Tuntunan Hari Raya Idul Fitri Sesuai Pemahaman Muhammadiyah

Bulan mulia Ramadhan telah bersiap meninggalkan kita. Sebagai tamu istimewa yang dulu kita sambut kedatangannya dengan ungkapan mulia, Marhaban Yaa Ramadhan, maka kini dengan hati sedih kita harus ucapkan kata-kata perpisahan Ma’a Assalamah Ila Alliqo.

Dalam menyambut perpisahan ini pasti terdapat rasa was-was sekiranya amalan kita tidak diterima dan juga rasa penyesalan dalam diri kita karena belum mampu menjamu Ramadhan secara maksimal. Dan karena itu pula maka tak heran dahulu setiap akhir Ramadhan para sahabat Rasulullah senantiasa sedih  atas kepergian bulan Ramadhan.

Namun demikian, tak boleh berlarut dalam kesedihan karena Allah telah mempersiapkan moment lain selepas berakhirnya bulan Ramadhan.

Lebaran atau hari raya Idul Fitri adalah peristiwa istimewa lainnya yang telah ditetapkan oleh Allah untuk umat Islam pasca bulan Ramadhan. Hari Raya disebut “Id” karena pada hari itu Allah Swt mempunyai kebaikan dan kemurahan yang kembali berulang-ulang dan dianugerahkan kepada makhluk-Nya setiap tahun yang membawa kegembiraan dan kepuasan. Kata “Id” yang selalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan ‘hari raya’ menurut etimologinya berarti al-mausim (musim), disebut demikian karena setiap tahun berulang.

Dinamakan Idul Fitri karena pada hari itu orang-orang Islam yang menjalankan puasa Ramadlan berbuka dan tidak lagi berpuasa seperti hari-hari sebelumnya selama bulan Ramadlan. Hari Idul Fitri ini dirayakan dengan melakukan shalat Idul Fitri secara berjamaah. Ibadah ini disyariatkan pada tahun pertama Nabi saw sampai di Madinah. Dari sini pula maka menjadi kurang tepat kalau memaknai Idul Fitri hanya sebagai hari kembali suci (fitroh). Secara bahasa antara fitri dan fitroh itu berbeda karena itu maka disebutlah sebagai Idul Fitri bukan Idul Fitroh.

Baik pada hari raya Idul Fitri, maupun hari raya Idul Adha, umat Islam disunnahkan untuk melakukan shalat hari raya. Hal tersebut dijelaskan oleh banyak hadis Nabi, diantaranya adalah hadis Nabi berikut ini:

Dari Ibnu Umar, ia berkata: “Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar melakukan shalat dua hari raya sebelum khutbah dilaksanakan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Berikut adalah tuntunan Nabi seputar shalat ‘Idul Fitri sesuai dengan yang dipahami oleh Muhammadiyah.

  1. Memperbanyak Takbir

Dalam rangka menyambut hari Idul Fitri dituntunkan agar orang memperbanyak takbir pada malam Idul Fitri sejak terbenamnya matahari hingga pagi ketika shalat ‘Id akan dimulai.

… Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Al-Baqarah (2): 185)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”[HR Ibnu Syaibah] Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.

Ibnu ‘Umar meriwayatkan, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”[ Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/279). Hadits ini hasan. Lihat Al Irwa’ (3/123)]

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia apabila pergi ke tanah lapang di pagi hari ‘Id. Ia bertakbir dengan mengeraskan suara takbirnya. (HR. Asy-Syafi’i)

Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya ia apabila pergi ke tempat shalat pada pagi hari Idul Fitri ketika matahari terbit, ia bertakbir hingga sampai ke tempat shalat pada hari Id, kemudian di tempat shalat itu ia bertakbir pula, sehingga apabila imam telah duduk, ia berhenti takbir. (HR. Asy-Syafi’i)

Lafadz Takbir: Lafadz takbir ’Ied yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw adalah:

  • Lafadz takbir ‘Ied seperti disandarkan kepada Ibn Mas’ud, ‘Umar ibn al-Khattab dan ‘Ali ibn Abi Thalib, di antaranya adalah sebagai berikut:

 اَللهُ كْبَرُ،اَللهُ أًكْبَرُ لاَإِلَهَ إِلاَّ اَللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّه اْلحَمْدُ

Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tiada Tuhan melainkan Allah dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan bagi Allah-lah segala puji.” (berdasarkan hadits riwayat Ibn Abi Syaibah, Mushannaf, tahqiq: Kamal al-Hut, juz 1 hlm 490 no. 5650, 5651, 5653. Ibn al-Mundzir, Al-Awshat, juz 7, hlm 22 no: 223, hlm 23, 24, 25 no:224, 225, 226)

Ucapan Allahu Akbar dalam takbir ‘Ied pada redaksi hadits di atas jelas hanya diucapkan dua kali, tidak tiga kali.

