Menyongsong Milad IMM : Revolusi Pancasila dalam Perspektif Islam

oleh :Mulkan Putra Sahada

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah atau biasa disingkat IMM telah beranjak dewasa. Pergerakan dan segala dimensi pemikirannya telah menyemai bahkan dipanen untuk kebaikan persyarikatan, bangsa dan umat manusia secara universal. IMM lahir bukan dengan ciri gerakan aksi seperti KAMMI atau gerakan politik vertical seperti HMI. IMM sejak kelahirannya mendeklarasikan diri sebagai gerakan intelektual sekaligus gerakan sosial politik, dengan semboyan “unggul dalam intelektualitas, anggun dalam moralitas”. Sehingga ciri ini menempatkan IMM pada posisi yang agak jauh dari pergumulan kekuasaan “orde baru” yang berakhir dengan reformasi 1998. Ketika organisasi kemahasiswaan lain sibuk dengan “cuci gudang” pasca 1998, IMM masih tetap steril dari “generasi laten orde baru”. Kelahiran IMM pun bagian dari wujud ikhtiar untuk memberikan sumbangsing solusi atas terjadinya polemik kebangsaan yang tidak kunjung usai. Sebab sebagai bagian dari komponen organisasi kemahasiswaan, IMM bukan hanya untuk mengembangkan ideologi, paham dan cita-cita Muhammadiyah saja namun tentu untuk turut andil menyelesaikan permasalahan bangsa. Hal ini kemudian diinterpretasikan melalui enam penegasan IMM yang salah satunya berbunyi, bahwa IMM menegaskan amal IMM adalah lillahi ta’ala dan senantiasa diabdikan untuk kepentingan rakyat.

Milad IMM adalah bukti mutlak bahwa IMM masih dibutuhkan, baik dari pemikiran, gerakan sosial maupun panutan dalam kualitas setiap ritual ibadah yang dijalankan oleh kader-kadernya. Semakin bertambahnya umur dunia maka semakin berkembang pula paham-paham yang menyebar. Ini yang kemudian perlu menjadi isu pokok IMM dalam refleksinya menyongsong Milad IMM. Pancasila yang merupakan ideologi bangsa dan islam sebagai rujukan berkehidupan kian melemah, sudah menjadi keharusan pancasila dan islam mulai digelorakan kembali. Revolusi pancasila dalam perspektif islam.

Ketika kita berbicara mengenai Pancasila, maka kita harus menengok sejarah bangsa kita ini. Dimana para pendiri bangsa  telah melakukan revolusi nasional dengan salah satunya dirumuskannya pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Para perumus yang kebanyakan dari kelompok mayoritas muslim ini pada akhirnya menyepakati Piagam Jakarta, namun perlu diingat dan disadari bahwa bangsa Indonesia tidak semuanya muslim. Bunyi sila-sila Pancasila dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, sebagai cikal bakal dari Pembukaan UUD 1945 adalah: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia” (RM. A.B. Kusuma,  2004:213-214). Dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang kedua, 10-17 Juli 1945, Piagam Jakarta itu diputuskan sebagai Rancangan Pembukaan UUD 1945. Bangsa ini adalah salah satu bangsa yang paling majemuk di dunia, maka perlu diadakan perjanjian dan pedoman bangsa yang disepakati bersama. Akhirnya dengan kejeniusan para pendiri  bangsa, terciptalah Pancasila sebagai jalan hidup bangsa Indonesia. Jika kita melihat kedalam lagi, maka akan kita dapati bahwa sesungguhnya nilai nilai dan ajaran Islam telah tertuang dalam Pancasila. Dari poin ke poin Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan ajaran Islam bahkan itulah tujuan Islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamiin yang selama ini didengung dengungkan umat muslim diseluruh dunia.

Begitu pun kata Lukman Hakim saat Kongres Pancasila diselenggarakan oleh MPR RI di Jakarta, 30-31 Mei 2012 mengatakan bahwa nilai-nilai Pancasila diakui memiliki keunggulan. Sejumlah ahli bahkan menyebutkan keunggulan Pancasila setara dengan ideologi-ideologi besar dunia, seperti Sosialisme, Marxisme dan lain-lain. Pancasila merupakan paduan unik antara moralitas agama dan naturalisme iptek, atau Barat yang sekuler dan Timur yang religius. Pancasila menyentuh dimensi lahir dan dimensi batin dari peradaban menusia. Artinya, manusia atau bangsa yang ingin maju dan kuat hendaknya memadukan nilai religius dengan iptek. Atau dengan kata lain, budaya dan peradaban akan berkembang menjadi unggul dan luhur bila didasarkan pada nilai-nilai moral agama dan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dengan dasar berbangsa dan bernegara yang luar biasa hebat maknanya, seharusnya bangsa Indonesia menjadi negara yang besar, merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Namun, menurut Yudi Latif, Indonesia kaya, bagaikan surga, kaya SDA, indah permai laiknya untaian zamrud, namun kelimpahan tersebut hanya berubah menjadi air mata. “Kekuasaan datang-hilang, silih berganti membuai mimpi; tetapi nasib rakyatnya tetap sama, kekal menderita,” tulis Yudi Latif dalam bukunya yang berjudul “Revolusi Pancasila”. Ya begitu lah, apa yang kita lihat sekarang? Bangsa yang seharusnya merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur inilah yang sekarang terjajah, tepecah pecah karena golongan, agama, suku, dan sikap kedaerahannya. Siapa yang salah? Siapa yang bertanggung jawab? Kenapa ini bisa terjadi? Tak ada satupun dari kita ingin disalahkan dan ingin bertanggung jawab. karena ini adalah salah bangsa ini sendiri dan sepatutnya menjadi milik kita bersama sebagai bangsa Indonesia. Pancasila yang seharusnya menjadi jalan hidup bangsa telah dicampakkan dari dada bangsa kita sendiri. Pada akhirnya keadaan miskin dirumah yang kaya terjadi, keadaan lapar ditengah lumbung makanan benar benar terlihat. Apakah air, tanah, udara, dan seluruh kekayaan alam sudah benar benar milik bangsa Indonesia? Untuk itu itu kita harus melakukan revolusi sosial, namun tidak cukup dengan “mempancasilakan revolusi”, tetapi “merevolusikan Pancasila”. Pancasila tidak cukup sebagai alat persatuan, namun harus menjadi praksis ideologis yang mempunyai kekuatan nyata untuk melakukan perombakan secara mendasar dalam ranah materiil dan mental bangsa Indonesia.

