrio ‘Aisyiyah. Nama Aisyiyah diambil dari nama istri Nabi Muhammad.

Semakin hari, kiprah ‘Aisyiyah berkembang di bawah pembinaan Nyai Ahmad Dahlan. Meski menjadi orang yang merintis perkumpulan ini, tetapi Walidah tidak ditetapkan sebagai pemimpin pertama ‘Aisyiyah.

Saat rapat Hoofdbestuur atau pimpinan pusat Muhammadiyah pada 1917, Siti Bariyah yang ditetapkan sebagai pemimpin ‘Aisyiyah. Bariyah adalah salah satu murid K.H. Ahmad Dahlan yang lulus dari Neutraal Meisjes School.

Nyai Ahmad Dahlan, karena tak menempuh pendidikan formal, dianggap kurang memiliki pemikiran modern dan pengetahuan seputar manajemen organisasi. Saat itu Walidah baru menguasai bahasa Melayu dan kemampuan menulis huruf latin.

Melalui peristiwa itu, tampaknya K.H. Ahmad Dahlan tak ingin ada nepotisme dalam struktur kepemimpinan, baik dalam Muhammadiyah maupun ‘Aisyiyah. Ia menghendaki organisasi ‘Aisyiyah dibangun dan dikelola secara modern dan profesional.

Lewat ‘Aisyiyah, Nyai Dahlan mendorong perempuan untuk melakukan aktivitas di luar rumah, sekolah, dan berkegiatan seperti laki-laki, termasuk bekerja.

Siti Ruhaini Dzuhayatin, penulis Rezim Gender Muhammadiyah (2015), mengungkapkan bahwa Ahmad Dahlan bahkan mengajarkan anak-anak perempuan memakai sarung dan naik sepeda. Meski hal macam itu terlihat sederhana, tetapi dalam konteks masa itu, apa yang dilakukan Kyai Dahlan sangatlah progresif demi mendorong perempuan berkiprah di luar rumah. (Baca artikel dalam Suara Muhammadiyah: “Kyai Dahlan dan Nyai Walidah Wariskan Konsep Ideal Relasi Gender Muhammadiyah“.)

Di tengah perjuangannya memuliakan perempuan, Nyai Ahmad Dahlan mendapat ujian kesetiaan. Suaminya melakukan praktik poligami, dengan alasan dakwah. K.H. Ahmad Dahlan menikahi tiga perempuan: Ray Soetidjah Windyaningrum atau Nyai Abdullah dari internal Keraton, Nyai Rum (putri tokoh pesantren Krapyak), dan Nyai Aisyah (putri penghulu bangsawan Cianjur).

K.H. Ahmad Dahlan menikahi mereka dengan alasan tertentu. Nyai Abdullah adalah janda muda berumur 16 tahun yang diserahkan Keraton Yogyakarta untuk Dahlan. Sebagai abdi dalem, Dahlan manut atas tawaran itu. Pernikahan dengan Nyai Rum berlangsung dalam motif “dakwah”. Sementara dengan Nyai Aisyah, yang berusia 15 tahun, sang mertua menginginkan ada “keturunan Dahlan” di Cianjur.

Dahlan memahami bahwa praktik poligami yang dilakoninya menyakiti Nyai Walidah. Untuk menjaga perasaan istrinya, Dahlan tak menempatkan istri-istrinya dalam satu kampung, apalagi satu rumah. Nyai Abdullah menetap di Namburan, Nyai Rum tinggal di Krapyak, dan Nyai Aisyah di Cianjur.

Kendati demikian, kebesaran hati Nyai Ahmad Dahlan adalah telaga: ia dengan tulus dan ikhlas merawat anak tirinya dengan alasan ibu mereka masih dianggap terlalu muda.

Dari perkawinan poligami, Dahlan dikaruniai dua anak, masing-masing dari Nyai Abdullah dan Nyai Aisyah. Cicit Ahmad Dahlan, Siti Hadiroh, mengutip dalam warta PWMU, mengatakan bahwa Nyai Dahlan sangat perhatian kepada anak tirinya, sampai-sampai anak-anak itu tak tahu kalau Nyai Dahlan bukan ibu kandung.

Nyai Dahlan dikenal tegas dalam mendidik anak-anaknya, terutama soal beribadah. Pernah satu kali, salah satu anaknya, R. Dhuri yang memiliki minat di bidang musik, sedang asyik bermain biola hingga lupa salat. Nyai Dahlan menegur tetapi tak diindahkan. Tanpa kompromi, Nyai Dahlan mengambil biola dan membuangnya ke dalam tungku api. (Widiyastuti, Kenangan Keluarga Terhadap KHA Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan, 2010: 14).

Siti Hadiroh, dalam buku yang sama, bercerita bahwa ibunya, Siti Djuwariyah, pernah menerima pesan langsung dari Nyai Dahlan: “Sesungguhnya ada dua penyakit yang tidak dapat disembuhkan kecuali oleh yang menderita penyakit sendiri. Kedua penyakit itu adalah kikir dan malas.”

Teladan Nyai Dahlan tak sampai di situ. Ia memahami dan melakoni pesan terakhir suaminya.

Ahmad Dahlan, sebelum meninggal dunia pada 1923, mengumpulkan istri, anak, dan cucu-cucunya. Kepada mereka, ia berpesan: “Aku titipkan Muhammadiyah kepadamu. Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah.”

Dalam satu peristiwa, tatkala Nyai Dahlan dirawat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, ia menolak tawaran dari pihak rumah sakit yang ingin menggratiskan biaya pengobatannya. Alasannya, Nyai Dahkan ingat pesan terakhir suaminya.

Ia lantas pulang untuk mengambil uang dan membayar biaya rumah sakit. Namun, rupanya, uang yang terkumpul tak mencukupi tagihan rumah sakit. Nyai Dahlan pun menyuruh salah satu anaknya menjual lemari untuk menutupi kekurangan biaya pengobatan.

Kisah itu dituturkan oleh Chayatul Khuriyah, cucu Ahmad Dahlan.

Nyai Ahmad Dahlan meninggal dunia pada 31 Mei 1946. Dua puluh lima tahun kemudian pemerintah memberikannya gelar sebagai pahlawan nasional.

Kiprah Nyai Dahlan tentu bisa terlihat dari warisan organisasi ‘Aisyiyah. Kini ‘Aisyiyah menjadi salah satu organisasi perempuan muslim terbesar dengan mengusung program kerja yang tak pernah lepas dari akarnya: mengangkat derajat kaum perempuan agar bermanfaat untuk masyarakat umum.

penulis : Dipna Videlia Putsanra