Majelis Tarjih Muhammadiyah, melalui Muktamar Tarjih XX yang berlangsung tanggal 18 s.d 23 Rabi’ul Akhir 1939 Hijriyah di Kota Garut Jawa Barat memilih menggunakan lafadz takbir dengan mengucapkan Allahu Akbar dua kali.

Adapun ucapan takbir yang berupa: Allahu Akbar Kabira wal-hamdu lil-Lahi katsira… dan seterusnya sampai wa lau karihal-kafirun, musyrikun dan lain-lain, kemudian diteruskan dengan La ilaha illa-Llahu wahdah … dan seterusnya sampai wa hazamal-ahzaba wahdah.  belum ditemukan dasar atau dalil yang secara jelas menuntunkan bertakbir hari raya dengan lafadz seperti itu

  1. Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.”[ Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425]

  1. Berhias dengan Memakai Pakaian Bagus dan Wangi-wangian

Orang yang menghadiri shalat Idul Fitri baik laki-laki maupun perempuan dituntunkan agar berpenampilan rapi, yaitu dengan berhias, memakai pakaian bagus (tidak harus mahal, yang penting rapi dan bersih) dan wangi-wangian sewajarnya.

Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw selalu memakai wool (Burda) bercorak (buatan Yaman) pada setiap ‘Id (HR. Asy-Syafi’i dalam kitabnya Musnad asy-Syafi’i)

Diriwayatkan dari Zaid bin al-Hasan bin Ali dari ayahnya ia mengatakan: kami diperintahkan oleh Rasulullah saw pada dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) untuk memakai pakaian kami terbaik yang ada, memakai wangi-wangian terbaik yang ada, dan menyembelih binatang kurban tergemuk yang ada (sapi untuk tujuh orang dan unta untuk sepuluh orang) dan supaya kami menampakkan keagungan Allah, ketenangan dan kekhidmatan (HR. Al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak, IV: 256)

  1. Makan Sebelum Berangkat Shalat Idul Fitri

Diriwayatkan dari Anas bin Malik ia berkata: adalah Rasulullah saw tidak pergi ke shalat Idul Fitri sebelum beliau makan beberapa kurma (HR. Al-Bukhari)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya (yaitu Buraidah bin al-Husaib) ia berkata: Rasulullah saw pada hari Idul Fitri tidak keluar sebelum makan, dan pada hari Idul Adha tidak makan sehingga selesai shalat (HR. At-Tirmizi)

  1. Dianjurkan Berangkat dengan Berjalan Kaki dan Pulang Melalui Jalan Lain

Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan, artinya: “Dari ‘Ali r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Termasuk sunnah Nabi, pergi ke tempat shalat ‘Id dengan berjalan kaki dan makan sedikit sebelum keluar.” [HR at- Tirmidzi]

Dalam riwayat lain disebutkan:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki (HR Ibnu Majah) Menurut al-Albani: Hasan

Dari Abu Hurairah r.a, beliau mengatakan, artinya: “Rasulullah saw apabila keluar ke tempat shalat dua Hari Raya, pulangnya selalu mengambil jalan lain dari ketika beliau keluar.” [HR. Ahmad dan Muslim].

  1. Pelaksanaan Shalat Idul Fitri Dihadiri oleh Semua Umat Islam

Idul Fitri merupakan peristiwa penting dan hari besar Islam yang penuh berkah dan kegembiraan. Oleh karena itu, pelaksanaan shalat ini dihadiri oleh semua orang Muslim, baik tua, muda, dewasa, anak-anak,laki-laki dan perempuan, bahkan perempuan yang sedang haid, juga diperintahkan oleh Nabi saw supaya hadir, hanya saja mereka tidak ikut shalat dan tidak masuk ke dalam shaf shalat, namun ikut mendengarkan pesan-pesan Idul Fitri yang disampaikan oleh khatib.

Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah al-Anshariyah ia berkata: Rasulullah saw memerintahkan kami untuk menyertakan gadis remaja, wanita yang sedang haid, dan wanita pingitan. Adapun wanita yang sedang haid supaya tidak memasuki lapangan tempat shalat, tetapi menyaksikan kebaikan hari raya dan dakwah yang disampaikan khatib bersama kaum muslimin. (HR. Ahmad).

Tata Cara Shalat ‘Idul Fitri
  1. Sebelum shalat Id dimulai dan sesudahnya tidak ada tuntunan mengerjakan shalat sunnah qobliyah ‘ied dan sunnah ba’diyah ‘ied.

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

Artinya: “Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan) bahwasanya Rasulullah saw pada hari Idul Adlha atau Idul Fitri keluar, lalu shalat dua rakaat, dan tidak mengerjakan shalat apapun sebelum maupun sesudahnya. [Ditakhrijkan oleh tujuh ahli hadis].

