Percik-percik Pemikiran Moch. Miskun Asy-Syatibi (1931-2006)

”Jang, jang, boga elmu teh kudu Masagi”

Sebuah Kesan Pribadi
Berbicara tentang sosok Moch Miskun Asy-Syatibi (1931-2006) (MMA, Pak Miskun atau Babeh, biasa kami panggil beliau bila dibelakangnya), bagi sebagian santri yang pernah berkenalan, berguru, dan bercengkrama dengannya, mungkin bakal menyiratkan satu kesan yang mendalam, terutama bila melihat pada keluasan ilmu agama yang dimilikinya. Beliau merupakan ulama kharismatik di kalangan Muhammadiyah yang dipandang berhasil menelurkan kader-kader yang berorientasi kuat pada persyarikatan.
Dalam tulisan ini, sebisa mungkin saya akan mencoba menguraikan beberapa bagian yang merupakan percik-percik pemikiran beliau terutama dalam kaitannya dengan khazanah keilmuan Islam. Memang akan terasa sulit untuk membedah pemikiran seseorang yang sudah tiada. Apalagi, saya kira beliau sendiri tidak pernah menjelaskan bangunan pemikiran beliau dalam sebuah tulisan yang utuh. Namun saya akan mencoba memutar kembali ingatan saya mengenai beberapa hal terkait dengan beliau terutama terkait dengan beberapa lontaran pemikiran yang saya anggap cukup menghentakkan pikiran saya pada saat itu, yakni saat saya masih duduk di bangku kelas mendengarkan ceramah dan uraian beliau.
Untuk seorang santri yang pernah langsung berinteraksi dengan beliau selama 6 tahun (1996-2002), saya menyadari perkenalan saya dengan beliau pada awal-awal masa studi tidaklah terlalu mendalam. Dan biasanya anak-anak kelas awal seperti saya merasa canggung untuk mendekati beliau secara langsung. Banyak pertanyaan yang akhirnya mesti kami pendam karena kesungkanan untuk menyampaikannya secara langsung pada beliau, baik terkait dengan masalah ikhtilaf fiqh, teologi, etika (akhlak) atau masalah kebahasaan. Padahal pada waktu itu kami sangat membutuhkan jawaban atau “fatwa” dari beliau. Pada akhirnya, kami hanya berani bertanya pada guru-guru pembina atau mencari-cari sendiri dalam buku ajar yang ada.
Namun di fase-fase 3 tahun terakhir (1999-2001) keberadaan saya di pesantren, saya merasa beruntung karena pada saat itu perkenalan dan kedekatan saya dengan beliau lebih intens, setidaknya lebih intens dibandingkan kawan-kawan yang lain. Mungkin selain saya, ada juga yang merasa bisa dekat dengan beliau, karena hal tersebut merupakan kesempatan emas untuk banyak bertanya seputar masalah-masalah keislaman pada beliau. Aneh memang, seharusnya sejak awal kami tidak perlu merasa canggung terhadap beliau, karena beliau sendiri sangat berharap ada semacam diskusi informal antara santri dengan beliau, namun hubungan seperti itu sepanjang yang saya ingat tidak terjadi dengan mulus.
Mungkin apa yang saya rasakan di atas, tidak terjadi pada fase awal keberadaan pesantren ini. Saya kira, santri angkatan awal bisa lebih banyak berinteraksi dengan beliau, selain karena faktor usia dan kebugaran beliau yang masih segar, pada periode akhir kondisi fisik beliau sudah semakin menurun. Selain itu minat santri terhadap kajian ilmu-ilmu keilslaman juga perlahan semakin menurun. Hal ini menyebabkan tingkat “ketergantungan” terhadap sosok beliau semakin meredup. Karena santri terkesan sudah tidak lagi memiliki minat yang tinggi terhadap apa yang selama ini dikuasai oleh beliau sebagai ulama dalam bidang ilmu-ilmu keislaman.
