Menggali Lagi, Apa Makna Kembali Kepada al-Quran dan al-Sunnah ?

ilustrasi

Oleh. Ahla Kembara, S.Pd

SangPencerah.com- Akhir-akhir ini terjadi satu permasalahan yang memiliki potensi strategis untuk berkembang menjadi konflik dalam  khazanah keilmuan. Beberapa orang atau sebagian kelompok mempermasalahkan jargon“Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah”. Di satu sisi, ada yang menggaungkan jargon “K

embali kepada Ulama”. Mana yang benar? Kalaulah boleh penulis langsung jawab, dari kedua jargon tersebut tidak perlu saling dibenturkan dan kedua jargon tersebut tidak ada yang salah, namun tidak menutup kemungkinan ada kesalahan oknum atau personal dan bahkan sebagian kelompok yang mengusung jargonnya masing-masing.

            Jargon “Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah” atau “al-Ruju’ ila al-Quran wa al-Sunnah”  bukan bermakna semata-mata merujuk kepada al-Quran dan al-Sunnah dalam suatu permasalahan kemudian menafsirkan dengan seenaknya dan serampangan, tanpa merujuk kepada para Ulama yang notabene merupakan pewaris para nabi yang tentu lebih paham. Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah otomatis juga kembali kepada Ulama. Karena di tangan para Ulamalah bangunan khazanah keilmuan yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah bisa mapan, sehingga dengan mudah dapat kita kaji, yang didokumentasikan lewat buah karya pemikiran mereka yang berbentuk kitab-kitab turats yang berjilid-jilid. Mengkaji al-Quran dan al-Sunnah secara otomatis juga harus mempelajari kitab-kitab yang ditulis oleh para Ulama. Misalnya: kalau ingin mengetahui tafsir ayat tertentu, maka otomatis juga harus merujuk kepada kitab Tafsir, begitu juga dengan permasalahan-permasalahan fiqih yang terkandung dalam al-Quran dan al-Sunnah atau yang berkaitan dengan suatu hukum permasalahan, otomatis juga harus merujuk kepada kitab-kitab Fiqih ataupun Ushul Fiqih. Tentu saja hal ini  juga dengan bimbingan orang yang paham dan berilmu, misal diantaranya dengan ikut kajian tafsir, kajian fiqih dan kajian ilmu yang lain. Hal ini tentunya sudah bisa menjadi maklumat dan kemafhuman bagi masing-masing kubu, baik kubu pengusung jargon “Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah” maupun kubu yang illfeel kalau mendengar jargon tersebut.

            Bila ada kelompok yang mengusung jargon “Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah”, namun arogan,  cenderung tidak memiliki ruang tasamuh (toleransi) dan merasa benar sendiri,  maka tidak perlu dijadikan representasi tunggal, untuk tidak mengatakan tidak perlu dijadikan teladan. Dan tidak perlu pula  illfeel dengan jargon tersebut. Kesalahan bukan terletak pada jargonnya, tapi bisa saja pada pelaku dan implementasinya. Permasalahan ini juga berlaku bagi kubu yang mengusung jargon “Kembali kepada Ulama”. Kalau ada orang tua ingin minum kopi kemudian menyuruh anaknya membuatkan kopi untuk sang orang tua, kemudian disajikan dalam keadaan kopi masih berbentuk bubuk tanpa dicampur air panas, tentu saja yang perlu diberi masukan (untuk tidak mengatakan menyalahkan) adalah anaknya atau implementasi dalam penyajian kopi tersebut, bukan menyalahkan kopinya. Karena yang namanya membuat kopi sudah tentu harus lengkap dengan air panas berikut gulanya, sehingga jadilah kopi manis dan siap saji untuk diminum.

 Kita yang merupakan bagian dari negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam telah mengetahui betapa tidak hanya satu atau dua organisasi atau kelompok yang mengusung jargon yang redaksi kalimatnya hampir sama dengan “Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah”. Yang menjadi tugas bersama bukan menyinyir dan illfeel kepada slogan “Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah”, namun memberikan pencerahan kepada masyarakat yang belum paham akan makna “Kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah” atau bahkan kepada para pelaku arogansi khazanah keilmuan.

            Sebagai kalimat ikhtitam (penutupan), penulis ingin mengutip Q.S. al-Nisa’ ayat 59 sebagai berikut:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

Artinya:

“Maka apabila kamu berselisih dalam suatu permasalahan maka kembalikanlah ia (permasalahan itu) kepada Allah dan Rasul-Nya”.

            Dalam kitab tafsir Jalalain disebutkan bahwa maksud dari farudduhu ilallahi war rasul adalah kembalikan (permasalahan itu) kepada kitabullah (al-Quran) dan al-Sunnah baik saat Rasulullah SAW masih hidup ataupun setelah beliau wafat. (Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin al-Suyuti, Tafsir al-Jalalain, Hal. 87)

Kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah ketika terjadi perselisihan, maka apakah kita juga akan illfeel dengan firman Allah tersebut?!

Penulis Merupakan Ketua Kauman Institute

ilustrasi
ilustrasi