Benarkah Ulama Kalam Menafikan Ilmu Pengetahuan?

Ust. Wahyudi Abdurrahim, Lc. M.M:

Sering kita mendengar bahwa para ulama kalam, termasuk di antaranya adalah ulama kalam dari kalangan Asy’ariyah menolak ilmu pengetahuan. Bahkan tidak sedikit para pemikir Islam, baik klasik maupun kontemporer yang menuduh ulama kalam sebagai biyang kerok kemunduran peradaban Islam. Ulama kalam bahkan dianggap menghancurkan ilmu pengetahuan.

 

Ini tidak lain karena ulama kalam menolak terjadinya sebab akibat. Padahal dalam alam fisik, sebab akibat dianggap sebagai faktor tertpenting ditemukannya berbagai macam ilmu penegtahuan. Jika tanpa adanya sebab akibat, lantas bagaimana bisa terjadi berbagai penemuan yang ada di dunia ini? Apalagi jika mengatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini bisa berubah sewaktu-waktu, maka ilmu pengetahuan jadi tidak ada gunanya. Penemuan hari ini bisa langung tergugurkan dengan perubahan alam esok hari.

 

Benarkah demikian? Mari kita lihat pendapat ulama kalam secara langsung. Memang dari berbagai lilatur kalam, baik dari kalangan Muktazilah, Syiah maupun Asyariyah, semua menolak adanya hubungan sebab akibat di alam raya ini. Menurut para ulama kalam, di dunia ini tidak ada sebab yang mempunyai pengaruh secara independen. Dengan kata lain, bahwa api sama sekali tidak mempunyai pengaruh dan kekuatan untuk bisa membakar kertas, kayu, kapas dan lain sebagainya. Air, tidak mempunyai pengaruh sama sekali untuk bisa membasahi tanah, kain, daun dan lain sebagainya.

 

Lantas dari mana “pengaruh” yang muncul itu? Bukahkah setiap kita melihat kertas, kayu atau kapas yang dimasukkan ke dalam api, barang-barang tersebut akan langsung terbakar?

 

Bukankah setiap kita melihat air yang ditumpahkan ke tanah, maka tanah akan basah? Ketika ditumpahkan ke kain, maka kain akan basah? Dan demikian seterusnya? Apakah ini bukan hubungan sebab akibat?

 

Jawabnya sebagai berikut:

Menurut ulama kalam, bahwa sifat membakar itu, sesungguhnya tidak dimiliki oleh api secara independen. Allah lah yang memberikan pengaruh kepada api sehingga ia bisa membakar. Jadi, pengaruh yang sesungguhnya adalah Allah semata.

 

Demikian juga dengan air. Sifat “membasahi sesuatu” pada diri air, sesungguhnya bukan dari air itu sendiri. Air tidak mempunyai sifat apapun. Ia juga tidak mempunyai kekuatan apapun. Kekautan dapat membasahi sesuatu, itu murni karena kehendak Allah semata.

 

Hanya saja, Allah memberikan sifat kontinuitas kepada api supaya selalu bisa membakar, memberikan sifat kontinuitas air supaya dapat membasahi sesuatu. Sifat kontinuitas inilah yang oleh ulama kalam disebut dengan al-ithrad. Sementara kemampuan membakar atau membasahi sesuatu itu, disebut dengan kebiasaan (al-adah).

 

 

Lantas, bagaimana dengan perkembangan ilmu pengetahuan? Menurut ulama kalam, bahwa yang menjadikan ilmu pengetahuan tidak berubah adalah sifa kebiasaan yang berulang dan tetap itu (al-adah al-muthradah). Dengan ini, bisa dilakukan berbagai penelitian ilmiah. Jadi, kebiasaan yang bersifat berulang yang tidak berubah inilah yang dijadikan sebagai patokan. Inilah yang disebutkan dalam firmankan Allah:
سنة الله التي قد خلت من قبل ولن تجد لسنة الله تبديلا
Artinya: “Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu. (QS. al-Ahzab: 23)
ولا تجد لسنتنا تحويلا.
Artinya: Dan tidak akan kamu dapati peubahan bagi ketetapan kami itu. (QS. al-Isra’77).

