Relasi Antara Ushul Fikih, Ilmu Kalam dan Ilmu Mantiq

Ust. Wahyudi Abdurrahim. Lc. M.M:

Dalam kitab al-Luma karya imam Syairazi, mukadimah buku dikaji tentang pengetahuan. Selain itu, beliau juga membahas tentang dalil, imarah, zhan, syak dan juga peletakan mukadimah sughra dan kubra.

 

Jika kita buka kitab waraqat karya imam Haramain, bahasannya juga mirip. Mukadimah buku menerangkan tentang pengetahuan, dalil, imarah dan setersunya. Bahasan seperti ini semakin jelas dan kentara di buku ushul fikih al-Mustasfa karya imam Ghazali. Bahkan beliau panjang lebar membahas tentang dalil dan dilalah mantiqiyyah.

 

Mari kita lihat ilmu kalam. Dalam kitab al-Ibkar Fi Ushuliddin jilid satu, Imam Amidi di awal-awal buku membahas panjang lebar tentang “pengetahuan” ini. Bahasannya jauh lebih detail dibandingkan dengan yang ditulis oleh Imam Haramain dalam kitab waraqatnya, Imam Syairazi dalam kitab allumanya dan Imam Ghazali dalam kitab al-Mustasfanya. Di kitab-kitab ilmu kalam, nuansa filsafatnya jauh lebih kental. Bahasan seperti ini juga kita jumpai dalam kitab ilmu kalam lainnya seperti Syarhul Mawaqif karya Imam Iji.

 

Mari kita lihat di ilmu mantiq. Bahasan terkait dalil, dilalah dan semacamnya, termasuk masalah qadhaya, mukadimah sughra dan mukadimah kubra jauh lebih luas. Bedanya dengan ilmu ushul fikih dan kalam, di mantik tidak terlampau jauh dalam bahasan pengetahuan ini. Namun bahasan terkait hakekat pengetahuan dan sarana menuju pengetahuan lebih rinci. Ini bisa dilihat dari kita Syarhussula fil Mantiq karya Al-Akhdariy atau Mi’yarul ilmi karya Imam Ghazali.

 

Di sini, kita melihat ada keterkaitan yang sangat erat antara ilmu kalam, mantiq dan ushul fikih. Mukadimah ilmu kalam dan ilmu ushul fikih mutaakhirin selalu dimulai dengan ilmu mantiq. Apalagi terkait dengan definisi, hamper dipastikan menggunakan cara pembentukan definisi yang biasa dipakai oleh para pakar mantiq. Ini artinya, bahwa logika Aresto ini sudah masuk sangat jauh dalam pemikiran Islam klasik.

 

Keterkaitan antara ilmu kalam, mantiq dan ushul fikih sesungguhnya tidak berhenti di sini saja. Ketika kita membahas tentang kiyas, di sana akan banyak sekali singgungan antara ketiga ilmu tadi. Tiga-tiganya saling terkait dalam bahasan yang sama, meskipun tujuannya berbeda. Ushul fikih untuk menentukan kesimpulan hukum yang terkait dengan perbuatan hamba secara praktis, sementara kalam untuk menentukan hakekat kebenaran tentang Tuhan. Lebih jauh lagi, singgungan bahasan akan nampak dari illat ma’lul, sebab, syarat, baik buruk apakah dengan akal atau syariat, hikmah, dan lain sebagainya. Di sana singgungan antar tiga ilmu tadi sangat erat.

 

Memang ushul fikih sendiri dibangun atas bebrapa campuran ilmu, yaitu kalam/filsafat, bahasa arab dan fikih. Tiga campuran cabang ilmu tadi, menyatu dalam satu bahasan yang kemudian menjadi sebuah metodologi ijtihad. Ia menjelma menjadi ilmu ushul fikih.

 

Bahasan kaedah bahasa Arab juga akan bersinggungan dengan mantik. Ini bisa dilihat dari bahasan dilalah. Di sana kita akan ketemu lagi dengan berbagai istilah bahasa Arab yang dicampur dengan ilmu mantik, seperti dilalah lafzhiyah, dilalah tadhamuniyyah, dilalah iltizamiyyah dan lain sebagainya. Semua itu, sesungguhnya kaedah mantiq Aresto.

 

Bahasa Arab secara murni, akan kita jumpai dalam bahasa semantic. Di sini, bisa dikatakan kaedah bahasa arab murni yang digunakan sebagai piranti ijtihad. Kaedah-kaedah ushuliyyah yang dihasilkan, umumnya juga berasal dari kaedah bahasa Arab itu.

 

Kesimpunya, untuk mempelajari ilmu ushul fikih butuh banyak piranti. Minimal kita harus menguasai beberapa cabang ilmu sekaligus, yaitu bahasa Arab, mantiq Aresto, ilmu kalam dan ilmu fikih. Tanpa punya latar belakang keilmuan tadi, kita akan kelabakan. Apalagi jika bergumul dengan kitab turas, penguasaan atas cabang ilmu tadi menjadi sebuah keharusan. Wallahu a’lam