Ilmu Kalam Itu Bukan Sekadar Masalah Ketuhanan  

Ust. Wahyudi Abdurrahim Lc. M.M:

Dalam beberapa diskusi WA, sering muncul pernyataan mengenai ilmu kalam dan masalah ketuhanan. Hal itu mengingat bahwa ilmu kalam banyak membahas tentang persoalan ketuhanan. Benarkah demikian?

 

Jawabnya sebagai berikut:

Jika kita membuka kitab-kitab ilmu kalam, katakanlah al-Ibkar fi Ushuluddin karya Imam Amidi yang bermadzhab Asyari, atau Ushulul Khamsah  dan al-Mughni karya Qadhi Abdul Jabbar yang bermadzhab muktazilah, kita akan mendapatkan bahasan ilmu kalam bahasannya sangat luas. Ilmu Kalam tidak hanya sekadar otak-atik Tuhan, namun mencakup persoalan sosial keagamaan.

 

Misalnya dalam kitab al-Ibkar, bab pertama yang disuguhkan adalah masalah ilmu. Bahasan tentang ilmu ini sangat filosofis, baik dari pertanyaan apa itu ilmu, di mana letaknya ilmu, pembagian ilmu, mungkinkah manusia dapat menerima ilmu pengetahuan, jika bisa, lantas bagaimana caranya?

 

Setelah itu, membahas tentang ilmu logika, baru setelah itu mengkaji panjang lebar tentang alam fisik dan alam metafisik. Bahasannya juga sangat filosofis. Banyak logika fisika yang dijadikan sebagai pembuktian alam metafisik. Bahasan terkait atom, sifat-sifat atom, gerak, diam, ruang kosong, ruang hampa, sangat detail.  Juga membahas tentang asal mula kejadian alam, apakah alam muncul dari ketiadaan, atau mucul dari ilat tertentu.. Di sini kita seakan kita belajar kosmologi.

 

Lalu membahas tentang Tuhan, sifat Tuhan, alam ghaib lainnya seperti malaikat dan jin, hari kiamat dan lain sebagainya. Juga mengkaji tentang rasul, kebutuhan adanya rasul, mengapa harus ada rasul, apakah manusia membutuhkan rasul dan sederet persoalan lainnya. Imam Amidi banyak mencounter kaum Brahmana yang mengatakan bahwa rasul tidak perlu ada. Manusia cukup menggunakan logika untuk menuntut hidup dia di dunia.

 

Lalu bahasan tentang amar makruf nahi munkar. Apa yang disebut dengan perbuatan makruf dan apa yang disebut dengan perbuatan munbkar. Batasan amar makruf nahi munkar. Bagaimana jika perbuatan munkar dilakukan oleh orang yang posisinya di atas kita, khususnya pemerintah. Bagaimana menyikapi pemerintah yang zhalim dan sudah “mampet”. Artinya pemerintah tidak mau mendengarkan nasehat ulama. Apakah pemerintah yang super zhalim ini, harus dikudeta? Bagaimana dengan revolusi massa? Bagaimana dengan pemberontakan? Di sini ilmu kalam sudah bersinggungan dengan berbagai persoalan sosial dan politik.

 

Terakhir adalah kajian tentang imamah  atau pemimpin umat. Bermula dari pertanyaan kebutuhan adanya pemimpin, urgensi pemimpin dan lain sebagainya. Lalu sistem pengangkatan pemimpin, apakah dengan nas atau tidak. Jika ia, bagaimana nasnya dan apakah nas tersebut tsiqah dan bisa diterima? Jika tidak, bagaimana sistem pengangkatannya yang ideal? Jika sudah menjadi pemimpin, apa hak dan kewajibannya? Di mana posisi ahlul hal wal iqdi sebagai Lembaga Legeslatifnya? Bagaimana hukum menurunkan pemimpin yang telah melanggar syariat dan bagaimana caranya? Apakah harus dengan ahlul hal qal aqdi? Bagaimana jika tidak mau diturunkan dan lain sebagainya.

 

Dari sedikit bahasan di atas, nampak sekali bahwa kajian dalam ilmu kalam sesungguhnya bukan sekadar masalah ketuhanan. Ilmu Kalam kajiannya sangat luas, tidak hanya mencakup urusan ketuhanan, namun juga sosial dan politik. Ilmu Kalam itu “filsafat hidup” bagi pengikut madzhabnya masing-masing. Oleh karenanya, kalam ini sangat berpengaruh terhadap prilaku seseorang. Walahu alam.