Beberapa Percik Pemikiran
Ada 3 point yang pernah saya catat sebagai bagian dari percik-percik pemikiran MMA.Pertama, dalam sebuah pertemuan, beliau pernah mengungkapkan, “Jang, jang, boga elmu teh kudu masagi” (Anak-anak, ilmu yang kalian miliki itu harus utuh, holistik, multisegi, multidisplin, multi-perspektif). Tentu untuk saya sebagai seorang santri kelas 3 Tsanawiyah saat itu, pandangan seperti ini belum bisa dicerna secara mendalam. Memang tidak mudah untuk memahaminya sekaligus.
Namun berangsur setelah saya coba renungi ternyata ungkapan beliau ini merupakan sebuah falsafah keilmuan yang memiliki makna cukup mendalam. Ungkapan ini menjadi simbol bagi konstruksi keilmuan yang tengah dan telah ia bangun pada saat itu. Meskipun ia sendiri dikenal sebagai seorang ahli dalam ilmu tafsir dan tafsir al-Quran –bahkan dalam sebuah kesempatan M. Amin Rais menyebutnya sebagai malaikat tafsir. Namun pandangannya di atas menyiratkan sebuah falsafah keilmuan yang terbuka dan utuh. Beliau sepertinya sadar sesadar-sadarnya bahwa “sektarianisme-epistemologis” dalam bentuk dikotomi dan pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum merupakan problem utama yang menyelimuti dunia pendidikan Islam saat itu.
Secara praktis, falsafah yang ia pegang ini ia implementasikan dalam kerangka bangunan sistem pendidikan yang bernama Darul Arqam. Ya, pondok pesantren Darul Arqam yang selama ini menjadi tempat kita menimba ilmu itu adalah terjemahan dari falsafah keilmuan yang beliau ungkapkan di atas. Beliau tidak ingin terjebak pada dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama, atau antara ilmu-ilmu rasional (‘aqliyah) dan ilmu-ilmu non-rasional (naqliyyah/transmitted sciences). Di pesantren Darul Arqam, dua kelompok besar keilmuan ini dipadukan dalam satu tarikan nafas kurikulum pendidikan. Sehingga tak heran bila tuntutan memadukan dua kelompok keilmuan ini berimbas pada banyak dan padatnya muatan matapelajaran yang disodorkan di pesantren bagi santri-santrinya. Saya sempat menghitung, mungkin ada sekitar 45 matapelajaran yang mesti kita lahap untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Kedua, terkait kegelisahannya terhadap kondisi umat Islam Indonesia dewasa ini yang dianggap semakin jauh dari cita-cita dan harapan al-Quran. Umat Islam semakin jauh dari konsep “khaira ummah” yang telah didengungkan oleh Q.S. Ali Imran: 110. Apa pasal? Dalam sebuah pertemuan di kelas, beliau mengungkapkan sebab historis mengapa umat Islam dewasa ini terutama umat Islam di Indonesia secara kualitas tidak merefleksikan cita-cita luhur al-Quran. Baginya karena bibit Islam yang masuk ke Nusantara adalah bibit yang tidak unggul (bukan bibit unggul), “da bibitna buruk atuhjanten buahna ge buruk” (karena bibitnya busuk, maka hasilnya pun akan busuk). Kenapa bukan bibit unggul? Karena Islam yang masuk ke Nusantara adalah Islam yang dibawa oleh sisa-sisa puing peradaban di abad ke-13. Sebagaimana diketahui abad ke-13 diyakini sebagai lonceng keruntuhan peradaban Islam.
Tentu pandangan semacam ini sangat mudah untuk kita bantah, karena ada beberapa asumsi rancu yang bisa kita ragukan kebenarannya dari tesis yang pernah beliau ungkapkan ini. Pertama, tentu kita tidak sepakat sepenuhnya bahwa Islam masuk ke Nusantara itu pada abad ke-13. Pandangan ini sudah dibantah oleh beberapa peneliti sejarah Islam Nusantara yang menyatakan bahwa Islam sudah masuk sejak abad ke-7 M, sebagaimana diyakini salah satunya oleh Thomas Walker Arnold (1864-1930) dan Buya Hamka (1908-1981). Kedua, Mungkin kegagalan untuk mendapatkan predikat “khaira ummah” ini bukan hanya menjadi tanggungjawab umat Islam Indonesia. Namun lebih luas dari itu hal tersebut juga menjadi tanggungjawab ummat Islam di dunia. Dibandingkan dengan umat islam di negeri lain, mungkin umat Islam di Indonesia relative lebih baik, meski kualitas hidup juga masih di bawah rata-rata.
