Mengenal Kuntowijoyo : Budayawan Muhammadiyah, Kebanggaan Indonesia

SangPencerah.com-Kendati menjalani hidup dalam keadaan sakit, semenjak mengalami serangan virus meningo enchepalitis pada 6 Januari 1992, dia terus berkarya sampai detik-detik akhir hayatnya. Prof Dr Kuntowijoyo, yang akrab dipanggil Pak Kunto, ini meninggal dunia di Rumah Sakit Dr Sardjito, Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare dan ginjal.

Jenazahnya disemayamkan di rumah duka Jl Ampelgading 429, Perumahan Condongcatur dan di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM). Dikebumikan Rabu 23 Februari 2005 di Makam Keluarga UGM di Sawitsari. Dia meninggalkan seorang istri, Drs Susilaningsih MA yang dinikahi pada 8 November 1969, beserta dua putra, yakni Ir Punang Amaripuja SE MSc (34) dan Alun Paradipta (22).

Tidaklah terlalu membesar-besarkan, jika doktor ilmu sejarah dari Columbia University, Amerika Serikat, ini dijuluki seorang sejarawan beridentitas paripurna. Karena memang, dia menjalani hidup di beragam habitat dan identitas itu. Dia guru besar sejarah di Universitas Gadjah Mada. Pengarang berbagai judul novel, cerpen dan puisi. Pemikir dan penulis beberapa buku tentang Islam. Kolomnis di berbagai media. Aktivis berintegritas di  Muhammadiyah. Sangat sering menjadi penceramah di masjid. Dan sebagainya, dan sebagainya.

Bayangkan, kendati sebagaian hari-hari (puluhan tahun) dijalaninya dalam keadaan sakit, dia telah menulis lebih 50 judul buku. Belum terhitung kolom-kolomnya di berbagai media. Tak jarang pula bukunya mendapat acungan jempol dari berbagai kalangan intelektual. Seperti buku, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) dan Identitas Politik Umat Islam, terbitan Mizan, Bandung, 1997. Sebuah penuangan pemikiran yang mampu menerjemahkan konsep perjuangan ke dalam langkah nyata.

Sebagai seorang sejarawan, dia sangat menghargai kearifan dan budaya Jawa. Kedalaman pengetahuan tentang sejarah, memang mengajarkannya kearifan itu. Baginya, belajar sejarah adalah proses belajar kearifan. Dia mengimplementasikan dalam kesehariannya. Dia rendah hati dan bisa bergaul dengan semua golongan.

Selain sebagai sastrawan dan budayawan yang arif, dia juga pemikir (intelektual) Islam yang cerdas, jujur dan berintegritas. Buku-bukunya, seperti Paradigma Islam dan Politik Islam, Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Identitas Politik Umat Islam, sungguh mencerminkan kecerdasan, kejujuran dan integritasnya sebagai seorang intelektual muslim. Para mahasiswanya juga memandangnya seorang guru yang bijaksana. Meski dalam kondisi sakit, ia tetap mau merelakan waktunya untuk membimbing mahasiswanya.

Selain seorang sejarawan, Kunto juga seorang kiyai. Dia ikut membangun dan membina Pondok Pesantren Budi Mulia tahun 1980 dan mendirikan Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta tahun 1980. Dia menyatu dengan pondok pesantren yang menempatkan dirinya sebagai seorang kiai.

Dia juga seorang aktivis Muhammadiyah. Dia sangat lekat dengan Muhammadiyah. Dia pernah menjadi anggota PP Muhammadiyah. Bahkan dia melahirkan sebuah karya Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru. Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr. Syafii Maarif menyebut Kunto merupakan sosok pemikir Islam dan sangat berjasa bagi perkembangan Muhammadiyah. Menurut, Syafii, kritiknya sangat pedas tetapi merupakan pemikiran yang sangat mendasar.

Muhammadiyah dan Seni
Kuntowijoyo lahir di Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, 18 September 1943. Pendidikan SD dan SMP ditempuhnya di Sekolah Rakyat Negeri Klaten (1956) dan SMP Negeri Klaten (1959). Lalu melanjut ke SMA Negeri Solo (1962). Kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta (1969).

