Muhammadiyah dan Islam Banjar Kalimantan Selatan

Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Warga Muhammadiyah di Inggris Raya, Mahasiswa Pascasarjana di University of Sheffield, UK,


Dalam bukunya yang terkenal, Islam dan Masyarakat Banjar, almarhum Alfani Daud (Antropolog IAIN Antasari) pernah menyebut bahwa “Islam” pada dasarnya melekat dan berakar dalam cara hidup dan tradisi masyarakat Banjar. Hal ini terbangun sejak berdirinya Kerajaan Banjar.


Islam dan Banjar menjadi begitu identik sehingga muncul satu istilah yang sedikit berlebihan: “Islam adalah Banjar dan Banjar adalah Islam”.


Namun, kendati Islam dan Banjar cukup identik, ada satu hal yang sedikit terlupakan dalam kajian-kajian tentang “Islam Banjar” selama ini. Pemikiran Islam di Banjar, kendati dengan identifikasi sedemikian rupa, sebetulnya adalah sesuatu yang terus-menerus berubah seiring perkembangan zaman dan bukan pula sesuatu yang tunggal


Pada awal abad ke-20, sebagai hasil dari Perang Banjar, Belanda meneguhkan posisi sosial, ekonomi, dan politiknya di Kalimantan Selatan. Runtuhnya kerajaan Banjar menciptakan transformasi sosial dan politik yang cukup penting bagi terbentuknya pranata masyarakat Banjar yang modern.


Proses modernisasi ini berhubungan erat dengan terbentuknya struktur politik kolonial, berubahnya struktur ekonomi masyarakat, dan munculnya “golongan menengah” -meminjam istilah Farchan Bulkin (1984)- di Kalimantan Selatan. Dari titik inilah kita bisa memahami kemunculan Gerakan Muhammadiyah di Tanah Banjar.


Muhammadiyah terkenal sebagai gerakan ‘kaum muda’ yang pertama kali membawa paham modernis yang memperbarui pemahaman keagamaan masyarakat di awal abad ke-20.


Lahirnya gerakan Muhammadiyah di Kalimantan Selatan bukan sekadar transfer dari struktur Muhammadiyah yang lebih luas di tingkat nasional (Darban dan Pasha, 1995), namun juga merupakan ‘buah’ dari modernisasi yang terjadi di Kalsel pasca-Perang Banjar. Dengan demikian, ada proses-proses transformasi lokal yang memungkinkan hadirnya Muhammadiyah dan memungkinkan ia terus bertahan hingga saat ini di tanah Banjar.


Berdasarkan penelitian Lemlit IAIN Antasari di tahun 2009, Muhammadiyah di Kalsel berdiri pertama di Alabio pada 1925, 13 tahun setelah berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta.


Berdirinya Muhammadiyah di Alabio ini cukup menarik mengingat Alabio di Hulu Sungai bukanlah ‘pusat’ baik Kesultanan Banjar maupun pemerintahan Kolonial. Baru setelah berdiri di Alabio, Muhammadiyah kemudian menyebar ke Rantau (1937), Kandangan (1931), Martapura dan Banjarmasin (1932), Haruai (1934), dan Marabahan (1939).


Pertanyaannya, mengapa Muhammadiyah justru muncul pertama kali di Alabio, bukan Banjarmasin (pusat ‘perkotaan’ zaman Kolonial) atau Martapura (pusat pemerintahan Kerajaan Banjar)? Bisa jadi ada dua penjelasan di sini.


Pertama, Alabio merepresentasikan lahirnya kelas menengah muslim yang lepas dari pertarungan ‘Kesultanan’ dan ‘pemerintah Kolonial Belanda’. Kesultanan merepresentasikan kekuasaan ‘tradisional’ elite-elite lama, sementara pemerintah Kolonial Belanda menampilkan modernitas yang ‘sekuler’.


Kemunculan Muhammadiyah di Alabio, dari sudut pandang ini, bisa dilihat sebagai respons kelas menengah muslim yang, di satu sisi, menolak cara beragama lama yang ditampilkan oleh ulama-ulama Kesultanan, namun di sisi lain juga tampil dengan kesalihannya serta menolak modernisasi pihak kolonial.