Kegelisahan beliau tentang kondisi umat Islam dewasa ini seolah sebagai bagian dari kritik dan gugatan beliau terhadap pandangan sejarah yang linear, sebagaimana tertuang dalam sebuah riwayat, “khairul quruni qarni, tsummalladzi yalihi, tsummalladzi yalihi” (terjemah/tafsirnya kira-kira: sebaik-baiknya zaman adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya.). Baginya, kualitas umat Islam tidak boleh menurun, dan menerima begitu saja atas taqdir zaman yang telah ditetapkan dalam riwayat tersebut.
Untuk itu pandangan ketiga yang saya catat terkait percikan pemikiran beliau adalah tentang arahan beliau yang cukup progressif –bagi seorang puritan Islam sepertinya. “Coba ayeuna teangan al-Quran nu susunanna sesuai jeung turunna al-Quran ka Nabi Muhammad, supaya bisa neuleuman kana ruh perjuangan Nabi basa eta”, Coba sekarang carilah al-Quran yang susunannya sesuai dengan susunan saat al-Quran diturunkan langsung pada Nabi Muhammad SAW, supaya bisa meresapi ruh perjuangan nabi pada saat itu. Kira-kira kalimatnya seperti itu. Saya masih ingat pandangan ini beliau ucapkan saat mengajar di kelas pada 4 Oktober 2000. Pada saat itu kami baru menginjak caturwulan pertama di kelas 5. Sampai saat ini saya masih menyimpan dokumen pandangan beliau ini dalam sebuah buku catatan yang saya miliki.
Bagi seorang anak kelas 5 yang sudah sedikit mengerti tentang diskursus dalam ilmu-ilmu al-Quran (‘Ulumul Quran), pandangan beliau tentang susunan al-Quran ini cukup mengganjal dalam hati dan pikiran. Namun saat itu saya tidak berani langsung bertanya pada beliau mengapa beliau begitu berani menyatakan hal tersebut. Karena bila direnungi lebih dalam, pandangan seperti ini sangat progresif dan bahkan bisa jadi meruntuhkan bangunan yang kokoh tentang keberadaan susunan al-Quran Mushaf Utsmani, yang selama ini sudah disakralkan dalam tabu untuk digugat dalam pandangan kaum Muslim Sunni. Saat itu saya cukup paham bahwa tuntutan beliau adalah mencari al-Quran versi Ali –yang mungkin masih dilestarikan dalam tradisi Syi’ah– yang tersusun secara kronologis berdasarkan turunnya ayat per ayat, bukan al-Quran ‘ala rasm ‘Utsmani yang selama ini turut disokong legitimasinya oleh ilmu munasabah.
Terlepas dari alasan beliau untuk meresapi ruh perjuangan Nabi Muhammad yang dikatakan sebagai masa terbaik dalam sejarah umat Islam, saya menganggap pandangan MMA ini sudah sangat progresif. Beliau berani mengungkapkan itu di hadapan kami murid-muridnya dalam suasana kegiatan belajar mengajar. Dalam hal ini, saya menganggap beliau telah mencoba menerobos satu sekat ideologis dalam mazhab-mazhab pemikiran dalam Islam. Padahal sebagaimana sama-sama kita akui beliau adalah seorang puritan Muhammadiyah yang tentunya bila melihat kecenderungan umum akan sangat tabu terhadap lontaran pemikiran semacam itu.
Mungkin beberapa point ini yang masih bisa saya ingat dari beberapa percik pemikiran yang sempat beliau lontarkan pada kami. Saya sangat bersyukur dapat mengenal sosok beliau secara dekat dan meresapi beberapa pemikiran yang beliau utarakan. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan yang melimpah atas amal dan ilmu yang telah beliau berikan pada kita semua, murid dan santri-santrinya.
Tebet Barat Dalam, 3 Mei 2011.
Muhd. Abdullah Darraz (Santri Ponpes Darul Arqam Ank. 19, 1996-2002)