Melawan Penjajahan Baru ‘Natalan’

Oleh : Yusuf Maulana

Suratan nasib sebagai negeri terjajah adalah masih mengendapnya watak kolonialisme di sebagian anak bangsa negeri ini. Sebagai agama yang ditakdirkan mayoritas di Indonesia, namun harus terjajah saat masa silam, pemeluk Islam Indonesia era kemerdekaan harus menghadapi penyakit laten yang ditinggalkan penjajah. Satu di antara penyakit laten itu adalah pemaksaan umat Islam untuk mengikuti mekanisme yang ditata penguasa modal.
Bila era kolonialisme pemilik modalnya adalah penjajah Belanda (terutama), era kemerdekaan hingga sekarang pemegang modal itu pribumi berkulit coklat dengan ragam latar belakangnya. Untuk mengekspresikan keislamannya, tidak bisa seorang Muslim Nusantara begitu saja mengabaikan titah sang majikan. Termasuk hari ini yang kerap ramai setiap memasuki 25 Desember, ihwal memakai atribut Natal.
Bagi kalangan tertentu, topi Sinterklas sekadar ekspresi budaya. Tidak ada kaitan sama sekali. Mau memakainya atau tidak, terpaksa atau tidak, dianggap tidak mengurangi keimanan. Menggunakan topi Sinterklas tentu saja tidak secara otomatis mengeluarkan seorang Muslim dari agamanya, lebih-lebih bila ia dipaksa oleh sang majikan yang mendapat lisensi dari ulama ataupun cendekiawan tertentu pemuja pluralisme.
Namun, memandang pemakaian topi atau apa saja atribut Natal, termasuk berucap selamat hari Natal, sejatinya ada jejak keterjajahan nan kasad mata pada para pembela dan penyokong kuatnya. Kerangka berpikir soal kata-kata ucapan selamat atau topi budaya berkait Natal, seolah-olah urusan dunia yang harus dilihat dari kacamata pelaku-pendukung. Bukan dari sudut pandang ajaran agama pengkritik atau penentang. Mendefiniskan toleransi berucap
Natal atau bertopi Sinterklas seakan-akan kudu dipandang dari penyelenggara hajat dan ulama penyokongnya; bukan dari jamak mayoritas umat dan ulama Islam yang berkeberatan.
Begitulah “nasib” bekas negeri jajahan. Sementara kita buntung, ada pihak yang berlipat untung. Besar dan dibesarkan oleh penjajah, kaum nasrani NuSinterklasra secara umum memang acap diuntungkan dalam status sosial: harus (merasa) kudu diperhatikan. Dulu, sebagai teman seiman kaum penjajah.
Sekarang, minoritas “berharga” yang tidak boleh dinista, dirugikan, apalagi dihina. Mentalitas dianakemaskan inilah yang sering kali memunculkan sikap jumawa bahkan terkadang arogan. Seolah-olah mereka selalu dan harus diperlakukan istimewa. Persoalan yang sepele menjadi besar saat menyangkut umat dan kepentingan mereka. Begitu kasusnya tidak berkaitan dan menyentuh kepentingan, mereka apriori dan bungkam.
Karena selalu dalam alam berpikir anak emas, mereka sering mendikte agenda budaya yang sejatinya tidak etis dipaksakan harus diterapkan umat lain. Soal beratribut natal, misalnya. Saya yakin, sebenarnya sendi agama Nasrani tidak membolehkan pemaksaan pada kaum buruh dari umat lain dalam soal “sepele” ini. Namun, mengapa harus ada kewajiban menggunakannya? Anggap saja ini ambisi bisnis yang keblinger. Motif ekonomi yang menjubahi kepentingan sering dipaksakan tanpa mau tahu ada gesekan dengan keyakinan umat lain. Alih-alih berempati dan menghormati keyakinan buruhnya, justru buruhnyalah yang harus mengaca diri dan mengikuti aturan majikan. Lagi-lagi, ini cara berpikir kolonialis.
Pun saat sebagian umat berontak pada penjajah, sontak tudingan tidak enak diberikan. Hari ini, para antek pikiran kolonialis selalu mengecam kebinekaan terancam gara-gara tidak maunya umat Islam beratribut Sinterklas dan beruluk selamat Natal. Pluralisme dikoyak lantaran ancaman (sebagian) umat Islam yang “mengafirkan” perilaku ikut-ikutan bernatal ria. Luar biasa! Akal sehat dan nurani dibolak-balik; hitam jadi putih, putih jadi hitam!