Kunto meraih master di University of Connecticut, AS (1974) dan gelar doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980) dengan disertasi Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940. Anak kedua dari sembilan bersaudara ini dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah dan dunia seni. Ayahnya yang Muhammadiyah juga suka mendalang. Dia diasuh dalam kedalaman relijius dan seni. Dua lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhannya semasa kecil dan remaja.

Semasa kuliah, dia sudah akrab dengan dunia seni dan teater. Dia bahkan pernah menjabat sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua Studi Grup Mantika, hingga 1971. Pada kesempatan ini, dia berkesempatan bergaul dengan beberapa seniman dan budayawan muda, seperti Arifin C. Noer, Syu’bah Asa, Ikranegara, Sutradara, Pembaca Cerpen Chaerul Umam dan Salim Said.

Sementara minat belajar sejarah sudah terlihat sejak kecil. Konon, saat belajar di madrasah ibtidaiyah di sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah (1950-1956), Kunto kecil sangat kagum kepada guru mengajinya, Ustad Mustajab, yang piawai menerangkan peristiwa tarikh (sejarah Islam) secara dramatik. Seolah dia dan murid-murid lainnya ikut mengalami peristiwa yang dituturkan Sang Ustad itu. Sejak itu, dia tertarik dengan sejarah.

Bakat menulisnya juga tumbuh sejak masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah itu. Gurunya, Sariamsi Arifin, seorang Penyair  dan Yusmanam, seorang pengarang. Kedua guru inilah yang membangkitkan gairah menulis Kunto.

Dia pun mengasah kemampuan menulis dengan terus menulis. Baginya, cara belajar menulis adalah banyak membaca dan menulis. Kunto, kemudian melahirkan sebuah novel berjudul Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari dimuat di Harian Jihad sebagai cerita bersambung.

Karya dan Penghargaan
Karya-karyanya pun terus mengalir sampai menjelang akhir hayatnya. Lebih 50 buku telah dirulisnya. Begitu juga cerpen dan kolom-kolomnya di berbagai media. Tak sedikit di antaranya meraih hadiah dan pengharaan. Cerita pendeknya, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1968), memenangkan penghargaan pertama dari sebuah majalah sastra.

Kemudian kumpulan cerpennya yang diberi judul sama Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, mendapat Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik versi Harian Kompas berturut-turut pada 1995, 1996 dan 1997.

Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku, 1972. Naskah dramanya berjudul Rumput-Rumput Danau Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973) mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995), Satyalencana Kebudayaan RI (1997), ASEAN Award on Culture and Information (1997), Mizan Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999) dan FEA Right Award Thailand (1999).

Juga menerima penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (1999). Novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas, berjudul Mantra Pejinak Ular, ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada 2001.

Sementara, karya-karya intelektualnya antara lain Demokrasi dan Budaya (1994), Pengantar Ilmu Sejarah (1995), Metodologi Sejarah (1994), dan Radikalisme Petani (1993). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) dan Identitas Politik Umat Islam, terbitan Mizan, Bandung, 1997.

Dukungan Susilaningsih
Pernikahannya dengan Susilaningsih, dikaruniai dua anak yakni Punang Amari Puja (dosen UMY) dan Alun Paradipta (mahasiswi Fakultas Teknik UGM). Perempuan yang akrab dengan baju muslimah ini dikenal sejak 1967. Saat itu mereka secara kebetulan bersua di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta, tempat Kunto sedang dirawat karena penyakit batu ginjal. Ning, gadis asli Karanganyar, Jawa Tengah, sedang menjenguk temannya yang sakit dan dirawat di rumah sakit itu.

Ketika itu, Ning, panggilan akrab Susilaningsih, masih kuliah tingkat II di IAIN Sunan Kalijaga. Dua tahun kemudian, tepatnya 8 November 1969, mereka menikah. Sejak 1985, keluarga bersahaja ini menempati rumah bertipe 70 di Jalan Ampel Gading 429, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta. Pada waktu itu, rumah itu dibeli dengan harga Rp 4,5 juta. Belakangan rumah itu diperluas menjadi sekitar 180 meter persegi dan berlantai dua. Ruang tamunya yang berukuran sekitar 4 X 5 meter hanya diisi dengan meja kursi tamu warna cokelat tua. Tak ada lukisan di dinding dan perabotan mahal.

