Bagi Para Filsuf, Tuhan Tidak Berkehendak

Ust. Wahyudi Abdurrahim, Lc. M.M:

Sebelumnya pernah saya sampaikan mengenai perbedaan antara illat ma’lul yang biasa digunakan sebagai argumen para filsuf dan dalilul hudus yang biasa digunakan oleh para ulama kalam. Illat ma’lul maksudnya bahwa keberadaan makhluk (alam raya), sifatnya otomatis tanpa butuh penciptaan. Ia ada karena Tuhan ada. Alam dengan Tuhan sama-sama qadim. Bedanya terletak di peringkat, yaitu bahwa Tuhan sempurna sementara alam “tidak sempurna”. Dikatakan tidak sempurna karena keberadaan alam membutuhkan Tuhan.

 

Sementara itu, dalilul hudus menyatakan bahwa alam adalah makhluk yang sifatnya hadis. Benar bahwa keberadaan alam membutuhkan Tuhan. Hanya saja, Tuhan di sini bukan sebagai illat ula yang mengharuskan adanya alam raya. Keberadaan Tuhan, tidak mewajibkan adanya alam. Alam muncul dari ketiadaan dan sifatnya mumkinul wujud. Mumkinul hudus sendiri, menurut ulama kalam adalah keberadaan wujud yang bermula dari ketiadaan. Ia ada jika Tuhan berkehendak ada, dan tidak ada jika Tuhan tidak berkehendak ada.

 

Ada perbedaan lain yang belum saya sebutkan sebelumnya, yaitu terkait kehendak Tuhan (iradah). Bagi para filsuf, Tuhan tidak mempunyai sifat kehendak. Sifat kehendak ini, menurut mereka adalah sifat-sifat makhluk. Memberikan sifat berkehendak pada Tuhan sama artinya dengan memakhlukkan Tuhan. Berkehendak, artinya dahului belum berkehendak, lalu berkehendak dan implikasi dari kehendak itu sendiri. Semua itu jelas sifat-sifat makhluk.

 

Pandangan ini sejalan dengan teori awal mereka berupa illat ma’lul itu. Menafikan kehendak, karena para filsuf ingin menafikan keberadaan alam dari ketiadaan. Menafikan kehendak, merupakan penguat bahwa alam ada secara otomatis setelah keberadaan Tuhan. Ia benar-benar implikasi secara langsung dari Tuhan.

 

Hanya saja, pendapat seperti ini ditolak oleh para mutakallimun. Menurut ulama kalam bahwa kehendak Tuhan ini sifatnya qadim dan bukan hadis. kehendak Tuhan sifatnya azali. Ada keterkaitan langsung antara kehendak Tuhan, ilmu Tuhan dan qudrah (kemampuan) Tuhan untuk mencipta.

 

Ilmu Tuhan sifatnya azal. Dengan kata lain bahwa Tuhan tau akan adanya makhluk di kemudian hari. Ilmu Tuhan ini kemudian dispesifikkan (takhsis) oleh kehendak Tuhan yang juga sifatnya azal. Baru kemudian, keberadaan alam semesta tercipta sesuai dengan kemampuan Tuhan (qudrah) yang juga azal di waktu yang sudah ditentukan Tuhan. Jadi, kehendak Tuhan ini sama sekali tidak menjadikan Tuhan seperti makhluk. Ia selalu mengikuti Tuhan yang sifatnya azal.

 

Ulama kalam, umumnya akan menggunakan dalil naql sebagai argumen kedua. Dalil naqli ini dijadikan sebagai penguat atas logika yang mereka gunakan. Di antara dalil naqlinya sebagai berikut:


فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ

“Artinya : Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya”. [Al-Buruj : 16]


إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون

Artinya:

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin: 82).

(sumber: Syarhul Mawaqi, Imam Iji)