 

Kebiasaan tadi (al-adah), sifatnya tidak dharuriy (tidak mempunyai sifat keharusan). Ia sekadar talazumiy, atau pengaruh sekunder. Artinya, jika berkehendak, bisa saja Allah menciptakan api, namun tidak bisa membakar. Allah menciptakan air, namun tidak bisa membasahi.

 

Jika api tidak lagi bisa membakar dan air tidak lagi bisa membasahi, bearti ia telah keluar dari kebiasaan (al-adah). Ia dianggap sebagai perkara yang menembus kebiasaan. Karena diluar kebiasaan inilah, maka ia disebut sebagai perkara yang khariqun lil adah atau perkara luar biasa. Mukjizat Allah yang diberikan kepada para nabi, sesungguhnya masuk dalam perkara yang khariqun lil adah ini, perkara yang mampu menembus kebiasaan. Jadi, mukjizat sifatnya luar biasa.

 

Nabi Ibrahim masukkan ke dalam api. Meski biasanya (al-adah) api bisa membakar, namun untuk kasus nabi Ibrahim ini, api tidak bisa membakar. Nabi Ibrahim selamat dari kobaran api.

 

Demikian juga kemampuan tongkat nabi Musa yang dilempar bisa menjadi ular. Biasanya, tongkat tatkala dilempar tidak akan menjadi apapun. Namun berbeda yang terjadi pada Nabi Musa tatkala nabi musa berhadapan dengan Firaun. Tongkat yang dilemparkan nabi musa untuk melawan tukang sihir itu, berubah menjadi ular.

 

Lagi-lagi, apa yang terjadi pada diri nabi Musa ini menjadi perkara yang menyalahi kebiasaan. Ini menjadi perkara yang luar biasa. Ia mampu menembus kebiasaan yang berlaku di alam fisik. Inilah yang disebut sebagai khariqun lil adah.

 

Jika untuk alam fisik, para ulama kalam menggunakan istilah al-adah yang muthrad (kebiasaan yang selalu berulang), maka untuk manusia, mereka menggunakan istilah al kasb.  Maksudnya, bahwa prilaku manusia itu sesungguhnya bukan dari hasil ciptaan manusia. Allahlah yang meletakkan sesuatu itu sehingga manusia bisa melakukan sesuatu. Contoh: tatkala manusia lapar, ia akan makan. Setelah makan, ia merasa kenyang. Apa yang dilakukan manusia dengan upaya untuk mengenyangkan diri itu, sesungguhnya adalah al-kasb atau usaha manusia saja. Adapun yang memberi sifat kenyang itu sendiri, sesungguhnya hanya Allah semata. Manusia tidak mempunyai kekuatan apapun untuk membuat kenyang.

 

Hanya saja, sudah menjadi tradisi yang berulang-ulang (al adah al muthradah) bahwa setiap orang makan, dipastikan ia akan kenyang. Jika ada orang makan banyak tapi tidak kenyang, itu namanya di luar kebiasaan. Inilah yang oleh ulama kalam disebut dengan khariqun lil adah.

 

Mengapa ulama kalam tidak mau mengatakan bahwa di alam raya ini terjadi hukum sebab akibat? Sesungguhnya apa yang dilontarkan ulama kalam ini berangakt dari asumsi dasar bahwa di dunia ini tidak ada yang punya kekuatana mutlak selain Allah. Tidak ada yang sanggup melakukan sesuatu selain karena kehendak Allah. Allah adalah

فعال لما يريد

Artinya : Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya”. [Al-Buruj : 16]

 

 

Allah benar-benar yang Maha Kuasa. Allah mempunyai hak mutlak kepada makhluknya. Jadi, ulama kalam benar-benar ingin tauhid murni. Tauhid yang hanya percaya dengan kekuatan Allah semata.