Siapa Bodoh?
Bukan perayaan Natal umat Nasrani yang ditolak (bahkan setiap Muslim tidak boleh menghina ataupun mengusiknya), melainkan memaksakan pribumi bernatal ria meski berbeda akidah ini persoalannya. Sayangnya, sama seperti lakon sejarah silam, selalu ada anasir umat Islam yang tiba-tiba ingin jadi pahlawan dengan mencari muka kepada kolonialis; hari ini pun yang menghadapi kaum “pemarah” anti-Natal juga umat Islam.
Padamnya perjuangan Dipanegara bukan semata kuatnya Belanda, melainkan juga berhadirannya para pengkhianat perjuangan. Hari ini, yang sibuk membela natalan lupa leluhurnya berada di garis mana saat menghadapi penjajah. Bila jas, dasi dan celana saja dianggap cermin warisan penjajah, mengapa sekarang tampil perkasa “berjihad” membela atribut Sinterklas dan serupa itu sebagai keunikan budaya bagi Sinterklas.
Sebuah pelajaran berharga: selagi umat Islam tidak menoleh kesungguhan para ulama dan leluhur berjuang hadapi penjajahan, kesibukan untuk berdebat sesama kita pasti terjadi. Ucapan Natal, beratribut Sinterklas, dan semacamnya seolah perlu dan penting untuk dilakukan umat Islam tersebab masih dianggap bodoh dan perlu diajar bertoleransi. Kalau mau melakukan dan memakainya seolah pintar dan setara seperti mereka, para penjajah. Alam berpikir masa kolonialisme ini harusnya ditolak mentah.
Toleransi tidak diukur dari hal-hal simbolis; bukankah seperti itu mereka biasa berkata? Lantas, mengapa ketika umat Islam ingin hal simbolis tidak dipaksakan malah dianggap ancaman? Mengapa umat Islam dilarang bangga dengan simbol (jilbab, takbiran, menara masjid), sementara simbol budaya sarat kapitalisasi macam topi Sinterklas dipaksakan? Mengapa pula ancaman seolah datang dari umat Islam “pemarah”, sementara umat Islam yang “ramah”, yang mau bertopi Sinterklas dan getol bernatalan, dianggap cermin pancasilais? Duh, kedunguan apa lagi yang harus dijelaskan di sini?
Umat Islam sudah seyogianya paham bahwa mereka sering menjadi korban pendefinisian orang lain. Kita supaya begini dan begitu. Agar mengikuti ritme dan aturan yang dibuat orang lain. Disarankan begini dan begitu sesuai alam berpikir yang punya kuasa. Mentalitas mengatur umat Islam ini, ironisnya, masih “abadi” keberlangsungannya. Dulu orang-orang berkulit putih, sekarang para pengikut sekeyakinan ditambah para pemuja pluralisme. Umat Islam yang kadung dicap “abadi” sebagai kaum “terbelakang” oleh mereka ingin selalu diajari hal-hal yang dianggap “kemajuan”. Hal-hal yang menurut logika dan epistemologi mereka biasa-biasa saja, namun siapa sangka justru mencederai bahkan menulari kanker tauhid kita. Termasuk soal bertoleransi, seolah umat Islam masih kudu belajar; masih harus menata dan berkaca diri.
Dengan cara pandang dan perasaan semacam ini, kiranya tidak salah menyebut Republik ini hakikatnya belumlah “dikuasai” umat Islam. Tudingan umat Islam sebagai mayoritas yang tidak toleran, rasanya seperti umpatan keji para petinggi Belanda kepada Dipanegara gara-gara mereka sering kalah dari sang Pangeran di medan pertempuran. Kalah, mereka memfitnah; menang berkuasa, kita disuruh menyembah aturannya! Juga berhati-hatilah agar tidak terkecoh dengan ucapan diplomatis semacam ini: “Apa dengan bernatalan dan beratribut Sinterklas, umat Islam berkurang imannya?” Seolah-olah kita dipuji atas hebatnya iman kita, dan tidak bakal luntur iman tersebab remeh-temeh lisan dan perilaku gegap gempita bernatal ria. Padahal, saat itu, kita tengah terperosok dalam virus berpikir dan bertindak terjajah. Dus, tak aneh bila kita berkhianat pada sumber suci agama kita.