Perilaku Barbar Pendukung Ahok Telah Lecehkan Wibawa Peradilan

sangpencerah.id – Pasca Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menimbulkan reaksi terutama dari para pendukung Ahok yang tidak puas terhadap putusan tersebut padahal sebelumnya semua pihak telah sepakat untuk menghormati semua proses hukum dan putusan peradilan jika tidak puas sila menempuh proses hukum bukan dengan cara – cara yang tidak beradab melecehkan lembaga peradilan yang dijamin konstitusi

Direktur Kajian Islam dan Pancasila Universitas Muhammadiyah Jakarta Ma’mun Murod mengatakan bahwa Majelis Hakim telah memutus Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) 2 tahun penjara. Apakah adil keputusan Majelis Hakim tersebut? Tentu akan bergantung siapa yang melihatnya. Bagi pendukung Ahok tentu vonis 2 tahun tidak adil, yang tergambar dari demo-demo yang mereka gelar sampai saat ini. Maunya pendukung Ahok, terutama mereka yang sampai “kesurupan” di depan Lapas Cipinang, Ahok diputus bebas murni. Begitu juga bagi sebagian yang menuduh Ahok telah menista Islam menganggap bahwa vonis Majelis Hakim tidak adil, diluar kelaziman atas vonis yang telah dijatuhkan kepada pelaku penista agama pada kasus-kasu sebelumnya, yang rata-rata divonis maksimal 5 tahun.

Terlepas soal adil tidaknya vonis yang telah dijatuhkan oleh Majelis Hakim, vonis 2 tahun bisa disebut sebagai “vonis tengahan” yamg semestinya diterima oleh semua pihak. Bagi yang berpikir jernih, sulit rasanya untuk tidak menyebut bahwa Ahok telah nyata-nyata menista Islam, bukan hanya sekali ketika di Kepulauan Seribu, tapi telah berkali-kali. Andai hanya sekali Ahok menista Islam, mungkin protes Ahoker masih dianggap wajar. Lah, ini sudah dilakukan berkali-kali.

Vonis 2 tahun rasanya bisa disebut sebagai “vonis penuh keberanian” dari Majelis Hakim. Di tengah intervensi dan sokongan politik elit penguasa, kapital, dan logistik yang luar biasa berlimpah selama proses persidangan Ahok, sudah tentu termasuk selama proses Pilkada Jakarta, ternyata Majelis Hakim mempunyai keberanian untuk memvonis lebih berat dari tuntutan JPU dan bahkan memerintahkan agar Ahok langsung ditahan. Salut dan terima kasih buat Majelis Hakim. Demikian ditulis di laman facebook bersangkutan

Namun yang menjadi kritik adalah tindakan brutal dan membabi buta para pendukung ahok kepada lembaga peradilan dan majelis hakim yang telah menjatuhkan vonis kepada ahok.

Berbagai macam perilaku yang dilakukan antara lain aksi demonstrasi di depan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menuntut Ahok dibebaskan hingga tengah malam yang juga telah menyandera para pegawai Pengadilan hal ini diperparah ketidaktegasan Polisi untuk mengambil sikap tegas terhadap demonstran yang telah melanggar batas aksi unjuk rasa sampai pukul 18.00.

Kemudian beberapa website Pengadilan diretas/dihack antara lain website Pengadilan Negeri Negara dan Pengadilan Agama Pangkalan Bun dengan tuntutan pembebasan ahok ini bentuk sikap kekanak – kanakan para pendukung ahok yang tidak paham mekanisme hukum di negri ini.

Belum lagi para pengamat dadakan yang melempar opini menyesatkan terhadap vonis majelis hakim terhadap Ahok yang jelas para pengamat terssebut partisan dan tidak obyektif seharusnya kalau mereka belajar hukum maka asas hukum “Res Judicata Pro Veritate Habetur” memiliki arti bahwa putusan hakim harus dianggap benar sehingga ketidakpuasan terhadap putusan hakim PN Jakarta Utara hanya bisa dilawan lewat upaya banding.

Juru bicara Komisi Yudisial Farid Wajdi menyampaikan ” KY mengimbau kembali semua pihak untuk menghormati proses dan putusan hakim. Hentikan semua tindakan-tindakan yang mengintervensi hakim maupun pengadilan, karena itu jelas merendahkan kehormatan, keluhuran martabat hakim maupun peradilan Indonesia,”

Sekali lagi perilaku para pendukung ahok sudah masuk kategori barbar dan tidak beradab terhadap wibawa lembaga peradilan yang dijamin konstitusi, jangan cuma teriak NKRI harga mati namun tidak paham terhadap konstitusi yang menempatkan penghormatan terhadap supremasi hukum. Segala perilaku dan tindakan pendukung Ahok merupakan penghinaan lembaga peradilan ( contempt of court ) dan Negara tidak boleh diam terhadap kegiatan yang merusak dan melecehkan lembaga peradilan. ( CEO SP )