Islam dan Politik Harus Dipisah, Nestapa Ideologi Negara

sagpencerah.id- Dulu, dulu banget, ketika umat Islam berhasil menaklukan Kerajaan Majapahit melalui akulturasi budaya dan penetrasi politik yang shoft, lahirlah Kerajaan Islam pertama di tanah Jawi. Disusul kemudian lahir kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Ketika penjajah Belanda masuk yang selain membawa misi ekonomi juga membawa misi agama (baca Disertasi Deliar Noer, Alfian, dan Alwi Shihab), mulailah Kerajaan Islam diacak-acak sedemikian rupa dan berhasil. Hasilnya bisa kita tengok, sekarang Kerajaan Islam hanya jadi situs sejarah.

Masuk era perjuangan merebut kemerdekaan, umat Islam berjuang habis-habis. Agama (Islam) menjadi spirit perjuangan. Pekikan takbir, merdeka atau mati tak lepas karena spirit Islam. Putusan-putusan politik ormas-ormas Islam dalam perjuangannya melawan penjajah juga dilandasi oleh spirit Islam. Sehingga lahirlah misalnya Resolusi Jihad I dan II (bayangkan kalau putusan sejenis Resolusi Jihad dikeluarkan di era saat ini untuk melawan neo-kolonialisme dan perampok-perampok kekayaan negara, yg secara substantif tak beda dengan penjajah, pasti akan dicap sebagai radikal, ekstrimis, dsb.).

Jelang kemerdekaan, ketika sidang-sidang BPUPK (yang benar itu tanpa I), terutama saat pembahasan ideologi negara terjadi perdebatan panjang dan alot antara (1) kubu Islam (Olivier Roy menyebutnya Islamis) yang menghendaki negara Islam dengan (2) kubu nasionalis yang menghendaki dasar negara Pancasila. Akhirnya dengan kearifan para pendiri bangsa yang tulus-tulus dan demi masa depan Indonesia disepakati pada tanggal 22 Juni 1945 (maaf bukan tanggal 1 Juni 1945 lho) bahwa ideologi negara adalah “Pancasila plus Syariat Islam” yang penerapannya diperuntukan hanya untuk umat Islam) yang kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Kasman Songodimejo menyebutnya sebagai “gentleman agreement”.

Bagi yang nalar pikirnya waras, putusan Piagam Jakarta itu putusan yang demokratis dan adil. Demokratis, sebagai umat mayoritas, wajar diberi “hadiah” berupa Piagam Jakarta. Bukankah dalam rumus politik demokrasi memang mensyaratkan suara mayoritas? Coba tengok hasil-hasil pilpres, pilgub, dan pilbup/pilwakot ditentukan oleh suara terbanyak? Perkara untuk mencapai suara mayoritas dilakukan dengan cara-cara biadab tak (pernah) dipersoalkan. Adil, sebagai umat mayoritas tentu sumbangsihnya terhadap kemerdekaan Indonesia juga dominan, wajar mendapat “hadiah” Piagam Jakarta.

Harus dipahami, bahwa kehendak untuk menegakan syariat Islam (tidak mesti dalam sebuah negara Islam) karena dilandasi oleh keyakinan bahwa ajaran Islam bersifat holistik dan terbukti selama penjajahan hukum sekular yang diterapkan oleh penjajah Belanda tak mampu menjadi jawaban untuk tegaknya hukum yang adil.

Bukan “negara Islam” tapi “negara Pancasila plus Syariat Islam”, itu sudah merupakan putusan dan “mengalahnya” (bukan kalah) sikap politik umat Islam demi kepentingan dan keutuhan bangsa Indonesia yang baru mau merdeka.