Untuk melakukan revolusi Pancasila kita harus menengok sejarah bangsa, sejarah Pancasila itu sendiri. Pancasila tak bisa lepas dengan islam sebagai dasar perumusan Pancasila itu sendiri. Maka dari itu revolusi Pancasila dengan berspektif islam, rasa-rasanya sangat diperlukan demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Dari sila pertama hingga sila kelima, kesemuanya cocok dengan cita-cita islam itu sendiri dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan mengamalkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” kita juga akan mengamalkan ajaran islam yang menjunjung tinggi toleransi terhadap beda agama, ataupun keyakinan dalam bermasyarakat. Sehingga akan muncul “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, dan ketika sudah beradab masyarakatnya, maka akan timbul “Persatuan Indonesia”. Karena sudah timbul persatuan dalam bangsa Indonesia, fase selanjutnya adalah “Kemasyarakatan yang Dipimpin oleh hikmat dalam Permusyawaratan Perwakilan”.  Dan hal yang menjadi tujuan kita adalah “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Bukankah hal tersebut sesuai dengan Islam?.

Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau menegakkan keadilan pada setiap tindakandan perbuatan yang dilakukan seperti halnya yang dijelaskan dalam Al-qur’an melalui surat an-Nisaa (4) ayat 58. Begitu pentingnya berlaku adil atau menegakkan keadilan, sehingga Tuhan memperingatkan kepada orang-orang yang beriman melalui surat al-Maidah (5) ayat 8 supaya jangan karena kebencian terhadap suatu kaum sehingga memengaruhi dalam berbuat adil. Inilah prinsip secara tekstual keadilan dalam Al-qur’an. Maka tidak ada yang bisa menyangkal bahwa sebagai seorang muslim “yang telah dijamin” surganya oleh Tuhan sehingga berbuat semena-mena atas apa yang telah diamanatkan padanya.

Keadilan bukan hanya tentang sama rata, namun lebih dari itu. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan konsekwensi segala apa yang ada merupakan hak bersama yang dimiliki dengan seimbang. Artinya, adil merupakan merupakan persamaan penafian terhadap perbedaan apapun. Keadilan yang dimaksudkan adalah memelihara persamaan ketika hak memilikinya sama, sebab keadilan mewajibkan persamaan, dan mengharuskannya. Juga, adil adalah memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya. Keadilan seperti ini adalah keadilan sosial yang harus dihormati di dalam hukum manusia dan setiap individu diperintahkan untuk menegakkannya. Dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat “Indonesia” adalah puncak atas segala pesan moral dalam islam melalui teks Al-qur’an dan cita-cita leluhur bangsa melalui bait-bait UUD yang harus diimplementasikan secara bersama-sama dan sadar tanpa paksaan sebagai revolusi diri yang merupakan bagian dari konsekwensi.

Kesimpulannya, berdasarkan trikompetensi yang mesyaratkan kader IMM harus mempu cerdas secara kapasitas intelektual, masuk ke semua lini dengan semangat humanitasnya dan sholeh dengan kualitas ibadahnya, maka tidak akan memisahkan pancasila dengan islam, yang ada mari revolusi pancasila dengan basis islam sebagai landasan teologis. Hidup dan mati dekat dengan pancasila dan islam (al-qur’an). Karena sejatinya pancasila dan islam memiliki semangat dan mimpi yang sama, maqashid syariah.

*Penulis saat ini menjadi Ketua Bidang Hikmah IMM Banyumas dan juga pernah menjadi Ketua Umum IMM UNSOED. Selain aktif di IMM, penulis saat ini mengurus Koperma Soedirman sebagai Wakil Ketua (Koperasi Mahasiswa dan Alumni UNSOED) yang juga sebelumnya pernah menjabat sebagai Presiden BEM FEB UNSOED, Ketua Jaringan Mahasiswa Anti Korupsi, Koalisi Pemuda Hijau Indonesia, dan lain sebagainya.