Harta yang paling mahal di rumah itu hanyalah tumpukan buku dan piala-piala penghargaan untuk karya-karya tulisnya. Ruang perpustakaan di lantai atas penuh sesak dengan buku. Ruang keluarga, ruang tamu, lantai atas dan lantai bawah juga dijejali buku. Meja dan tangga ke lantai atas pun berisi buku-buku.

Isterinya, Ning, yang kini menjadi dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogja, juga telah menyelesaikan studi Psychology Department, Hunter College of The City University of New York, tahun 1980. Dukungan Susilaningsih Kuntowijoyo MA, sang istri yang dengan sabar dan tekun menemani, telah menjadi kekuatan dan inspirasi tersendiri bagi Kunto. Ketika Kunto jatuh sakit dan sulit melafalkan kalimat-kalimat dengan jelas, Ning, yang selalu setia mendampingi menerima tamu, sekaligus menjadi penerjemah ucapan-ucapannya.

Begitu juga ketika wawancara dengan wartawan. Ning juga yang membacakan makalah Kunto dalam berbagai forum seminar. Jika Ning berhalangan, putra sulungnya, Punang, yang sedang menyelesaikan studinya di Jurusan Geologi UGM, menggantinya sebagai penerjemah.

Adalah Ning juga yang selalu setia menadampinginya melakukan olah raga senam, jogging atau jalan kaki. Sekali dua hari, dia berolah raga. Kunto biasanya sudah bangun tidur sekitar pukul 03.30. Kemudian salat tahajud, salat fajar dan berzikir. Selepas itu, dia menulis sampai beduk subuh. Setelah salat subuh, meneruskan menulis lagi. Kala jadual jalan pagi, dua hari sekali, setelah salat subuh, ia berjalan-jalan untuk melemaskan otot kakinya sampai sejauh 5 kilometer, kegiatan menulis juga dilanjutkan lagi setelah jalan pagi. Siang hari, dia tidur siang. Sorenya, ia kembali menulis. Beristerahat sejenak dan sehabis salat isya, menulis lagi sampai tengah malam, bahkan kadang-kadang hingga pukul 02.00.

Namun, di tengah keasyikannya menulis, Kunto juga senang menonton acara pertandingan tinju dan film koboi di televisi. Pada saat menonton dan ke mana pun perginya, ia selalu mengantongi sebuah notes untuk mencatat ide-ide yang secara kebetulan muncul. Novel Khotbah di Atas Bukit (1976) yang menjadi master piece-nya, ternyata ditulisnya hanya sambil lalu di sela-sela waktu mengajar.

Menurut Ning, hingga menjelang akhir hayat, Kunto masih menulis. Minggu pagi mereka setelah jalan-jalan ke rumah ibunya di Klitren, lalu putar-putar ke Nogotirto melihat tanah milik anaknya. Setelah pulang masih sempat mengetik, melanjutkan menulis buku Mengalami Sejarah. Bahkan, Kunto juga bercerita ingin menulis buku tentang Muhammadiyah untuk menyambut muktamar.

Hampir tidak ada tanda-tanda dia akan pergi selamanya dalam waktu dekat. Aktivitas kesehariannya hingga Minggu malam 20 Februari 2005 masih biasa-biasa. Bahkan pada Sabtu, masih sempat ke kampus untuk menanyakan syarat kenaikan pangkat IV D-nya. Minggu masih berkunjung ke adiknya yang hamil tua.

Pada Minggu itu, Kunto berangkat tidur pukul 22.30. Rasa sakit di pinggang baru dirasakan pada pukul 24.00. Ning mencoba mengobati. Tapi, pukul 03.00 Senin 21 Februari 2005, dia menderita diare. Lalu dia dibawa ke Rumah Sakit Sardjito. Dirawat di Paviliun Cendrawasih hingga sore. Sekitar pukul 20.00, kondisinya menurun dan harus dirawat di intensive care unit (ICU). Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 dia menghembuskan nafas terakhir. (sp/tokohindonesia)