 

Jika makhluk mengaku punya kekuatan lain yang bisa mempengaruhi sesuatu dan berasal dari dirinya sendiri, sama artinya ia menyaingi Tuhan. Sementara Tuhan tidak ada satu pun yang bisa menyainginya. Jika kita percaya demikian, sama juga kita telah menyekutukan Allah Yang Maha Kuasa.

 

Kesimpulannya, dengan teori al adah yang sifatnya al muthradah ini, para ulama kalam tidak ingin mengharuskan Tuhan untuk melakukan sesuatu. Ulama kalam juga menafikan kekuatan lain selain Allah. Segala pengaruh yang ada di alam raya, sumbernya hanya Allah semata. Meski demikian, bukan bearti dengan ini olmu pengetahuan tidak bisa berkembang. Karena allah telah membuat suatu ketetapan yang tidak bisa berubah kecuali dengan kehendaknya. Perubahan yang berulang ini disebut dengan khariqun lil adah (di luar kebiasaan).

 

 

Untuk menguatkan pernyataan di atas, mari kita lihat pendapat langsung daru ulama kalam:

Imam Ghazali berkata:

الاقتران بين ما يعتقد في العادة سببًا، وبين ما يعتقد مسببًا، ليس ضروريًا عندنا)

 

“Hubungan antara kebiasaan (al-adah) yang sering diasumsikan sebagai sebab dan sesuatu yang lain yang sering diasumsikan sebagai musabab bukanlah hubungan yang sifatnya dharuri (kepastian).”

 

Kalimat di atas secara jelas menafikan mengenai hubungan sebab akibat yang terjadi di alam raya.

(…بل كل شيئين ليس هذا ذاك، ولا ذاك هذا، ولا إثبات أحدهما متضمنًا لإثبات الآخر ولا نفيه متضمنًا لنفي الآخر

“Antara dua asumsi tersebut, sebenarnya tidak ada keterpengaruhan sama sekali, baik dari “sebab” ke “musabbab”, atau sebaliknya, bukan ada sebab lalu pasti ada musabbab, atau ada musabbab karena ada sebab”.

 

إن ما هو مشاهد في الحس لا يوجد ضرورة ولا وجوبًا وإنما هو يجري مجرى العادة، بمعنى وجوده وتكراره على طريقة واحدة

“Sesungguhnya apa yang terlihat dengan indera kita, tidak mempunyai keterkaitan secara pasti (dharurah) ataupun sebuah keharusan (wujuban). Semau itu terjadi karena kebiasaan saja. Itu terjadi karena memang kejadiannya sering berulang dengan cara yang sama.”

 

اللازمات .. يجوز أن تنفك عن الاقتران بما هو لازم لها، بل لزومه لحكم العادة)

Allazimat (musabbab) bisa saja terlepas dari lazim (sebab). Keterkaitan itu karena kebiasaan saja.

 

Al-Baghdadi berkata:

وأجازوا ـ أي الأشاعرة … أن يجمع الإنسان بين النار والقطن والحلفاء فلا تحرقها على نقض العادة

 

Asyariyah membolehkan manusia, atau kapas yang masuk ke dalam api tidak terbakar, menyalahi kebiasaan yang terjadi.

 

Imam Ghazali berakta:

فإن اقترانها بما سبق من تقدير الله ـ سبحانه، يخلقها على التساوق لا لكونه ضروريًا في نفسه .. بل في المقدور خلق الشبع دون الأكل، وخلق الموت دون جز الرقبة، وإدامة الحياة مع جز الرقبة

 

Hubungan antara kebiasaan (al adah) dan musabab itu, merupakan ketentuan Allah. Allah lah yang menciptakan terjadinya hubungan antara keduanya. Bukan karena sebab busabab secara independen. Allah sanggup untuk menciptakan seseorang kenyang meski tidak makan. Mematikan orang tanpa harus terpenggal lehernya atau menghidupkan orang, sementara lehernya sudah terpenggal.