Yunahar Ilyas : Muhammadiyah Bukan Kelompok Salaf

Prof.Yunahar Ilyas, Lc, MA ( Ketua PP Muhammadiyah)

Secara bahasa, kata salaf berarti umat terdahulu. Lawan katanya adalah khalaf yang berarti pembaharu. Seseorang ataupun sekelompok orang yang bersumber pada pemahaman agama umat terdahulu disebut salafiyah. Prof. Dr. Yunahar Ilyas,Lc,MA juga menambahkan, bahwa “salafiyah” itu sering merujuk pada dua ulama besar, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal dan Rasyid Ridha.” Menurutnya, Muhammadiyah juga memiliki kecenderungan berpaham salafiyah. “Dikarenakan Kiai Dahlan dulu, terpengaruh oleh pemikiran Rasyid Ridha yang menulis al-Manar,” katanya. Meski memiliki pengaruh salafiyah, ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Majelis Tarjih dan Tajdid serta Majelis Tabligh itu, menolak anggapan bahwa Muhammadiyah adalah bagian dari kelompok salaf.

Hal ini dibuktikan dengan pengaruh pikiran Muhammad Abduh, yang juga melandasi gerak dakwah Kiai Dahlan, selain dari Rasyid Ridha. “Karena Muhammad Abduh itu tergolong pemikir modern, atau tokoh pembaharu” tutur Prof. Dr. Yunahar Ilyas. Beliau menegaskan, jikalau “Muhammadiyah itu bermanhaj salaf, bukan bermadzhab salaf,” terangya. Adapun maksud dari manhaj salaf sendiri berarti mengambil pendapat terbaik dari ulama salaf, dengan merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah. “Kalau kelompok salaf kan tinggal ngikut saja sama pendapat ulamanya, sedangkan kita tidak,” jelas pria asal Sumatera ini.

Mendengar penjelasan Prof. Dr. Yunahar Ilyas, hadirin yang datang di acara Kajian Malam Sabtu (Kamastu) tersebut, ada yang bertanya terkait “keberanian” ulama Muhammadiyah yang langsung merujuk pada Qur’an dan Hadits. Lantas membandingkan kesalihan ulama Muhammadiyah, dengan para imam Madzhab seperti Imam Syafi’i atau Imam Ahmad bin Hanbal. Untuk merespon pertanyaan ini, Prof. Dr. Yunahar Ilyas menyatakan “ulama Muhammadiyah mengakui keshalihan beliau para imam Madzhab, hanya saja menghadirkan pemahaman Islam yang senantiasa aktual dan dinamis itu bukan berarti harus bersandar pada madzhab tertentu,” katanya. Seperti contoh ketika sedang melakukan thawaf, tentu lebih besar kecenderungan untuk bersentuhan antara laki-laki dan perempuan. Jika menganut madzhab tertentu, maka bersentuhan yang bukan pada muhrimnya, akan membatalkan wudhu seseorang. Analogi sederhana ini mampu menjawab pertanyaan dari salah satu peserta pengajian, yang bertempat di aula gedung Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta.

sumber : suaramuhammadiyah.com