Kedua, soal pertukaran pengetahuan dan informasi. Alabio punya kultur dagang yang sangat kuat serta tradisi untuk merantau. Salah satu faktor pendorong kemunculan Muhammadiyah adalah sisi ini. Tradisi dagang memungkinkan adanya penyerapan ide-ide baru, termasuk salah satunya ide pembaharuan pemikiran Islam dari Yogyakarta.
Muhammadiyah di Kalsel dipelopori oleh H Jaferi dan H Usman Amin. H Jaferi adalah ‘intelektual’ Banjar, pernah belajar di Tanah Suci, dan kemudian mulai berkenalan dengan gerakan pembaharuan Islam setelah sering berdiskusi dengan H Usman Amin, ‘diaspora’ Banjar yang membangun usaha toko buku di Surabaya.


Perkenalan ini, yang awalnya hanya berupa hubungan dagang dan persahabatan, membawa beliau pada Muhammadiyah di Yogyakarta. Tertarik dengan pemikiran KH Ahmad Dahlan, H Jaferi mulai membawa Muhammadiyah ke Kalsel dan menjadi anggota pertamanya.


Berdirinya Muhammadiyah di Alabio tentu membawa perdebatan hangat antara ‘kaum tuha’ dan ‘kaum muda’. Namun, segera, gagasan ini kemudian menyebar ke daerah-daerah lain. Berkembangnya Muhammadiyah ini kemudian dibuktikan dengan kepercayaan yang diberikan pada Banjarmasin untuk menjadi tuan rumah Muktamar pada tahun 1935.


Wajah ‘Islam Banjar’


Artinya, dengan cara pandang demikian, kita bisa melihat Muhammadiyah sebagai perwajahan ‘yang-Lain’ dari Islam di tanah Banjar. Muhammadiyah di tanah Banjar tidak hadir hanya melalui pengiriman ‘dai’ dari tanah Jawa, melainkan juga berkembang pemikirannya secara organik.


Adalah wajar jika Muhammadiyah di Tanah Banjar juga menyumbangkan pemikiran yang khas dan unik bagi Muhammadiyah secara lebih luas. Di tahun 1950-an, misalnya, ada Gusti H Abdul Muis (Ketua PW Muhammadiyah 1972-1992) yang terkenal dengan pemikirannya soal tasawuf yang ia tuangkan dalam beberapa buku serta kuliah-kuliah beliau di Masjid Ar-Rahman, Kampung Melayu.


Pemikiran Gusti Abdul Muis, di satu sisi, menampilkan pengaruh dari ‘tradisi’ dalam pemikiran Islam Banjar (Gusti Abdul Muis adalah urang Martapura) dan pemikiran modernis di sisi lain. Beliau berargumen bahwa Islam mengenal tasawuf, namun termanifestasi dalam ajaran Islam soal tazkiyatun nafs. Dengan demikian, beliau berkesimpulan bahwa tasawuf tidak perlu dihindari dalam Islam, namun ia juga tidak perlu dicampur-adukkan dengan perkara ibadah.


Meskipun demikian, kita juga tidak bisa melupakan satu fakta bahwa ada kontestasi pemikiran ‘tradisionalis’ dengan ‘modernis’ –atau ‘Kaum Tuha’ dan ‘Kaum Muda’– di Banjar. Hal demikian mestinya disikapi dengan wajar. Keduanya menampilkan dua wajah berbeda dari ‘Islam Banjar’ yang semestinya menjadi kekayaan khasanah budaya dan intelektual kita.


Hal yang terpenting di masa depan adalah mengedepankan dialog atas hal-hal yang bisa didialogkan serta mengedepankan sikap tasamuh -saling memahami- atas perbedaan sehingga tidak menimbulkan perselisihan.


Dengan posisinya sebagai bagian penting dari masyarakat Banjar, ke depan, Muhammadiyah mempunyai peranan penting untuk membawa gagasan-gagasan modern tidak hanya di ranah keagamaan, tetapi juga muamalah duniawiyah. Pendirian beberapa amal usaha (termasuk Universitas Muhammadiyah Banjarmasin) harus didukung oleh kaderisasi intelektual generasi baru dari Persyarikatan.


Hal ini bisa dilakukan, misalnya, dengan mendorong penceramah muda di pengajian-pengajian Cabang serta mendorong tradisi literasi/kepenulisan yang lebih kuat, misalnya dengan menerbitkan buku/majalah.


Pada titik inilah, mendorong warga Muhammadiyah untuk ‘belajar’ dan berdiaspora, sebagaimana pesan KH Ahmad Dahlan dulu, menjadi penting. (sangpencerah.id)

sumber : http://banjarmasin.tribunnews.com/2015/11/28/muhammadiyah-dan-islam-banjar