  1. Untuk menyerukan dimulai shalat tidak dituntunkan mengumandangkan adzan dan iqomah ataupun bacaan-bacaan lain seperti ashshalatu jami’ah

Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata,

 “Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”[ HR. Muslim]

  1. Shalat Idul Fitri dikerjakan secara berjama‘ah di tanah lapang. Jumlah rakaat shalat Idul Fitri adalah dua rakaat, dengan tujuh kali takbir setelah takbiratul ihram pada rakaat pertama, dan lima kali takbir pada rakaat kedua. Dasar-dasarnya adalah:

Artinya: “Dari Abu Sa‘id al-Khudri (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi Muhammad saw selalu keluar pada hari Idul Fitri dan hari Idul Adlha menuju lapangan, lalu hal pertama yang ia lakukan adalah shalat …” [HR. Al-Bukhari].

Artinya: “Dari Aisyah (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw pada shalat dua hari raya bertakbir tujuh kali dan lima kali sebelum membaca (al- Fatihah dan surat). [HR Ahmad].

Di antara takbir-takbir tersebut (takbir zawa-id)  tidak ada bacaan dzikir tertentu

  1. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”[HR Muslim]

Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[ HR Muslim]

  1. Sehabis shalat, hendaklah dilakukan Khutbah Idul Fitri sebanyak satu kali;  dimulai dengan bacaan hamdalah. Dasarnya adalah:

Artinya: “Dari Abu Sa‘id al-Khudri (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha menuju lapangan tempat shalat, maka hal pertama yang dia lakukan adalah shalat, kemudian manakala selesai beliau berdiri menghadap orang banyak yang tetap duduk dalam saf-saf mereka, lalu Nabi saw menyampaikan nasehat dan pesan-pesan dan perintah kepada mereka; lalu jika beliau hendak memberangkatkan angkatan perang atau hendak memerintahkan sesuatu beliau laksanakan, kemudialalu beliau pulang. [HR. Muttafaq ‘Alaih].

“Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw jika memulai khutbah dengan mengucapkan ‘al-hamdulillah’ …”. [HR. Abu Dawud].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Setiap pidato yang tidak dimulai dengan ‘al-hamdulillah’, maka tidak barakah.” [HR. Abu Dawud].

Sedangkan orang yang memulai khutbah dengan takbir didasarkan kepada Hadits yang berbunyi:

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Abdullah Ibnu ‘Utbah ia berkata: Merupakan sebuah sunnah Nabi membuka khutbah dengan tujuh takbir secara pelan-pelan dan yang kedua dengan sembilan takbir secara pelan-pelan.” [HR. al-Baihaqi].

Hadits di atas tidak bisa dijadikan dalil (tidak maqbul) karena termasuk hadits maqtu’(terputus).  Disebabkan Abdullah Ibnu Abdullah adalah seorang tabi’in,dan berdasarkan ushulul-hadits ia tidak dapat diterima kalau ia mengatakan ‘sebagai suatu sunnah Nabi’ Demikian dikatakan oleh  Asy-Syaukani dalam Nailul-Authar Juz III halaman. Dalam hal ini dengan  tegas Ibnul-Qayyim mengatakan bahwa memulai khutbah Idain (Fithri dan Adlha)  dengan takbir, sama sekali tidak ada sunnah yang dapat dijadikan dasarnya. Sebaliknya yang disunnahkan adalah memulai segala macam khutbah dengan ‘al-hamdu’

  1. Pada Hari raya idul fitri dianjurkan saling mendo’akan antara sesama kaum muslimin dengan mengucapkan kalimah “taqabbalallahu minna wa minkum” ”(mudah-mudahan Allah menerima amal kami dan amal kamu). Hal ini didasarkan pada Hadits berikut ini:

Diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan, ia berkata: “ Aku bertemu dengan Watsilah bin al-Asqo’ pada hari raya, lalu aku berkata “taqabbalallahu minna wa minkum”(mudah-mudahan Allah menerima amal kami dan amal kamu). Dia menjawab: “Ya, taqabbalallahu minna wa minkum”. Lalu ia berkata: “ Aku pernah bertemu dengan Rasulullah saw pada hari raya lalu aku berkata  “taqabbalallahu minna wa minkum”, beliau menjawab “taqabbalallahu minna wa minkum”. (HR al-Baihaqi). Wallaahu a‘lam bish-shawab. (Drj)

Sumber:

  1. Tim Sang Pencerah
  2. Buku Tuntunan Shalat Idain Dan Qurban, Majlis Tarjih PP Muhammadiyah
  3. Website Tuntunan Islam, Ustadz Zaini Munir Fadloli

Muroja’ah:

Ustadz Wahyudi Abdurrahim Lc