Kiprah KH Fakhruddin, Putra Lurah Keraton yang Membesarkan Muhammadiyah

KH Fakhruddin

Lebih dari seabad silam ketika Ahmad Dahlan pulang dari Mekkah, Haji Hasyim menjadi lurah Keraton. Mereka sama-sama tinggal di kampung Kauman, sebelah barat Keraton Yogyakarta. Di kampung ini gagasan “Islam berkemajuan” bersemi dan berkembang pada awal abad 20.

Sedari awal Hasyim adalah seorang pendukung gagasan Ahmad Dahlan. Kepada Dahlan, Hasyim menyerahkan kelima anaknya untuk belajar mengaji: Bagus Hadikusumo, Fakhruddin, Jasimah, Syuja’, dan Muhammad Zain.

Setelah dewasa, kelima anak Hasyim menjadi sosok penting dalam pengembangan Muhammadiyah pada era pergerakan di tanah Hindia. Jasimah merintis Aisyiyah—organisasi perempuan di bawah naungan Muhammadiyah; Syuja’ menjadi salah satu pendiri Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) Muhammadiyah; Fakhruddin mengembangkan jejaring dakwah dan politik; dan Bagus Hadikusumo adalah salah satu anggota BPUPKI yang mendukung Piagam Jakarta.

Pada masa awal pendirian Muhammadiyah, Ahmad Dahlan bersama Fakhrudin, Syuja’, Tamim, Jisyam, Syarkawi, dan Abdul Gani masuk sebagai anggota Boedi Oetomo—salah satu organisasi modern paling awal di Hindia Belanda.

Ahmad Faizin Karimi dalam Pemikiran dan Perilaku Politik Kiai Haji Ahmad Dahlan (2011: 150) menduga, masuknya ketujuh orang itu merupakan salah satu syarat yang diajukan Boedi Oetomo guna membantu mengurus perizinan badan hukum Muhammadiyah kepada pemerintah kolonial Belanda.

Namun, Muhammadiyah baru mendapatkan status badan hukum dari Gubernur Jenderal Belanda melalui surat ketetapan Gouvernement Blesuit No. 81 tertanggal 22 Agustus 1914, atau 21 bulan setelah organisasi ini berdiri.

Fakhruddin belakangan tidak aktif lagi di Boedi Oetomo. Sekitar 1914, ia justru bergabung dengan Inlandsche Journalisten Bond (IJB), organisasi jurnalis bumiputera, bersama Mas Marco Kartodikromo. Marco adalah salah satu anak didik Tirto Adhi Soerjo, pendiri Medan Prijaji, serta salah satu pengurus Sarekat Islam (SI) Surakarta bersama Samanhudi dan Sosrokurnio.

IJB yang digerakkan oleh pengurus SI Surakarta menerbitkan Doenia Bergerak. Koran mingguan ini dimodali para pedagang batik di Laweyan dan Kauman Surakarta.

Fakhruddin dan Pilihan Sikap Muhammadiyah

Setelah konflik dengan Misbach, Fakhruddin total mengembangkan Muhammadiyah. Ia makin menunjukkan kematangan berpolitik tatkala Muhammadiyah dipimpin K.H. Ibrahim (1923-1932)—adik ipar Ahmad Dahlan.

Karel A. Steenbrink dalam Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and Conflicts, 1596-1950 menulis bahwa semasa kepemimpinan Ibrahim, kebijakam eksternal Muhammadiyah dipengaruhi oleh sekretaris muda H. Fakhruddin, yang makin kentara pada 1924.

Hal itu dipengaruhi situasi internasional. Kekhalifahan Ottoman hancur dan Mustafa Kemal Attaturk menjadi presiden pemerintahan sekuler Turki. Pada saat nyaris bersamaan, keluarga Saud menguasai Arab Saudi.

Situasi di tanah Arab, bagaimanapun, telah memengaruhi organisasi-organisasi Islam di Hindia Belanda. Pada akhir Desember 1924, Partai Sarekat Islam, yang didukung oleh Muhammadiyah, menyelenggarakan Kongres Al-Islam luar biasa di Surabaya.

Kongres ini membicarakan utusan yang akan dikirim ke Muktamar Khalifah di Kairo, Mesir, pada Maret 1925. Kongres memutuskan memberangkatkan tiga utusan, yakni Fakhruddin, Soerjopranoto dari Komisaris PSI, dan Wahab Chasboellah dari Organisasi Ulama Surabaya. Tapi kongres akhirnya diundur.

“Karena ada krisis internal, kongres Kairo ditunda pelaksanaannya menjadi bulan Mei 1926, dan ketika kongres diadakan, tak ada delegasi “resmi” Indonesia yang menghadirinya,” tulis Yudi Latief dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa (2006: 284).

Sementara di Hindia Belanda, Muhammadiyah terang-terangan berkonfrontasi dengan pemerintah kolonial.

Menurut Steenbrink, Fakhruddin adalah orang yang dikenal sebagai penganjur Pan-Islamis tegas, yang menolak “Kristenisasi” di Jawa yang disponsori oleh pemerintah kolonial. Pada 1925, ia untuk pertama kali memprotes kebijakan Sultan Hamengkubuwono VIII dan Residen Yogyakarta, Louis Frederik Dingemans, yang diduga pro penyebaran Kristen.

“Dingemans, seorang pendukung penyebaran Protestan, memengaruhi Sultan untuk memotong subsidi ke panti asuhan milik Muhammadiyah di bawah naungan panti asuhan Sultan,” terang Steenbrink.

Iskandar Zulkarnain berpandangan lain soal sikap keagamaan Fakhruddin. Dalam Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (2005: 186-187), Iskandar menyampaikan bahwa secara kelembagaan, Fakhruddin—termasuk Agus Salim dan Tjokroaminoto—memang tidak melakukan kerja sama dengan Ahmadiyah Lahore. Tetapi secara individu “menaruh simpati terhadap apa yang mereka pandang sebagai penyajian Islam secara modern.”

“Begitu juga tokoh Muhammadiyah, KH Fakhruddin. Ia sering menerbitkan artikel tentang Ahmadiyah dalam jurnal Bintang Islam,” tulis Iskandar.

Namun, sejak 1926, “Muhammadiyah mulai menjaga jarak dari Ahmadiyah”, lantaran Muhammadiyah menilai ajaran Ahamdiyah menyimpang dari sunah. Hal ini terutama setelah kedatangan ulama dari India, Abdul Alim Siddiq al-Qadiri, pada akhir tahun 1927, yang mengampanyekan bahwa Ahmadiyah “menyimpang dari Islam” kepada kalangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Siar anti-Ahmadiyah itu memicu perdebatan panas hingga mendorong satu keputusan dalam Kongres Muhammadiyah pada 1928 di Yogyakarta: menawarkan kadernya memilih Muhammadiyah atau Ahmadiyah. Fakhruddin yang notabene pengurus teras era kepemimpinan Muhammadiyah pasca-Ahmad Dahlan, “menjaga jarak” dari pengaruh ajaran Ahmadiyah. Seiring itu Fakhruddin makin memantapkan diri “memurnikan Islam” bersama Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.(sp/tirto)