Belum genap dua bulan, rumusan apik Piagam Jakarta mendapat “gugatan” yang diyakini “penuh kebohongan” oleh mereka yang menyebut dari Indonesia Timur yang mengancam akan merdeka kalau isi Piagam Jakarta yang memuat “syariat Islam” tidak dihapus. Saya sebut “penuh kebohongan” karena sampai saat ini tak ada sejarahwan manapun yang berani memastikan siapa sesungguhnya tentara Jepang yang menemui Hatta. Bagaimana mungkin peristiwa begitu penting kok tidak ada satu bukti fisik pun, misal berupa foto. Aneh bukan?

Meskipun kebenaran soal tentara Jepang yang menemui Hatta disangsikan, namun sekali lagi, umat Islam dengan legowo dan “mengalah” (sekali lagi bukan kalah) menerima “pencabutan” syariat Islam dalam Piagam Jakarta. Ki Bagus Hadikusumo (saat itu menjadi Ketua PB Muhammadiyah) dengan linangan air mata (kalau tidak salah baca di buku “70 Tahun Kasman Singodimejo”) akhirnya menyepakati perubahan isi Piagam Jakarta. Ki Bagus mengusulkan Sila Pertama Pancasila diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Begitu juga isi dari Pasal 29 UUD 1945 diubah menyesuaikan isi Sila Pertama Pancasila. Sambil berurai air mata, Ki Bagus menegaskan bahwa “Yang Maha Esa” itu maksudnya tidak lain adalah kalimat tauhid, laa ilaaha illa-Allah.

Untuk diketahui, bahwa hanya Kasman yang berhasil membujuk Ki Bagus untuk menyetujui perubahan Piagam Jakarta. Soekarno sekalipun tak mampu membujuk Ki Bagus. Akhirnya tanggal 18 Agustus 1945 Piagam Jakarta pun hilang dari peredaran.

Ketika persidangan di Konstituante gagal menyepakati soal ideologi negara dan kemudian Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959, maka sebelum keluarnya Dekrit, tokoh-tokoh NU, termasuk KH. Saifuddin Zuhri mantan Menteri Agama era Soekarno (bapaknya Menteri Agama saat ini) mengusulkan agar dalam isi Dekrit disebut juga Piagam Jakarta. Akhirnya dalam Dekrit Presiden disebutkan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945. Baca buku KH. Saifuddin Zuhri, Kembali Ke Pesantren. Buku ini, termasuk buku “70 Tahun Kasman”, dan buku lainnya wajib dibaca oleh tokoh-tokoh Islam, termasuk politisi-politisi Muslim, terlebih dari partai Islam dan berbasis massa Islam, agar paham sejarah politik Islam, supaya bicaranya tidak ngawur.

Sampai dengan terbitnya Dekrit Presiden hingga saat ini, maka betapa jelas relasi agama dan politik di Indonesia. Indonesia itu “bukan negara agama” (tentu yang dimaksud agama adalah Islam) tapi juga bukan negara sekular sebagaimana di Barat. Indonesia adalah negara Pancasila yang menempatkan agama pada posisi penting.

Posisi Indonesia yang seperti ini yang mestinya dipahami oleh siapapun, terlebih Presiden Jokowi. Berwacana atau berpolemik nyeleneh dengan mengatakan bahwa agama dan politik itu harus dipisah, maka sama halnya merongrong dan melecehkan Pancasila. Dan mereka yang merongrong dan melecehkan Pancasila, bisa jadi karena memang tidak paham Pancasila, tapi bisa juga paham tapi memang sengaja bermaksud untuk melecehkan Pancasila.

Percayalah, kalau ada pihak-pihak tertentu di Indonesia yang mencoba menjadikan Indonesia sebagai negara sekular atau juga sebaliknya, menjadi negara agama dan berhasil, maka kehancuran Indonesia tinggal menunggu waktu.

DAN UPAYA UNTUK MENJADIKAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA SEKULAR, NEGARA ATHEIS ATAU NEGARA AGAMA ADALAH BENTUK KEBIADABAN DAN PENGKHIANATAN TERBESAR TERHADAP PARA PENDIRI BANGSA.

Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy
(Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta)